Moderasi Beragama : Akal Bulus Liberalisasi Agama

dr. Sakinatul Qulub

Masih lekat diingatan kita sebulan lalu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas  membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing, tentunya hal in memicu kontroversi dikalangan umat islam di Indonesia. Peristiwa ini kemudian dibenarkan oleh wakil ketua MUI Sigi, Hamdan Rampadio. Beliau menyatakan bahwa pernyataan Menteri Agama berdasarkan sebuah kegiatan yang arahannya bagaimana menerjemahkan moderasi. Kontradiktif dengan statement tersebut, beliau juga menyatakan konsep moderasi beragama masih membutuhkan perdebatan panjang karena masih asingnya kata tersebut, sehingga konsep moderasi beragama perlu dipelajari lebih mendalam. (palu.tribunnews.com 28/02/2022)

Belakangan ini kata moderasi beragama menjadi istilah yang sering kita dengar, tentunya berbagai instansi turut menyatakan bahwa moderasi beragama merupakan solusi agar keberagaman umat di Indonesia menjadi harmonis. Namun, hal ini menjadi polemik ditengah umat islam. Bagaimana tidak, perasaan kaum muslim dibuat campur aduk dengan adanya fakta yang tersodorkan di negeri kita tercinta ini. Sebut saja pernyatan terkait azan dan pengeras suara, kemudian stafsus yang melaksanankan pernikahan beda agama, hingga kata khilafah dan jihad dihapuskan dari kurikulum pendidikan. Tentunya kasus yang terjadi saat ini justru melanggar nilai fundamental Islam. Umat islam dipaksa untuk mentolerir akan hal itu. Lantas apa sebenarnya moderasi beragama itu?

Bacaan Lainnya

Menurut Buku Saku Kemenag terkait tanya jawab moderasi beragama, singkatnya moderasi adalah jalan tengah. Moderasi juga berarti ‘’sesuatu yang terbaik’’. Sesuatu yang ada di tengah biasanya berada di antara dua hal yang buruk. Maka, moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah sesuai pengertian moderasi sebelumnya. Masih menurut buku saku, moderasi beragama tidak sama dengan moderasi agama, karena agama tidak perlu dimoderasi karena agama itu sendiri telah mengajarkan prinsip moderasi, keadilan dan keseimbangan. Jadi bukan agama yang harus dimoderasi, melainkan cara penganut agama dalam menjalankan agamanya itulah yang harus dimoderasi. Sedang, menurut mereka toleran merupakan hasil yang diakibatkan oleh sikap moderat dalam beragama. Moderasi adalah proses, toleransi adalah hasilnya.

Menilik kembali permasalahan yang ada, kata moderasi ini sendiri disalahgunakan oleh berbagai pihak karena implementasinya yang masih terkesan samar.  Sebut saja pernikahan beda agama. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam rumusan tersebut diketahui tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Di Indonesia sendiri, pernikahan beda agama telah ditegaskan didalam fatwa MUI bahwa hukumnya adalah haram. Terlebih lagi, menjadi sorotan, karena yang melaksanakan adalah seseorang yang bekerja dalam instansi kenegaraan yang seharusnya memberikan contoh yang sesuai dengan ajaran agamanya.

Baca Juga :  Geliat Kebijakan Cerdas di Kota Gudeg; Study Komparasi Komisi A DPRD Kota Palu

Tentulah menjadi pertanyaan besar, bagaimana bisa pernikahan yang jelas tergolong haram, dapat diadakan tanpa hambatan dan pertentangan ? Sekali lagi, secara subjektif hal ini dinilai merupakan bentuk toleransi. Sebelumnya telah dikatakan, toleransi merupakan hasil dari proses moderasi itu sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, dikutip dari halaman website MUI dikatakan bahwa, realitas kehidupan beragama di Indonesia yang toleran dan terbuka terhadap keragaman merupakan contoh implementasi moderasi beragama.(mui.or.id 09/03/2022)

Lekat diingatan kita bagaimana saat itu ketika Menag yang menjabat sekarang, masih berstatus ketua PBNU, bertemu dengan Mike Pompeo seorang Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, pada kesempatan tersebut Gus Yaqut mengatakan islam yang didakwahkan oleh para ulama umumnya di Indonesia adalah islam yang moderat (bali.tribun.com 30/10/2020). Sebuah ulasan menarik ditemukan dalam penelitian singkat yang berjudul “RAND Usulkan cetak biru untuk membangun jaringan muslim moderat”.

Didalam ulasan itu disebutkan bahwa islam radikal merupakan ancaman bagi Amerika, oleh karenanya RAND menyarankan untuk membentuk jaringan muslim moderat. Mereka merekomendasikan agar pemerintah AS menjadikan pembangunan jaringan ini, sebagai tujuan ekspilisit dari kebijakan AS. Beberapa upaya agar hal itu terlaksana diantaranya, menyediakan dana untuk mempromosikan tujuan AS sembari mengevaluasi apakah mereka mengkampanyekan hal tersebut atau tidak, memperluas jaringan dari sektor politik, ekonomi, informasi, media berita dan diplomasi.

Peneliti RAND juga merekomendasikan penargetan lima blok potensial untuk jaringan diantaranya, akademisi dan intelektual muslim liberal dan sekuler, cendekiawan agama muda dan moderat, aktivis masyarakat perempuan yang terlibat dalam kampanye kesetaraan gender, dan jurnalis penulis moderat (rand.org 08/03/2007). Sedikit informasi, bahwa RAND merupakan organisasi penelitian non pemerintah yang bertujuan untuk menghasilkan pengetahuan yang mempengaruhi penyusunan kebijakan.

Baca Juga :  Abah, Kami Sangat Rindu

Dengan adanya pemaparan pada apa yang diteliti oleh RAND, dapat ditarik kesimpulan, bahwa sejatinya moderasi beragama adalah permintaan kebijakan suatu negara adidaya, bukan semata disandarkan dengan hilangnya nilai-nilai keluhuran pada masyarakat Indonesia, yang kemudian dikaitkan dengan aktivitas ekstrimis. Pula, ekstrimis sendiri adalah hasil buatan kebijakan asing agar umat islam terkotak-kotak keberbagai golongan, yang akhirnya memecah kesatuan antar umat itu sendiri.

Apakah proyek untuk memecah belah umat ini berhasil?  Dapat dilihat dalam pernyataan ketua komisi VII DPR, Yandri,  anggaran moderasi beragama lintas direktorat jenderal tahun 2021 sebesar Rp 3,2 Triliun, yang sebelumnya hanya 400 M. Menurut beliau, hal ini tentu sangat beralasan demi terjaganya toleransi dan moderasi. Beliau selaku DPR juga memohon kepada pemerintah agar terus melakukan kajian-kajian yang terukur terkait itu. Kemudian hasilnya disampaikan kepada publik sehingga bisa diterjemahkan bersama-sama dalam implementasi kehidupan sehari-hari. (ihram.co.id 23/09/2021)

Sejatinya, moderasi beragama adalah kata yang dikemas sangat rapi dan tersistematis disegala lini sektor pemerintahan untuk menutupi implementasi dan pengejawantahan dari liberal itu sendiri. Umat sengaja dijauhklan dari kehidupan beragama yang selayaknya, dan dipaksa untuk bersikap tenang ketika imannya di uji. Perlu diketahui bahwa dibalik paham moderasi beragama ini adalah upaya barat dalam menjauhkan Islam dari pribadi muslim. Islam moderat adalah Islam sesuai dengan kehendak barat. Barat yang membungkus niat buruk mereka dengan menggunakan berbagai strategi agar islam tidak kembali bangkit. Istilah islam radikal, islam tradisional, islam moderat adalah istilah yang dibuat oleh kaum barat untuk mengadu domba sesama muslim. Karena hakikatanya, islam itu hanya satu, menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.

Ide moderasi agama selama ini dikaitkan dengan kaidah ‘Washatiyah’, tentunya membingungkan umat. Mengubah ubah hukum Syara’, yang wajib menjadi tidak jelas, yang haram menjadi dilegalkan. Menurut Ust Yuana, frasa ummatan wasathan itu bermakna umat pilihan dan adil (khiyar[an] ’udul[an]), yakni umat yang adil dengan menegakkan ajaran Islam. Bukan umat yang menegakkan kezaliman dengan menyelisihi ajaran Islam. Terdapat tiga belas riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna al-‘adl. Pasalnya, hanya orang-orang yang adil yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan. Dalam sebuah hadist disampaikan 😀ari Abi Sa’id al-Khudri ra., dari Nabi saw. bersabda, “Demikianlah Kami jadikan kalian umat yang wasath[an]”. Beliau berkata, “(Maknanya itu) adil.” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ahmad)

Selain bermakna adil, ummatan]l wasathan juga berarti umat pilihan. “Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan umat Muhammad SAW sebagai umat yang adil di antara umat-umat, untuk menjadi saksi atas umat manusia,Allah SWT menjadikan umat ini dengan sifat (al-ummah al-wasath), yakni umat yang adil untuk menjadi saksi atas manusia. Keadilan merupakan syarat pokok untuk bersaksi. Al-Wasath dalam perkataan orang-orang Arab berkonotasi al-khiyâr (pilihan) dan orang terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil. (tintasiyasi.com 23/11/2021)

Baca Juga :  Perempuan dalam Pemilu 2024 untuk Demokrasi yang Berkualitas

Ada dua alasan Allah SWT lebih memilih menggunakan kata al-wasath daripada kata “al-khiyar”.  Pertama, karena Allah SWT akan menjadikan umat Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Posisi saksi semestinya berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang (proporsional). Lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa memberikan penilaian dengan baik. Kedua, terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik. Pasalnya, mereka berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah.

Kaum muslim harus bangkit, segera menyadari bahwa moderasi adalah racun yang mengaku obat bagi kaum muslim dan hanya menjauhkan kaum muslim dari agamanya. Segera kembali ke islam kaffah dengan mempelajari islam lebih dalam, karena itu adalah solusi yang hakiki bagi semua permasalahan yang menimpa kaum muslim saat ini.

Penulis : dr. Sakinatul Qulub (dokter umum)

Pos terkait