SULTENG, CS –  Terjadinya kerugian ratusan miliar di PT. Bank Sulteng yang diakibatkan kredit macet, ternyata Hoax (berita bohong). Bahkan sebaliknya,  hingga Mei 2021, PT. Bank Sulteng mencatat adanya kenaikan laba sebesar 13,76 persen jika dibandingkan dengan kenaikan laba Mei 2020.

Direktur Utama (Dirut)  Bank Sulteng, Rahmat Abdul Haris, kepada sejumlah jurnalis, di Kota Palu, Rabu 9 Juni 2021 mengatakan, Pada 31 Mei 2020, perolehan laba Bank Sulteng tercatat sebesar Rp70,5 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp80,2 miliar pada 31 Mei 2021.

“Hingga Desember 2021 ini, Bank Sulteng ditarget memperoleh laba sebesar Rp240 miliar lebih,” katanya.

Terkait isu adanya kredit macet hingga ratusan miliar rupiah di Bank Sulteng. Menurut dia,  hal ini juga bisa dilihat dari rasio Non Performing Loan (NPL) yang mengalami dari posisi 31 Mei 2020 sebesar 1,72 persen, kemudian menurun menjadi 1,52 persen pada 31 Mei 2021.

“Sementara NPL ratio bank yang disyaratkan menurut regulasi adalah 5 persen,” katanya.

NPL sendiri adalah salah satu indikator kesehatan aset pada suatu lembaga keuangan.

Ia juga menyampaikan permasalahan adanya debitur macet atas nama PT. Mulyatama Asri Palu yang saat ini telah ditangani dengan konsep-konsep penyelesaian kredit bermasalah yang baik, di mana dari jumlah kredit awal sebesar Rp9,138 miliar, masih tersisa atau belum dilunasi (outstanding) sebesar Rp1,356 miliar.

“Progres selanjutnya sedang berjalan melalui penjualan aset atau jaminan dan proses eksekusi,” terangnya.

Demikian halnya dengan Aplikasi Loan Organitation System (LOS) yang sudah diganti dengan nama Sistem Aplikasi Pinjaman Bank Sulteng (SIiAP-BS). Kata dia, aplikasi itu telah dimanfaatkan oleh seluruh cabang atau cabang pembantu sejak tanggal 21 Mei 2018 sesuai Memo Internal Direksi PT. Bank Sulteng No. 1319/BPD-ST/MI/DIR/2018 tanggal 16 Mei 2018 perihal Pengoperasian SiAP-BS.

Ia juga menyampaikan perihal kerja sama dengan PT Bima Artha Prima (BAP) dalam hal pencarian nasabah pensiunan ASN (Aparatur Sipil Negara). Menurutnya, kerja sama tersebut tidaklah merugikan Bank Sulteng karena tenaga marketing yang mencari nasabah tidak berstatus karyawan tetap Bank Sulteng sehingga hanya mendapatkan fee dari nasabah.

“Justru Bank Sulteng bisa mendapatkan surplus karena fee yang diberikan kepada marketing itu jauh di bawah keuntungan bunga yang didapat Bank Sulteng,” katanya.

Meski demikian, lanjut dia, karena beberapa pertimbangan maka kerja sama dengan PT BAP itu dihentikan sementara sejak 1 Maret 2021.

Selama menjalani aktivitasnya, Bank Sulteng sendiri telah menyabet sejumlah penghargaan, seperti The Best Bank Category BUMD Bank Company Buku I Asset (10 T s/d 5 T) Tahun 2020, The Best Bank 2020 kategori BPD Buku I (Modal < 1 triliun), The Best Sustainable Regional Bank 23 Oktober 2020 dan ranking satu dari Buku I Top 50 Bank Tahun 2020.

Bank Sulteng sendiri merupakan milik Pemerintah Provinsi Sulteng selaku pemegang saham terbesar yakni 35,3 persen atau sebesar Rp150 miliar lebih (sebelum Rapat Umum Pemegang Saham tanggal 9 Maret 2021).

Selain Pemprov Sulteng, sejumlah pemerintah daerah di Sulteng juga turut menjadi bagian dari pemegang saham tersebut.

Sebelum RUPS 9 Maret lalu, saham yang dimiliki Pemkab Sigi sebesar 1,10% atau Rp4 miliar lebih, Banggai Laut 1,50 persen atau Rp6 miliar lebih, Morowali 2,30 persen atau Rp9,9 miliar lebih, Morowali Utara 2,60 persen atau Rp11 miliar lebih, Kota Palu sebesar 2,60 persen  atau Rp11,3 miliar lebih.

Selanjutnya Touna 2,80 persen atau Rp12 miliar lebih, Bangkep 2,80 persen  atau Rp12 miliar lebih, Donggala 3,40 persen atau Rp14,3 miliar lebih, Buol 3,50 persen  atau Rp14,8 miliar lebih, Banggai 3,90 persen atau Rp16,5 miliar lebih, Poso 4,00 persen  atau Rp17 miliar lebih, Tolitoli 4,30 persen atau Rp18 miliar lebih dan Parimo 4,90 persen atau Rp21 miliar lebih.

Selain itu ada juga pihak ketiga yang menjadi bagian dari pemegang saham, yakni PT Mega Corpora sebesar 24,9 persen  atau Rp106 miliar lebih. (YM)