Secara geopolitik bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau, berbagai macam suku, ras, budaya dan agama. Segala kemajemukan yang ada di satu sisi merupakan kekayaan bangsa dan anugerah yang tidak ternilai harganya, namun di sisi lain jika berbagai keragaman tersebut tidak dikelola dengan baik, maka berpotensi memicu timbulnya konflik sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Keragaman di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, siapapun yang mau berdiam di bumi nusantara, maka harus bersedia menerima segala perbedaan yang ada di dalamnya. Keragaman tersebut merupakan ciri khas serta kelebihan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain.

Namun, akhir-akhir ini ada kecenderungan dari sebagian kelompok masyarakat untuk mengingkari sifat multikultural yang sudah melekat pada bangsa Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Hal itu menyebabkan bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada suatu situasi meresahkan, yakni ancaman perpecahan.

Memudarnya Karakter Keindonesiaan

Bangsa Indonesia sejak dahulu kala merupakan masyarakat yang religius, berbudaya, dan terbiasa bersama dalam perbedaan.  Pada abad ke-7 M sampai abad ke-13 M, ditemukan akar kebangsaan dan sistem musyawarah dan mufakat dalam pemerintahan atau kerajaan-kerajaan.

Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, yang merupakan nilai-nilai Pancasila sesungguhnya sudah menjiwai kehidupan kerajaan kala itu. Antara agama Hindu dan Buddha pernah hidup berdampingan secara damai dalam suatu kerajaan. Ini terceritakan dalam kitab Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular. Selain itu, dalam kitab Nagarakartagama karya Mpu Prapanca juga diuraikan susunan pemerintahan Majapahit yang mencerminkan unsur musyawarah.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, setelah melalui berbagai periode dari zaman ke zaman, pelan-pelan karakter keindonesiaan tersebut mulai meredup. Salah satu faktor yang paling memengaruhi pudarnya karakter keindonesiaan kita adalah arus globalisasi yang ditandai dengan banjir informasi yang kian tidak terkendali.

Salah satu karakter keindonesiaan yang mulai terlepas dari bangsa kita adalah nilai-nilai gotong royong. Apa itu gotong royong? Sebagian kita memaknai istilah gotong royong hanya sebatas kerja bakti. Padahal, makna gotong royong lebih luas dari itu. Menurut KBBI, gotong royong bermakna bekerja bersama-sama, tolong menolong, bantu membantu.

Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 di hadapan peserta sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapakan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Ir. Soekarno menyatakan gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Inti dari Pancasila menurut Ir.Soekarno adalah gotong royong.

Gotong royong menjadi jiwa, karakter dan nilai dasar bagi bangsa Indonesia. Semangat gotong royong merupakan warisan leluhur yang telah dipraktikkan mulai zaman kerajaan hingga zaman awal kemerdekaan.

Gotong bermakna “bekerja” dan royong berarti “bersama”. Gotong royong adalah bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Bahu membahu, memikul bersama problem bangsa. Dan gotong royong hanya terjadi dalam iklim kesetaraan dan kebersamaan dan warga bangsa bersedia menerima perbedaan.

Dalam kehidupan berbangsa sepatutnya kita menghindari paradigma konflik, yakni prinsip “hanya saya yang benar” dan “yang lain salah semua”. Paradigma yang semestinya dikedepankan adalah membangun dialog, mencari solusi secara bersama-sama. Esensi gotong royong adalah adanya kesadaran pada diri setiap individu untuk berkontribusi mewujudkan cita-cita bangsa dan melahirkan dunia yang lebih baik.

Bhinneka Tunggal Ika

Untuk bisa sampai pada semangat gotong royong maka semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi sebuah keniscayaan. Kebinekaan merupakan karakteristik masyarakat kita dan telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kebinekaan bermakna melepaskan egoisme suku, agama, budaya, dan berbagai perbedaan lainnya.

Secara linguistis makna struktural seloka  Bhinneka Tunggal Ika adalah “beda itu, satu itu”. Bhinneka artinya “beda itu”, Tunggal Ika artinya “satu itu”. Oleh karena itu jika diterjemahkan secara bebas maka makna Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, adalah: meskipun berbeda-beda akan tetapi satu jua. (Kaelan, 2009).

Dalam konteks berbangsa, kita memang berbeda-beda tapi esensinya satu. Konflik sering terjadi karena kita hanya melihat pada aspek Bhinneka saja tapi mengabaikan Tunggal Ika. Pada zaman orde baru bangsa ini hanya fokus pada Tunggal Ika (satu itu) saja, semua mau diseragamkan namun kehilangan Bhinneka (beda itu). Sedangkan era reformasi hanya fokus pada Bhinneka semata, namun kehilangan Tunggal Ika, kehilangan kebersamaan, kehilangan kesatuan. Sebagai bangsa kita boleh beragam tetapi harus ada kesadaran akan cita-cita dan visi yang sama.

Guna menumbuhkan kesadaran kebinekaan maka harus dimulai dengan mengembangkan metode berpikir kebinekaan. Konsistensi pada pengembangan nalar kebinekaan pada akhirnya akan mewujud menjadi karakter kebinekaan. Prinsip dari karakter kebinekaan adalah kesadaran akan keragaman, saling memahami, toleran, serta membuka ruang dialog untuk wujudkan visi bersama.

Bangsa Indonesia besar karena keragamannya. Namun keragaman tersebut bisa menjadi ancaman jika tidak dibangun kesadaran atau karakter kebinekaan. Dengan kebinekaan, maka kita sebagai warga bangsa adalah sama, setara, tidak merasa lebih tinggi, lebih unggul, atau lebih benar dari yang lain. Kita ada dan hidup dalam keragaman, memainkan peran yang berbeda tapi dalam satu visi dan cita-cita yang sama, yakni terwujudnya Indonesia sejahtera dan bahagia.

Dirgahayu Republik Indonesia ke-76 

Penulis : Wahyu Hidayat, S.IP., M.H (Dosen Program studi PPKn Universitas Cokroaminoto Palopo)