KONTESTASI pertarungan menuju kursi kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan pemungutan suara serentak tahun 2020 telah usai pada medio 9 Desember 2020, dengan siklus akhir dari pemungutan suara serentak tersebut pada tanggal 17 Desember 2020 Komisi Pemilihan Umum (KPU), di daerah sebagai alat perlengkapan negara yang menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah di masing-masing daerah, telah melaksanakan rapat Pleno terbuka untuk menetapkan rekapitulasi suara masing-masing pasangan calon dan menetapkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih.
Tentu saja hal ini merupakan bentuk kegembiraan bagi semua elemen kebangsaan, di tengah wabah pandemi Covid-19 yang masih menjadi momok menakutkan pemungutan suara serentak masih bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan, dan tidak menjadi claster baru penyebaran wabah. Pemungutan suara serentak yang sempat tertunda tahapannya dan dikhawatirkan tidak berjalan sesuai yang semula direncanakan pada tanggal 9 September 2020, dan nanti dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020 akibat bencana wabah Covid-19 dan berstatus bencana nasional non-alam. Namun, tugas Komisi Pemilihan Umum tiap daerah yang menyelenggarakan pemilihan sebagai sarana kedaulatan rakyat belum tuntas usai penetapan pasangan calon kepala daerah terpilih.
Komisi Pemilihan Umum, termasuk Komisi Pemilihan Umum Daerah yang di desain oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai lembaga negara yang mandiri, masih diperhadapkan dengan sengketa perselisihan hasil pemilihan yang diajukan peserta pemilihan yakni calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang bukan pasangan calon terpilih di MK RI.
Sejarah Singkat Perselisihan Pemilihan Kepala Daerah di Putus oleh MK
Mengulas sedikit mengenai kemunculan sejarah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman ini memang unik dan lahir dari perdebatan panjang dari Panitia Adhoc yang dibentuk MPR RI. MK RI adalah salah satu lembaga tinggi negara yang lahir dari rahim reformasi. Kelahiran MK RI pada negara hukum Republik Indonesia secara fakta sejarah seperti kelahiran MK di beberapa negara khususnya negara hukum demokratis, banyak di dasari dari pergeseran negara yang bersifat otoritarian menuju negara demokrasi modern. Tidak terkecuali MK RI yang lahir dan dikukuhkan sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman di luar saudara tuanya yaitu Mahkamah Agung yang hadir pada Amandemen ke-III Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tahun 2001. MK RI sebagai the guardian and the sole of the interpreter constitution dengan instrument hukum pada Pasal 24C UUD Negara RI Tahun 1945 memiliki 4 kewenangan (menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum) dan 1 kewajiban yakni memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar yang pelanggarannya diatur dalam Pasal 7B UUD Negara RI Tahun 1945. Melihat kiprahnya sebagai lembaga peradilan tata negara telah banyak mengeluarkan putusan-putusan yang menunjukkan betapa penting keberadaannya sebagai peradilan yang memberikan kepastian dan jaminan perlindungan konstitusional bagi setiap warga negara sebagai ciri khas fundamental dari negara hukum yang demokratis.
Putusan-putusan MK RI memberikan jaminan keadilan konstitusional materil kepada warga negara melalui rasio decidenci (progressif, cerdas dan keadilan) dari para hakim Konstitusi yang penulis meliriknya dari salah satu kewenangan MK RI seperti menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagai kewenangan fundamental kedudukan MK RI sebagai peradilan ketatanegaraan. Rasio decidenci putusan MK RI sebenarnya sebagai senjata paling ampuh untuk menutupi undang-undang sebagai buatan manusia yang mempunyai penyakit menahun dan sulit disembuhkan hingga kini seperti : bersifat moment opname (jangkauan tangkapan sesaat), sulit menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang begitu pesat, kurang partisipatif, kesan terburu-buru dengan alokasi waktu pembahasan pada lembaga pembentuk undang-undang yang terbatas, terjadi kekosongan norma (leemten in het recht) hingga yang paling substantif terjadinya muatan politis terselubung dari satu norma dari banyak norma dalam undang-undang yang merugikan warga negara.
Penulis : Bayu Suroto Hadikusumo