SULTENG, CS – Eskalasi Konflik Agraria di Sulawesi Tengah (Sulteng) dari tahun ke tahun makin meningkat. Di Sulawesi Tengah sendiri konflik agraria paling banyak terjadi di sektor perkebunan sawit. Ekspansi perusahaan ini selalu memberi kontribusi pada deretan konflik-konflik petani di pedesaan.
Watak monopolistik yang dimiliki oleh perusahaan sawit ini tidak mengarah pada kesejahteraan bagi petani, justru hal tersebut menjadi akar masalah konflik agaria di pedesaan.
Koordinator FRAS Sulteng, Eva Bande melalui rilisnya, Selasa 14 September 2021 mengatakan, konflik agraria yang terjadi di beberapa Kabupaten di Sulteng diantaranya, Kabupaten Banggai, Kabupaten Morowali Utara dan Kabupaten Donggala, merupakan tempat bercokolnya perusahaan-perusahaan sawit skala besar yang menimbulkan konflik terhadap petani.
Eva menuturkan, di Kabupaten Banggai terdapat kasus perampasan lahan, alih fungsi kawawasan hutan dan kriminalisasi terhadap Samria, oleh PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), di wilayah yang sama PT Sawindo Cemerlang mengkriminalisasi petani transmigran, Suparman.
Di Kabupaten Morowali Utara, salah satu warga telah di sel di Polres Morut, atas laporan perusahaan PT Agro Nusa Abadi.
“Padahal yang kami ketahui bahwa PT Agro Nusa Abadi diduga belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Pemerintah daerah dan pihak Kepolisian dipertanyakan tajinya untuk menertibkan perusahaan ini. Bagaimana mungkin perusahaan yang diduga tidak memiliki legalitas dapat membuka perkebunan skala besar di atas tanah-tanah petani?,” tanya Eva.
Lanjut dia, di Kabupaten Donggala terdapat kasus perampasan lahan dan kriminalisasi terhadap petani. Belum lama berselang petani Rio Pakava atas nama Hemsi, pergi ke Belanda mengadu kepada para pendana perusahaan PT Astra Agro Lestari. Ia telah melaporkan ke pihak Kepolisian dan pihak terkait di dalam negeri, tetapi laporannya tidak mendapatkan titik terang.
“Deretan kasus di atas hanyalah sebagian kecil kasus Konflik Agraria di Sulteng. Masih banyak kasus-kasus lainnya yang hari ini diperjuangkan oleh petani-petani di pedesaan. FRAS Sulteng menaruh harapan kepada Gubernur Sulteng yang baru untuk memimpin dan mengambil alih penyelesaian konflik agrarian di Sulteng,” katanya.
Terkait dengan hal itu, Eva mengaku, secara organisasi FRAS Sulteng bersama petani telah memasukkan surat permintaan audiens kepada Kapolda Sulteng, berharap petani dapat berdiskusi dan menyampaikan terkait masalah-masalah konflik agraria yang terjadi. Surat tersebut ditanggapi dan disarankan untuk bertemu ke bagian Ditreskrimum, menurut FRAS pelimpahan ini tidak akan menjawab problem yang FRAS Sulteng akan sampaikan.
Kepada Polda Sulteng, FRAS menyatakan secara tegas agar pihak kepolisian tidak tebang pilih dalam penyelesaian konflik agraia yang melibatkan perusahaan skala besar. Pihak Kepolisian seharusnya menjadi garda terdepan memberikan perlindungan kepada rakyat, bukan justru abai ataupun cenderung menjadi kaki tangan perusahaan melakukan intimidasi, represi dan penangkapan-penangkapan terhadap rakyat. **