Perkara klasik seperti untaian kutukan dari waktu ke waktu. Sebagaimana yang saya tulis minggu lalu, kita tidak pernah terlibat dalam perdagangan global secara adil.
Hanya ada dua sumber pokok roda ekonomi kita: pertama, sebagai penyedia bahan mentah, paling banter jadi essambling produk impor; kedua, sebagai sasaran pasar produk manufaktur global.
Kondisi ini memang menyedihkan. Apalagi dominasi investasi asing langsung dalam lapangan industri, nyaris seratus persen. Terutama manufaktur hilirisasi bahan mineral bumi.
Merkantilisme Abad 21
Kecemasan yang sama diutarakan, Bahlil, Kepala Badan Penanaman Modal Nasional. Ia bertutur,
“Aktivitas ekspor di Indonesia saat ini dinilai masih sama seperti yang pernah dilakukan oleh persekutuan dagang asal Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sebab banyak komoditas yang diekspor dalam bentuk bahan mentah,”, disampaikan di CNBC Indonesia online.
Bahlil menegaskan, bahwa hilirisasi harus dibereskan, tidak boleh lagi ada eksport bahan mentah kata dia. Kita harus lebih maju dari zaman VOC. Sebuah organisasi dagang multinasional yang menghimpun dana investasi dari masyarakat Belanda.
Walaupun menguasai eksport dengan standar merkantilisme yang agak lebih moderen. tetapi organisasi itu bangkrut dan gulung tikar akibat korupsi kronis dan salah urus yang akut. Pejabatnya memilih korupsi untuk hidup mewah di negeri jajahan Hindia Belanda.
Kurang lebih sama, seperti mewarisi perilaku VOC, karakter BUMN kita yang menghisap utang luar negeri dan suntikan BUMN, jarang sekali terdengar untung besar. Laporan ancaman pailit dan kerugian hampir tidak ada habisnya.
Tetapi para pejabatnya, hidup dalam keadaan serba berkelebihan. Barangkali ini yang disebut warisan kolonial. Disaat yang sama, mungkin hanya Pindad dan Antam, yang punya niat sejak lama bangun hilirisasi produk eksport. Dalam bayang-bayang persaingan global, enklap bisnis BUMN, memiliki cakupan yang relatif kecil, dibanding investasi asing langsung.
Sebagai gambaran, nilai investasi industri manufaktur selama triwulan I-2020 cukup pesat, mencapai Rp64 triliun atau naik 44,7% dibandingkan periode yang sama tahun 2019z Capaian ini terdiri dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp19,8 triliun serta penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp44,2 triliun.
Kementeriaan Perindustrian mencatat, sektor-sektor manufaktur yang menyetor nilai investasi secara signifikan pada kuartal I-2020, terdiri dari: Industri Logam Dasar, Barang Logam, Bukan Mesin dan Peralatannya sebesar Rp24,54 triliun; Industri Makanan (Rp11,61 triliun); Industri Kimia dan Farmasi (Rp9,83 triliun); Industri Mineral Non Logam (Rp4,34 triliun).
Jika melihat dari segi komoditas eksport. Pengelolaan hilirisasi mineral tambang menjadi primadona pengembangan sektor manufaktur. Tentu, ini sebuah kemajuan yang pesat meninggalkan tradisi merkantilis, “jual sapi hidup” ke Netherland.
Peradaban Hilirisasi
Orang Sulawesi patut berbangga, walaupun ini bukan rencana Pemerintah daerah. Kita ketiban investasi hilirisasi yang bertubi-tubi dalam 10 tahun terakhir.
Diawali dengan hilirisasi gas bumi Donggi Senoro menjadi produk LNG dan Amoniak, menyusul manufaktur baja gulung dingin dan panas, beserta Stenless stel, dari sejumlah tungku Smelter nikel di Kabupaten Morowali.
Kehadiran investasi hilirisasi ini hanya dalam kurung waktu 10 tahun, Sulawesi Tengah berubah menjadi provinsi manufaktur produsen baja kelas dunia.
Tidak tanggung-tanggung, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan, bahwa nilai ekspor baja (stainless steel) dari kawasan industri Morowali, Sulawesi Tengah, pada tahun 2021, ditargetkan mencapai US$ 13-15 miliar atau setara Rp 222 triliun (asumsi kurs Rp 14.800 per US$), naik dari perkiraan tahun ini sebesar US$ 10 miliar atau sekitar Rp 148 triliun (asumsi kurs Rp 14.800 per US$).
Nilai eksport yang mencengangkan itu membuat lonjakan ekspor baja secara nasional. Ironisnya, kenaikan ekspor baja itu bukan dari manufaktur yang eksisting atau investasi lama seperti Krakatau stell, tapi dari tungku pembakaran baru di Lokasi Kawasan Industri Morowali.
Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) menyatakan peningkatan performa ekspor baja selama semester I/2020 bukan berasal dari industri baja hasil investasi lama.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendata nilai ekspor besi dan baja selama paruh pertama 2020, naik 35,04 persen menjadi US$4,5 miliar. Performa tersebut didominasi oleh ekspor produk baja karbon dari Sulawesi Tengah.
Selama September 2020, total ekspor senilai US$ 702,66 juta, naik US$ 124,42 juta atau 21,52 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Kontribusi terbesar terhadap ekspor berasal dari besi dan baja senilai US$ 637,88 juta atau 90,78 persen dari total nilai ekspor. Tiongkok merupakan negara tujuan utama ekspor senilai US$ 365,95 juta atau 52,08 persen dari total nilai ekspor. Sementara Pelabuhan Kolonodale berperan besar menyumbang US$ 637,88 juta atau 90,78 persen dari total nilai ekspor.
Dinamika ekspor Sulawesi Tengan sekarang mengalami masa-masa keemasan sepanjang sejarah. Namun demikian, tingkat pencapaian manufaktur tersebut tidak beriringan dengan peningkatan kapasitas fiskal Sulawesi Tengah.
Pemerintah mencatat, dalam 10 tahun terakhir, tidak ada perubahan signifikan dalam segi pendapatan asli daerah. Hingga tahun 2021, pendapatan asli daerah Sulawesi Tengah baru berkisar 1 triliun rupiah.
Masalah mendasar seperti kemiskinan dan juga gap infrastruktur masih besar sekali. Tingginya angka eksport komoditas yang dihasilkan dari manufaktur hilirisasi produk tambang, tidak mengagresasi penerimaan daerah secara signifikan, demikian pula dengan kemiskinan.
Masalah mendasar dari soal ini adalah karena keterlibatan pemerintah daerah yang rendah dalam sektor manufaktur hilirisasi bahan tambang; Pertama, Pemerintah daerah tidak mampu mendorong BUMD berpartisipasi dalam pengelolaan mineral tambang; Kedua, tidak memiliki strategi linkage industrial. Semua jenis pendidikan formal yang tersedia, kurang relevan dengan kebutuhan industri secara agregat.
Oleh karena itu, jika daerah lain masih hidup dalam alam merkantilis ala VOC. Sulawesi justru sedang bonanza dengan peradaban hilirisasi.
Tetapi sebagaimana keadaaan di daerah lain. Manufaktur itu hanya seperti seorang “tetangga kaya” yang sedang pinjam pakai lahan di atas tanah kita. Mereka hanya bayar sewa kos tidak berbagi penghasilan.
Penulis : Andika