Provinsi Sulawesi Tengah memiliki cadangan minyak dan gas terbukti maupun perkiraan yang sedang dalam era pengembangan maupun rencana eksplorasi baru. Rahasia cadangan migas telah terungkap sejak ARAMCO perusahaan minyak yang pertama melakukan aktivitas seismik di lepas pantai Tiaka, Morowali Utara.

Potensi minyak dan gas bumi itu terletak dalam pembagian 4 (empat) mendala geologi utama, yaitu (1) Mendala Sulawesi Barat, merupakan busur vulkano-plutonik yang membentang dari lengan selatan sampai lengan utara, (2) Mendala Sulawesi Tengah, yang ditempati oleh fasies metamorfik skis biru, (3) Mendala Sulawesi Timur, yang merupakan lajur ofiolit, dan (4) Mendala Benua yang terdiri atas blok benua Banggai – Sula dan blok benua Sulawesi Tengara – Buton – Tukang besi (Sukamto, 1975; Simandjuntak, 1993; Helmers drr., 1990; Smith dan Silver, 1991).

Sementara itu, berdasarkan data pemerangkapan migas, beberapa jenis perangkap terletak di sekitar Cekungan Luwuk – Banggai, antara lain yang sudah dikenal adalah sebagai berikut:

(1) Perangkap antiklin yang berasosiasi dengan sesar-naik (thrust sheet anticline). Perangkap jenis ini merupakan play hidrokarbon utama di Cekungan Luwuk – Banggai, berupa batu gamping Formasi Tomori yang membentuk thrust sheet anticline yang di bagian bawahnya disekat oleh Kelompok Sulawesi, sementara bagian atasnya ditutupi oleh Formasi Minahaki. Contoh dari perangkap ini adalah di lapangan Tiaka (Hasanusi drr., 2004).

(2) Perangkap kombinasi stratigrafi (carbonate build–up) dengan struktur (antiklin). Terumbu batu gamping di sini berumur Miosen Akhir, di bagian bawah disekat oleh Formasi Minahaki dan di bagian atas ditutup oleh Kelompok Sulawesi (Formasi Kintom). Contoh perangkap ini misalnya di titik bor Mantawa 1, Minahaki 1, Boba1, dan Senoro 1 (Pertamina – BPPKA, 1996, dalam Zulkarnain, 2010; Hasanusi drr., 2004).

(3) Struktur yang terbentuk oleh sesar mendatar Perangkap ini berupa blok-blok sesar dengan atau tanpa struktur antiklin yang teridentifikasi dari horizon seismik top karbonat Miosen. Pada umumnya bagian atas perangkap ini tersekat oleh sedimen klastik Kelompok Sulawesi (Pertamina – BPPKA, 1996, dalam Zulkarnain, 2010).

Sedangkan potensi cadangan minyak dan gas bumi lainnya, terdapat potensi di Kabupaten Donggala. Potensi minyak dan gas bumi terletak di blok surumana yang berbatasan dengan sulawesi barat, yang sempat dieksplorasi oleh Exxon Mobile dan pada blok Balaesang serta blok Dampelas. Sementara itu, di Kabupaten Parigi Moutong, terdapat potensi minyak dan gas bumi yang memanjang dalam formasi teluk Tomini.

Tetapi, kemampuan daerah dalam merespon potensi minyak dan gas tersebut cenderung lamban. Akibatnya, daerah tidak bisa secara penuh berpartisipasi dalam pengembangan industri minyak dan gas.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah belum menyiapkan syarat-syarat fundamental. Baik dari sisi regulasi daerah, organisasi, maupun sumber daya manusia yang dapat mengambil peran dalam pengelolaan minyak dan gas; baik hulu maupun hilir, berbasis keterlibatan perusahaan daerah.

Hilirisasi Migas Pertama di Indonesia

​​Proyek pengembangan gas bumi di Sulawesi Tengah dipegang oleh perusahaan Konsorsium PT. DS-LNG (Donggi-Senoro Liquid Natural Gas) terbagi atas dua konsep yaitu pembangunan hulu dan hilir.

Kegiatan usaha hulu merupakan kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi, sedangkan kegiatan usaha hilir merupakan kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan/atau niaga.

​PT Donggi Senoro Liqufid Natural Gas (DSLNG), didirikan sebagai perusahaan penanaman modal asing (FDI) pada tanggal 28 Desember 2007, dengan para pemegang saham Pertamina Energy Services Pte Ltd 29 persen, PT Medco LNG Indonesia 20 persen dan Mitsubishi Corporation 51 persen.

DSLNG merupakan proyek LNG pertama di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2001 tentang “Kegiatan Usaha Hilir”, yakni investasi pada sektor pengelolaan sumber daya alam merupakan pengembangan usaha yang terpisah antara kegiatan hulu (penyediaan bahan baku gas) dan kegiatan hilir (pabrik LNG).

Proyek kilang LNG Donggi-Senoro berkapsitas 2 juta ton LNG per tahun (2 MTPA) dan dimilki oleh tiga anggota konsorsium, yaitu Pertamina Hulu Energi (29%), Medco LNG Indonesia (11,1%) dan Sulawesi LNG Development Ltd (59,9%) dengan nama PT. Donggi Senoro LNG (DSLNG). Sulawesi LNG Development Ltd sendiri dimiliki oleh Mitsubishi Corporation 75% dan Korea Gas Corporation (KOGAS) 25%.

DSLNG dikembangkan atas dasar Gas Sales Agreement (GSA) antara kontraktor dan pemerintah pada tanggal 22 Januari 2009, yang juga mencakup perjanjian alokasi produksi gas yang merupakan kombinasi ekspor dan domestik.

Proyek ini desaign dengan pola pengembangan hilir (downstream). Pengembangan gas Donggi-Senoro terdiri dari lima lapangan yakni Donggi, Minahaki, Matindok, Maleoraja, dan Senoro dengan total cadangan gas mencapai 3,08 triliun kaki kubik.

Lima sumur gas produksi dan dua sumur tambahan yakni Senoro 6 dan Cendanapura. LNG di kilang PT Donggi-Senoro LNG (DSLNG) dengan kapasitas 2 juta ton per tahun.

​​Kilang LNG ini akan mengolah gas yang disuplai dari blok Senoro yang dikelola oleh JOB Pertamina Medco Tomori Sulawesi (PMTS) dan blok Matindok yang dikelola Pertamina Pengembangan Gas Matindok (PPGM).

Pada tanggal 31 Mei 2005 telah ditandatangani Exclusivity Agreement (“EA”) antara PT Pertamina (Persero), PT Medco E&P Tomori Sulawesi (keduanya dalam kapasitas Joint Operation Body Pertamina-Medco sebagai pengelola Blok Senoro) dan LNG International Pty. Ltd (“LNGI”), untuk rencana pembelian gas di Blok Senoro.
​​
Arti dari Penggabungan Blok Matindok dan Senoro dimaksudkan agar Area Matindok dikelola oleh PT Pertamina (Persero) yang selanjutnya diserahkan pengelolaannya kepada PT Pertamina EP. Sedangkan Blok Senoro dikelola oleh Joint Operation Body (“JOB”) antara PT Pertamina (Persero) dan PT Medco E&P Tomori Sulawesi (“MEPI”) (anak perusahaan Medco).

Skema dan Rantai Nilai Migas Sulawesi Tengah

Hasil produksi diekspor ke Jepang dan Korea dengan pembeli Kyushu Electric Power Co. (300.000 ton/tahun), Chubu Electric Power Co. (1 juta ton/tahun) dan Korea Gas Corporation (Kogas, 700.000 ton/tahun).

Sedangkan sisa ekspor diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, terutama pabrik pupuk di Sulawesi. Proyek gas Donggi-Senoro terdiri dari proyek eksploitasi ladang gas di bagian hulu dan proyek pengilangan yang menghasilkan gas alam cair (liquefied natural gas/ LNG) di bagian hilir.

Pada bagian hulu terdapat dua blok:

​​Pertama, Blok gas Matindok/Donggi dikuasai 100% oleh Pertamina EP dengan produksi 85 juta kaki kubik per hari (MMscfd). Sedang Blok Senoro dikelola oleh PT PHE Tomori Sulawesi (50%), PT Medco E&P Tomori Sulawesi (30%), dan Tomori E&P Limited (20%), dengan produksi 250 MMscfd. Total produksi hulu DS adalah 335 MMscfd. Cadangan gas Donggi-Senoro diperkirakan sebesar 2,3 triliun kaki kubik (trillion cubic feed, TCF), sedangkan sertifikasi yang dilakukan oleh Lemigas menunjukkan cadangan sekitar 1,45 triliun kaki kubik.

​Kedua, Sektor Hulu PPGM (Proyek Pengembangan Gas Matindok), merupakan kegiatan pembangunan fasilitas yang lengkap mulai dari memproduksi Gas Bumi dan sumur yang telah dieksplorasi. Namun dari rencana sumur pengembangan yang berasal dari 5 (lima) lapangan Gas Bumi yaitu: lapangan Gas Donggi, Matindok, Maleo Raja, Sukamaju, dan Minahaki, adapun Gas disalurkan melalui pipa menuju kilang LNG.

​​Proyek-proyek tersebut, meliputi Central Processing Plant yang dikelola oleh Joint Operating Body Pertamina Medco Tomori Sulawesi dengan investasi sebesar US$1,2 miliar. Fasilitas dengan kapasitas produksi 315 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) tersebut, akan memproses gas dari Blok Senoro-Toili, dimana 250 MMSCFD akan dipasok ke Kilang LNG Donggi-Senoro dan 55 MMSCFD untuk pabrik amoniak PT Panca Amara Utama.

​Selain Blok Senoro-Toili, Blok Matindok yang dikelola oleh PT Pertamina EP juga akan memasok gas untuk Kilang LNG Donggi Senoro sebanyak 85 MMSCFD. Blok Matindok akan memiliki dua Central Processing Plant, yaitu CPP Donggi dan CPP Matindok dengan kapasitas total 105 MMSCFD dan menyerap investasi sebesar 0,8 miliar. Selain untuk kilang LNG, gas dari Matindok juga akan dipasok ke pembangkit listrik.

Kilang LNG Donggi Senoro berkapasitas 2,1 million ton per annum (MTPA) dengan investasi senilai US$2,8 miliar, menjadi kunci pengembangan dan monetisasi cadangan gas yang 30 tahun belum dikem-bangkan di Sulawesi Tengah.

​Data Produksi rata-rata per tahun Kargo Gas DSLNG hingga 2016 sebanyak 36 Kargo atau sebesar 118.229.670 MMBtu. Pada akhir tahun 2016, setelah perubahan system loading mode, terjadi peningkatan kapasitas produksi sebanyak 4 kargo atau sebesar 11.800.000 MMBtu.

Nilai dalam satu kargo sebesar 297. 500 milyar rupiah, jika dikalikan 40 kargo kurang lebih 11 triliun 900 milyar. Berikut ini rata-rata produksi gas DSLNG sepanjang tahun 2016.

​Proyek andalan SKK migas untuk mempertahankan tingkat produksi gas bumi dan meningkatkan produksi minyak bumi tahun 2014 adalah dua lapangan utama: Pertama lapangan Senoro yang akan memproduksi gas sebesar 310 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD); Kedua, lapangan Matindok akan memproduksi gas 79 MMSCFD dan 216 barel kondensat per hari (Nota Keuangan APBN, 2014).

Kapasitas produksi gas di Blok Matindok diperkirakan ± 100 MMSCFD (gross), dengan kandungan kondensat ± 850 bopd dan air produksi ± 2500 bwpd, dan diprakiraan umur produksi lebih kurang 20 tahun yang didasarkan atas besarnya cadangan gas dan hasil kajian ekonomi. Gas yang diproduksi mengandung CO2 ± 2,5%, Total Sulfur ± 3.000 ppm dan adanya kemungkinan unsur lainnya.

​​Secara keseluruhan kilang LNG akan memproduksi LNG maksimum sampai dengan 2 juta metrik ton per tahun dengan pasokan gas alam antara 300 hingga 350 standar kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day, disingkat MMSCFD) yang berasal dari Blok Matindok sebesar 100 MMSCFD dan dari Blok Senoro sebesar 200 MMSCFD. Selain itu, juga akan dihasilkan kondensat maksimum sampai 1.500 barel oil per hari.

Bisnis Hulu Eksisting

​​JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi berdiri pada bulan Maret tahun 2000. Awalnya, perusahaan ini bernama JOB Pertamina Exspan-Senoro Toili (Indonesia) Ltd. Setelah itu, perusahaan melakukan re-brandingdengan mengganti nama tersebut menjadi JOB Pertamina-Exspan Tomori Sulawesi pada bulan Oktober. Pada bulan April tahun 2003, perusahaan kembali melakukan re-branding dengan mengganti nama menjadi JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi.

JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi adalah badan kerjasama operasi yang dibentuk berdasarkan Production Sharing Contract (PSC) antara perusahaan PT. Pertamina Hulu Energi (sebagai operator) dengan PT Medco E&P Tomori Sulawesi (sebagai kontraktor) berdasarkan Production Sharing Contract Senoro-Toili Block (JOB PSC) untuk melaksanakan kegiatan operasi perminyakan pada blok tersebut.

​​JOB-PSC Blok Senoro-Toili di tandatangani pada tanggal 4 Desember 1997, dengan nama JOB Pertamina-Union Texas Tomori Inc., kemudian dalam perjalanannya, kepemilikan “working interest” berpindah tangan dari Union Texas kepada ARCO dan selanjutnya kepada PT. MEDCO Energi International Tbk. Pemerintah dalam hal ini SKK MIGAS melakukan tugas pengawasan kepada Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi selaku Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) untuk melakukan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi di lapangan Gas Senoro dan Lapangan Minyak Tiaka yang hasilnya dipergunakan sebesar-besar nya demi kemakmuran rakyat Indonesia.

Landasan kerja JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi setiap tahun didasarkan pada Work Program and Budget (WP&B) yang disepakati oleh kedua partner (PT. Pertamina Hulu Energi dan PT. Medco E&P Tomori Sulawesi) dan disetujui oleh Pemerintah (SKKMIGAS yang dahulu bernama BPMIGAS).

Urgensi Partisipating Interest

Sejak eksplorasi hingga produksi, Sulawesi Tengah belum sekali pun mendapatkan kesempatan berpartisipasi saham dalam penguasaan lapangan minyak dan gas baik itu, blok Matindok maupun Senoro Toili. Pemerintah Sulawesi Tengah sejauh ini hanya mendapatkan pemasukan dari sisi Dana Bagi Hasil (DBH), dan multi player efek investasi. Hingga tahun 2017, sumbangan investasi dari sektor migas belum bersifat signifikan mengubah optimisme peningkatan pendapatan daerah.

Padahal, dari sisi belanja daerah, Provinsi Sulawesi Tengah masih serba sangat kekurangan. Kondisi geografis yang berdimensi luas, terdiri dari hubungan antar pulau dalam provinsi, hubungan antar daerah melalui darat, dan udara belum sepenuhnya layak secara infrastruktur.

Hal itu pula yang mempengaruhi tingkat pembangunan di Sulawesi Tengah masih terdapat ketimpangan antara satu daerah dengan yang lain.
​Kalau belajar dari sisi penerimaan daerah yang ada, tingkat penerimaan daerah masih terus bertumpu pada konsumsi publik yang mengakibatkan perluasan cakupan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat belum bergerak signifikan.

Keterbatasan itu karena kecilnya sumber-sumber penerimaan daerah yang bisa dimaksimalkan. Walapun fakta menunjukan, sumber daya alam, terutama sektor minyak dan gas cukup strategis. Tetapi oleh karena tidak adanya akses partisipasi dan belanja daerah yang serba terbatas, membuat skenario menambah pendapatan daerah juga sempit.

Resolusi pembangunan Sulawesi Tengah menjadi terbuka ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% Pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi. Aturan ini ditetapkan tanggal 26 November 2016.

Skema penawaran PI 10 persen kepada BUMD atau perusahaan perseroan daerah dilaksanakan melalui skema kerja sama antara BUMD atau perusahaan perseroan daerah dengan kontraktor. Skema kerja sama ini dilakukan dengan cara pembiayaan terlebih dahulu oleh kontraktor terhadap besaran kewajiban BUMD atau perusahaan perseroan daerah.

​Kebijakan PI 10 persen kami pandang sangat strategis untuk mendorong perluasan cabang-cabang pendapatan daerah. Jika melihat dari sisi cadangan minyak dan gas dengan kemampuan produksi yang ada maka Sulawesi Tengah berpotensi untuk mendapatkan Pi 10 persen dengan pertimbangan pertama:

​Pertama, Sejak eksplorasi migas hingga era gas Donggi Senoro yang produksi pada tahun 2015. Sulawesi Tengah belum sekalipun mendapatkan kesempatan Partisipasi Interest. Sehingga dari sisi hak daerah, Sulawesi Tengah perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan PI 10 persen dengan kalkulasi deviden.

​Kedua, Sulawesi Tengah memiliki kemampuan yang cukup untuk mendorong terbangunnya suatu Badan Usaha Milik Daerah yang dapat diandalkan mengambil peran Pi 10 persen dengan catatan bimbingan dan asistensi langsung dari Kementeriaan ESDM. Jika dilihat dari potensi yang ada, Sulawesi Tengah berpotensi mendapatkan dana segar pembagian deviden setiap tahunnya antara 3-6 triliun yang dapat memompa belanja daerah semakin tinggi.

​Ketiga, Sulawesi Tengah memiliki daerah yang luas multi dimensi yang memerlukan dana besar untuk pembangunan infrastruktur dalam rangka menopang agenda strategis nasional. Bila Pi 10 persen didapatkan, maka Sulawesi Tengah dapat leluasa untuk meretas jarak hubungan antara dimensi daerah dengan dana yang cukup dan terukur.

Keempat, Angka Kemiskinan dan tingkat pengangguran di Sulawesi Tengah cukup tinggi. Proses investasi lanjutan dan penyerapan tenaga kerja PI 10 persen akan mengubah grafik kesejahteraan di Sulawesi Tengah. PI 10 persen akan menjadi landasan pacu mengejar ketertinggalan Provinsi Sulawesi Tengah dari daerah yang lain. Program pemerintah pusat ini juga diyakini akan memberikan manfaat secara lebih luas pada kurang lebih 3 juta jumlah penduduk Sulawesi Tengah. **

Penulis : Andika