SULTENG,CS – Masyarakat Adat Danau Poso (MADP) menolak keberadaan PLTA Poso Peaker 515 MW yang baru saja diresmikan langsung Presiden Joko Widodo, Jumat 25 Februari 2022.
Proyek PLTA tersebut dianggap telah mendatangkan masalah dan memiskinkan warga setempat.
Untuk diketahui,listrik yang dihasilkan PLTA untuk mendukung ketersediaan listrik di Sulsel, Sulbar dan Sulteng. Namun mega proyek ini menimbulkan masalah serius bagi warga di
sekeliling Danau Poso yang jadi sumber air untuk menggerakkan total 11 turbin dari PLTA Poso I (4×30 MW), PLTA Poso II (3×65 MW), PLTA extension (4×50 MW).
PLTA ini menghasilkan listrik 515 MW, yang digarap PT Poso Energi sebuah perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla itu membendung Sungai Poso sehingga menyebabkan naiknya permukaan air di Danau. Dengan melakukan pengerukan sepanjang 12,8 km di outlet Danau Poso serta
mereklamasi wilayah ulayat adat Danau Poso.
Beban puncak listrik yang hendak dipenuhi perusahaan keluarga JK, justru jadi puncak beban para petani dan nelayan di sekeliling Danau Poso.
PT.Poso Energy telah mengeruk keuntungan bisnis yang besar dari Danau Poso dengan memiskinkan warga karena sawah dan kebun mereka terendam sejak 2020.
MADP mencatat terdapat 266 hektar sawah dan kebun serta lahan penggembalaan warga terendam. Akibatnya para petani bukan hanya tidak bisa mengolah sawah/kebun tapi juga tidak bisa membiayai kehidupan sehari-hari, pendidikan dan kesehatan.
PT Poso Energi sendiri mengakui dalam pertemuan mediasi dengan petani terdampak di kantor Gubernur Sulteng , 22 Desember 2021, luas yang terendam mencapai 500 hektar.
Saat ratusan petani menuntut PT Poso Energi bertanggungjawab atas kerugian yang mereka alami, tuntutan para petani dijawab oleh perusahaan dengan nilai kompensasi 10 kg beras/are sawah yang terendam.
Berlin Modjanggo, salah satu ketua adat menilai bahwa nilai ini dianggap tidak masuk akal. Sebab berdasarkan perhitungan petani, 1 are sawah mereka menghasilkan sekitar 40 kg beras.
Ladang penggembalaan terendam akibat air danau yang tidak lagi surut mengikuti musim, bukan hanya sawah dan kebun yang tidak bisa diolah. Lahan penggembalaan kerbau di Desa Tokilo Kecamatan Pamona Tenggara juga susut lebih dari setengah.
Warga yang sebelumnya pelihara kerbau semampu mereka, kini dibatasi hanya maksimal 3 ekor per keluarga. Kebijakan ini diambil pemerintah desa agar rumput yang tersisa mencukupi kebutuhan semua kerbau dan sapi.
Bagi warga 3 desa yang ada di kecamatan Pamona Tenggara, Tokilo, Tindoli dan Tolambo.
Kepala Desa Tokilo, Hertian Tangkua menjelaskan, kerbau adalah tabungan yang sewaktu-waktu bisa dijual untuk membayar kebutuhan pendidikan anak, kesehatan atau untuk perayaan pesta dan kebutuhan tak terduga. Kini tabungan itu hilang seiring perubahan bentang alam Danau Poso.
Nelayan Tradisional terancam punah
Bukan hanya petani. Kerugian turut dialami nelayan. Di Danau Poso ada sistem penangkapan ikan dan Sidat yang ramah lingkungan. Sidat ditangkap menggunakan sebuah alat yang disebut Waya Masapi.
Teknologi ini sudah digunakan masyarakat sekitar turun temurun. Selain itu ada Toponyilo, nelayan yang dengan perahu menangkap ikan dimalam hari menggunakan lampu dan tombak.
Hajai Ancura, ketua adat Sawidago menyebutkan, ada tradisi masyarakat disekitar Danau Poso yang juga akan hilang akibat proyek bendungan PLTA ini adalah Mosango atau menangkap ikan secara bersama-sama saat air danau surut.
Di pinggir Danau Poso ada beberapa wilayah yang jadi lokasi Mosango. Yang pertama di Kompo Dongi, terletak di Kelurahan Tentena, Kecamatan Pamona Puselemba. Lokasi kedua ada di Desa Tokilo, Kecamatan Pamona Tenggara.
Rusaknya Ekosistem
Bukan hanya rugikan petani dan nelayan. Bendungan PLTA Poso juga mengancam kelestarian ekosistem. Sidat (anguilla spp) salah satu ikon Danau Poso tidak lagi bisa berkembang biak secara alami, sebab sungai yang jadi jalur alaminya menuju ke laut untuk memilah terhalang oleh 2 bendungan.
Demikian pula, anak-anak Sidat dari laut menuju Danau Poso juga terhalang di bendungan.
Dia menambahkan, bukan hanya Sidat yang terancam hilang. Tidak kunjung surutnya Danau Poso membuat wilayah riparian sungai yang jadi sumber makanan ikan di sungai dan Danau Poso hilang.
Ini menjadi salah satu masalah yang akan mempengaruhi kehidupan ikan-ikan di Danau Poso. Sejumlah peneliti mengkhawatirkan hilangnya wilayah riparian sungai dan rawa di sepanjang pinggiran sungai dan Danau Poso mempengaruhi ekosistem disekitarnya.
Kata dia, penguasaan Tanah Sawah dan kebun yang terendam rencananya akan dibeli oleh perusahaan. Informasi itu sudah didengar oleh kepala Desa Meko, Gede Sukaartana. Dia menolak skenario itu, karena akan menyingkirkan sekaligus memiskinkan warganya.
Rencana untuk membayar lahan warga yang terendam santer disebut jadi salah satu solusi yang hendak dilakukan oleh perusahaan. Namun hal ini dipandang sebagai upaya untuk menyingkirkan
masyarakat dari ruang hidupnya.
Sebab, bagi para petani khususnya yang berada di sebelah barat Danau Poso, sudah sulit meluaskan lahan pertanian, karena di belakang desa mereka sudah ada Cagar Alam Pamona.
Masyarakat Adat Danau Poso menyayangkan peresmian PLTA Poso oleh Presiden Jokowi di tengah masalah dan tanggungjawab perusahaan yang belum diselesaikan.
PT. Poso Energy telah mengeruk keuntungan bisnis yang besar dari Danau Poso dengan memiskinkan warga, tapi tidak mau bertanggungjawab atas dampak yang ditimbulkan.
Karena itu, Masyarakat Adat Danau Poso menyatakan menolak PLTA sebagai energi baru terbarukan, karena nyatanya telah merusak lingkungan dan ekosistem serta menghilangkan kebudayaan masyarakat di Danau Poso.
Menolak keberadaan PLTA Poso I yang telah mengganggu kehidupan
masyarakat Danau Poso.
Menuntut PT. Poso Energy untuk menyelesaikan masalah-masalah dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh operasional PLTA Poso I terutama sawah dan kebun yang terendam, perusakan wayamasapi dan karamba serta hilangnya wilayah penambang pasir tradisional.
Serta menuntut PT. Poso Energy untuk menghentikan pengerukan sungai Poso yang sekarang ini dilakukan tanpa dokumen perijinan. (***)