Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung telah selesai. Momentum hari Rabu, 9 Desember 2020 telah digunakan oleh rakyat sebagai pemilik pemerintahan dengan segala harapannya untuk suatu keyakinan kehidupan yang lebih baik ke depan (Ndraha, 2001). Sang pilot dan pesawatnya bisa silih berganti dengan segala kondisi cuaca, tetapi pemilik bandara akan terus melakukan pemeliharaan, pengembangan, dan pengamanan agar setiap penerbangan, baik keberangkatan, maupun kedatangan terlayani secara maksimal untuk menggapai sebuah harapan dan tujuan.
Roda berputar, dunia bergulir, demikian ilustrasi kehidupan menurut Soewardi (1999) yang menyebutkan bahwa krisis moneter dan krisis ekonomi yang melanda dunia dan Indonesia saat ini telah berubah menjadi krisis multidimensional atau krisis moral. Pandemi Covid-19 saat ini telah memperburuk kehidupan umat manusia sedunia, termasuk Indonesia. Pilkada bagai monster yang menakutkan, tetapi juga menjanjikan.
Hampir 135 daerah kabupaten/kota menggugat hasil Pilkada itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dapat disimpulkan gugatan-gugatan itu tidak dapat diterima, karena tidak memiliki bukti pelanggaran Pilkada. Pelanggaran Pilkada seperti kentut, tidak tampak dan tidak bisa dipegang, hanya bau pelanggarannya yang tercium oleh mereka yang masih memiliki penciuman tingkat tinggi. Ratusan pasangan calon kepala daerah yang bertarung di Pilkada 2020 menggugat hasil Pilkada ke Mahkamah Konstitusi berakhir dengan kekecewaan. Seperti ada kesan yang tersembunyi dari pasangan-pasangan calon kepala daerah yang kecewa itu, “lebih baik kita bermain curang saja” karena toh tidak dapat dibuktikan secara terstruktur–sistematis dan massif.
Ada seribu satu cerita dibalik Pilkada 2020 beberapa saat yang lalu. Semua sudah selesai, pelantikan sudah dilakukan, baik oleh Presiden untuk pelantikan Gubernur, maupun Menteri Dalam Negeri untuk pelantikan Bupati /Wali Kota melalui Gubernur di masing-masing provinsi. Kalah-menang adalah hal yang pasti, karena akhir demokrasi bukan melihat kualitas tetapi kuantitas: siapa yang memegang kualitas pasti akan dikalahkan oleh mereka yang memegang kuantitas. Demokrasi dan birokrasi seharusnya berada di garis susu (Soewardi, 1999) yaitu lurus –tinggi-kuat.
Lurus-kuat adalah masalah struktur (professional–kompetensi–kinerja–efektivitas, dan lain-lain), sedangkan kuat adalah kultur (sikap mental, disiplin, kejujuran, ketangguhan, keuletan, dan lain-lain). Titik lemah SDM Indonesia bukan pada masalah struktur, tetapi pada masalah kultur. Mungkin guyonan Gus Dur ada maknanya, yang membagi tipe manusia kelas dunia dalam tiga kluster. Kluster 1, negara dengan banyak bicara-banyak bekerja (contohnya Amerika, dan China). Kluster 2, negara dengan sedikit bicara banyak bekerja (contohnya Jepang, Korea). Kluster 3, negara dengan sedikit bicara sedikit bekerja (Afrika, dan lain-lain). Gus Dur sama sekali tidak menyebutkan Indonesia berada dalam kluster mana, tetapi di akhir guyonannya Gus Dur menyatakan mengapa Indonesia tidak berada di ketiga kluster itu, karena di Indonesia apa yang dikatakan dan apa yang akan dikerjakan berbeda. Tuhan pun marah (Alquran: “amat besar kebencian Allah, apa yang kamu katakan tidak kamu kerjakan”).
Bagaimana dengan Pilkada? Seribu satu janji dalam bahasa komunikasi politik telah dilakukan oleh kepala daerah yang baru saja dilantik oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri. Di sini sesungguhnya masalah besarnya, ada tantangan dan ujian yang amat berat dihadapi para kepala daerah dalam masa jabatan 2021–2026, terkait dengan janji dan ucapan bahkan sumpahnya pada saat pelantikan.
Tiga Tantangan
Ada tantangan dan ujian berat yang akan dihadapi kepala daerah. Tantangan pertama, seluruh kepala daerah harus sukses dan berhasil dalam penanganan pandemi Covid-19. Indikator keberhasilan itu dapat diukur dari penanganan pandemi itu sendiri (penurunan jumlah positif Covid, kenaikan jumlah yang sembuh, pergeseran zona dari merah ke hijau, dan penurunan angka kematian). Sedangkan indikator kesuksesan dapat dilihat dari penanganan dampak sosial dan ekonomi oleh kepala daerah yang harus mampu berkoordinasi, berkolaborasi dan berkomunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan di daerah maupun pusat. Indikator kesuksesan selanjutnya adalah kemampuan kepala daerah dalam meningkatkan produktivitas masyarakat dengan tetap menjaga 3 M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak), meningkatkan dan menjaga stabilisasi harga, dan menurunkan angka kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakin menganga.
Prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia antara 2 sampai 3 persen bahkan minus akan berdampak kepada meningkatnya angka kemiskinan dan gini rasio. Tantangan kedua, di tahun 2021 ini, para kepala daerah akan mengelola APBD yang semakin kecil dan terbatas, terlebih lagi bagi daerah-daerah yang sangat bergantung kepada dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), karena akan terjadi refocusing seperti pada tahun 2020. Indikator ini dapat dilihat dengan menurunnya belanja modal dan belanja barang dan jasa, dan juga pemangkasan belanja perjalanan dinas keluar daerah dan dalam daerah. Dibutuhkan kecerdasan, kreativitas dan inovasi kepala daerah dalam masalah ini. Jika kepala daerah tidak fokus dan tidak memiliki ide dan gagasan, dan menganggap situasi saat ini hal yang biasa, maka kepala daerah akan berhadapan dengan tekanan publik yang kuat.
Tantangan ketiga, tuntutan tim sukses yang kuat dan keras. Hal yang tidak tampak dalam Pilkada seperti disebutkan diatas yang tercium hanya baunya. Bukan rahasia umum lagi bahwa setiap Pilkada ada tim sukses yang didalamnya para pengusaha yang telah memberikan kontribusi dana, dan sudah pasti mereka akan menekan kepala daerah dalam pembagian kue pembangunan berupa paket-paket pekerjaan baik yang melalui lelang maupun penunjukan langsung. Salah satu bukti konkrit keterlibatan pengusaha dalam Pilkada ini yaitu kasus Bupati Banggai Laut dan para pengusaha yang ditangkap tangan KPK menjelang pelaksanaan Pilkada. Selain tantangan, kepala daerah akan menghadapi ujian. Tidak akan naik kelas seorang kepala daerah jika tidak diuji.
Empat Ujian
Ujian pertama, kepala daerah sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dalam waktu enam bulan setelah dilantik akan merombak susunan kabinet di pemerintahannya. Jabatan- jabatan strategis seperti Sekda (sekretaris daerah), kepala dinas, dan kepala bagian serta camat akan mengalami pergantian, terkecuali kondisi-kondisi tertentu tidak memungkinkannya. Dalam proses pergantian itu, jika kepala daerah hanya mengikuti syahwat kekuasaannya, maka yang akan terjadi pengisian jabatan itu akan diisi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tidak memiliki kompetensi, kemampuan manajerial, skill, dan juga sikap mental yang baik. Banyak kepala daerah yang lebih mendengar tim-tim sukses sehingga jabatan kepala dinas PU misalnya, diberikan kepada ASN yang notabene berlatar belakang pendidikan sarjana sosial atau sarjana hukum. Bahkan di Pilkada tahun 2010, ada kepala daerah yang mengangkat direktur rumah sakit umum daerah dari ASN dengan latar belakang pendidikan ilmu sosial.
Ujian kedua, di awal Februari hingga April 2021, seluruh pemerintahan daerah akan diaudit pengelolaan keuangannya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Audit BPK ini terkait dengan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah tahun 2020. Bagi kepala daerah yang baru saja terpilih (bukan incumbent) tidak terlalu bermasalah, hanya butuh koordinasi. Namun bagi kepala daerah yang terpilih di periode kedua, ini memiliki tanggung jawab yang besar karena BPK akan memeriksa kepala daerah yang bersangkutan terkait penggunaan dana pada APBD 2020. Dalam kondisi ini, sangat dibutuhkan kemampuan menggerakkan, kemampuan mengarahkan, dan kemampuan memengaruhi dari seorang kepala daerah terhadap semua pimpinan organisasi perangkat daerah. Ada unsur subyektivitas seorang kepala daerah dalam audit BPK kali ini. Jika kepala daerah mampu mempertahankan opini wajar tanpa pengecualian (WTP), maka kepala daerah tersebut dinilai berhasil menjalankan roda pemerintahannya. Lebih berhasil lagi bila kepala daerah yang opininya wajar dengan pengecualian (WDP) meningkat menjadi wajar tanpa pengecualian. Dan kepala daerah dikatakan gagal jika opini laporan keuangannya disclaimer.
Ujian ketiga, kepala daerah adalah mitra dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), karena pemerintahan daerah itu didefinisikan sebagai kepala daerah dan DPRD. Kemampuan kepala daerah dalam membangun komunikasi politik dan komunikasi pemerintahan dengan DPRD sebagai tolok ukur kepemimpinan kepala daerah yang efektif. Efektivitas kepala daerah dan DPRD dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan diukur dari target dan realisasi. Semakin besar realisasi, maka semakin efektif penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ukuran realisasi itu dilihat dalam pengelolaan APBD, penanggulangan kemiskinan, perlindungan keamanan, dan juga kesejahteraan rakyat.
Ujian keempat, kemampuan kepala daerah dalam membangun komunikasi pemerintahan dengan forum komunikasi pimpinan daerah (Forkompinda). Sebagaimana amanat Presiden Joko widodo pada saat mengumpulkan para gubernur dan bupati/wali kota beberapa saat yang lalu. Presiden meminta kepala daerah menjaga dengan baik dan benar hubungan dengan kejaksaan, kepolisian, Dandim, dan juga pengadilan. Jangan sampai dari pejabat-pejabat itu ada yang tersinggung, kecewa atau benturan mental lainnya. Pemerintahan daerah akan efektif bila kepala daerah mampu bekerja sama dengan Forkompinda. Ujian ini membutuhkan kepemimpinan kepala daerah yang komunikatif, dan leadership yang unggul. Bagaimana seorang Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Nurdin Abdullah, dan masih banyak lagi contoh kepala daerah dengan leadership yang efektif dan efisien sehingga dapat memajukan dan menyejahterakan rakyatnya.
Kepala daerah hasil Pilkada 2020 memiliki banyak tantangan dan ujian. Di tengah pandemi Covid-19 ini dibutuhkan kecerdasan, kreativitas, dan inovasi seorang kepala daerah dalam mengelola pemerintahan daerah. Tujuan Pilkada bukan hanya menjadi bupati/wali kota untuk sebuah kebanggaan dan popularitas, tetapi ada tanggung jawab moral dan tanggung jawab intelektual di dalamnya sebagaimana bunyi tujuan Negara dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tantangan dan ujian kepala daerah itu harus didekati dengan pendekatan kemanusiaan (Ndraha, 1999) dengan prinsip memanusiakan manusia. Jauhi pendekatan kekuasaan kepala daerah yang hanya membuat gesekan dan konflik, baik vertical, maupun horizontal. Pendekatan kemanusiaan di tengah berbagai masalah bangsa saat ini merupakan kunci keberhasilan dan kesuksessan seorang pemimpin (Nelson Mandela, Corazon Aquino, Soekarno, dan lainnya) sebagai contoh kecil bagaimana pendekatan kemanusiaan dapat menyelesaikan masalah. Koordinasi politik dan pemerintahan dengan pemerintahan provinsi dan pemerintah pusat harus dikemas dalam pendekatan kemanusiaan yang mengedepankan pertemanan, persahabatan, soliditas, solidaritas, ikatan kekeluargaan. Demikian pun komunikasi sosial dengan masyarakat harus mengedapankan prinsip-prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. ***
*Sekretaris Daerah Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku. Doktor lulusan Universitas Padjajaran ini pernah menjabat Staf Ahli Bupati, Kepala Bappeda, dan Kepala Badan Diklat dan Litbang Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Pada 2015 dan 2021 sebagai Plh Bupati Seram Bagian Timur. Bukunya: Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Efektivitas Organisasi, Kajian Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, diterbitkan Rajawali Press pada tahun 2008. ***
Penulis : Dr. Syarif Makmur, M.Si