Jalan baru Indonesia

Andika

Mau buka lapak atau gratis ongkir?

Semua ditentukan oleh infrastruktur. Biaya infrastruktur itu mahal, mau ikut Daendels kerja rodi berjamaah, atau ikat pinggang rame-rame?

Inilah pertanyaan yang patut diajukan di tengah gonjang ganjing penggunaan anggaran publik. Entah apa yang harus diprioritaskan dalam politik anggaran negara, semua nampak serba salah.

Memang banyak media konsolidasi dana publik, tetapi belum ada kesepakatan bersama. Apakah kita perlu menabung bersama sebagai investasi membiayai pembangunan atau memilih investasi untuk tujuan ekonomi sendiri.

Dalam kerangka inilah “karakter nasional” itu diuji. Di lain pihak, korupsi, penipuan, penggelapan masih menjadi wajah tata kelola keuangan kita secara nasional.

Dalam situasi demikian, demokrasi diuji untuk mampu menghadirkan kepemimpinan yang bisa memediasi, mengagregasi kepentingan semua untuk semua. Namun di pihak lain, bangsa memerlukan lompatan sejarah yang lebih dari sekedar perbincangan pasca reformasi.

Posisioning Nasional

Sesuatu yang harus kita pahami secara massal-Kita belum selesai dalam transisi revolusi agraria-. Pada saat bersamaan harus menuntaskan revolusi kognisi, di tengah arus revolusi digital yang sedemikian rupa.

Baca Juga :  Strategi Holistik Penilaian Berbasis Esai Kritis dalam Pembelajaran Sastra

Keadaan memaksa kita melompati peradaban yang tertinggal 200 tahun. Jadilah sebagian dari kita seperti masyarakat purba yang bikin status.

Ada baiknya Napoleon menjajah Belanda, Daendels bisa bangun jaringan jalan di Pulau Jawa. Hal itu pula yang mendesak politik balas budi “etis” memperkenalkan kita pada tahap awal revolusi agraria.

Sejahrahwa sering menyebutnya dengan istilah Triaz Van Deventer, yaitu penataan irigasi tekhnis, Land Reform transmigrasi, dan pengenalan pengetahuan moderen lewat program edukasi.

Tiga pekerjaan besar yang secara historis memicu kemerdekaan! Tumbuh jiwa kritis dan semangat kemanusiaan yang tinggi, telah melahirkan aktivis pejuang kemerdekaan.

Gagasan tentang Indonesia pun di tulis dan disebarluaskan oleh anak bangsa sendiri. Terlepas dari ragam pandangan dunia atas itu, kelahiran tokoh seperti Tan Malaka, Bung Hatta, Sahrir, dan Bung Karno, menjadi narasi besar, kelak, Republik Indonesia.

Baca Juga :  Satu Putra Sulawesi Sukses Meraih Gelar Sarjana di Universitas Al-Ahgaf

Mengilhami Revolusi Perancis, dunia mengalami perubahan besar setelah itu. Napoleon Bonaparte, menjadi tokoh sentral dalam pencapaian gagasan besar ini.

Menginspirasi Napoleon

Sejahrawan Andrew Robert mengatakan, bahwa Napoleon Bonparte lah yang meletakan pondasi masyarakat moderen.

Ia mengatakan, bahwa gagasan Napoleon yang menopang dunia modern terdiri dari meritokrasi, persamaan di depan hukum, hak milik, toleransi beragama, pendidikan sekuler modern, keuangan yang sehat, dan sebagainya.

Gagasan itu diperjuangkan, dikonsolidasikan, dikodifikasi, dan diperluas secara geografis oleh Napoleon.

Napoleon juga menambahkan administrasi lokal yang rasional dan efisien. Ia berhasil mengakhiri bandit pedesaan, mendorong ilmu pengetahuan dan seni, penghapusan feodalisme dan kodifikasi hukum terbesar sejak jatuhnya Kekaisaran Romawi.

Jalan Baru Indonesia

Di era moderen, spirit gagasan yang berbeda datang dari “Bapak Bangsa”Gusdur dan Sun Yat Sen. Mereka mendorong demokratisasi dengan prinsip bangsa yang aman dan damai. Keduanya memilih mundur jadi Presiden untuk membiarkan jalan demokrasi berjalan aman dan damai.

Baca Juga :  Embargo dan Vaksin

Gusdur adalah pahlawan Reformasi Sejati dan Sun Yat Sen pendiri Republik China. Keduanya berhasil membawa warga bangsanya ke alam demokratisasi.

Mereka punya pandangan dunia yang khas tetapi tidak keukeuh mempertahankan kekuasaan. Keselamatan rakyat dan bangsa jauh lebih tinggi ketimbang merawat kekuasaan dengan konflik politik, pertikaian hanya untuk sebuah kedudukan.

Keduanya selalu percaya bahwa alam demokrasi bisa menemukan jalan melahirkan kepemimpinan yang berkualitas. Memang tidak mudah, tentu butuh proses, tetapi demokrasi selalu berhasil mewujudkan jalan damai menuju kekuasaan.

Pada akhirnya, pekerjaan rumah kita menantikan respon lebih dari sekedar rutinitas demokrasi lima tahunan. “Mengembalikan tujuan bernegara yang termaktub dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yakni Negara yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur”.

Penulis : Andika

Pos terkait