PALU, CS – Sidang lanjutan tersangka Dean, mantan Kepala Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) Kelas III Bunta, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Palu, Selasa 27 Desember 2022. Dean didakwa melakukan pemerasan, gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Sidang tersebut dipimpin Ketua Majelis Hakim, Chairil Anwar, dengan agenda mendengarkan saksi mahkota, Soehartono dan ahli, Harun Nyak Itam Abu, dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Pada kesempatan itu, Soehartono mengaku, dana dari dirinya Rp500 juta yang mengalir kepada terdakwa secara bertahap berstatus pinjaman, tidak ada tendensi lain. Karena terdakwa telah lama menjalin berteman baik dengannya.
“Saya percaya karena kami berteman baik, dan pinjaman itu dilandasi dengan surat perjanjian dengan jaminan rumah terdakwa,” ucap Soehartono sembari menunjukan surat perjanjian itu pada majelis hakim.
Terpisah, Penasehat Hukum (PH) terdakwa Dean, Jabar Anurantha Djaafara mengatakan, dalam surat perjanjian itu disepakati pinjaman berbunga dan ada batas waktunya.
“Pinjaman dengan nominal Rp500 juta itu tidak sekaligus, tapi diminta sedikit-sedikit. Pada saat dia ambil baru dihitung bunganya,” terangnya.
Dalam proses persidangan, pihaknya juga mempertanyakan alasan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwakan gratifikasi kepada kliennya.
Karena menurutnya, antara kliennya dengan Soehartono tidak memiliki hubungan kerja langsung.
Dia menjelaskan, Soehartono adalah Direktur PT Fortino Astha Sejahtera (PT FAS) yang menjadi investor di PT Aneka Nusantara Internasional (PT ANI). Kemudian, PT ANI menyewa kapal dan pemilik kapal dari PT AMS menunjuk agen, lalu agen yang mengurus SPB.
Sehingga tidak ada hubungan kerja langsung antara Soehartono dengan kliennya. Karena PT ANI dan PT FAS hanya menyewa kapal tidak mencari agen kapal. Yang mecari agen kapal adalah PT AMS.
“Ini Aneh, kalau memang adanya suap menyuap harusnya menyeret PT AMS selaku pemilik kapal, tapi ini tidak. Malah klien kami yang tidak ada hubungan kerja langsung yang terserat,” terang Jabar Anurantha.
Diuraikannya, fakta persidangan sebelumnya yang menghadirkan saksi dari PT. AMS.
“Terkait dakwaan Pasal 12 huruf e, klien kami diduga melakukan tindak pidana pemerasan terhadap PT AMS. Namun fakta di persidangan, saksi dari PT AMS, termasuk Jonny Nayoan, itu tidak pernah mereka menyatakan bahwa Dean memeras,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, sesuai kesaksian PT AMS, mereka memberikan sejumlah uang kepada terdakwa, karena kekhawatiran tidak dikeluarkannya SPB.
“Artinya, Dean memang tidak pernah meminta, tapi inisiatif AMS yang memberikan,” jelasnya.
Bicara khawatir, kata dia, berarti ada inisiatif dari si pemberi dan jika bicara pemerasan, maka tidak ada pula yang namanya pemberi, karena mereka korban.
“Tapi ini kenyataannya ada pemberi. Bahkan dalam persidangan dijelaskan oleh Jonny Nayoan bahwa pemberian itu berubah-ubah, mulai dari Rp5 juta, turun lagi menjadi Rp2,5 juta, berarti dia yang menentukan nilai. Kalau pemerasan artinya yang memeras yang menentukan nilai uang yang harus diberikan,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, kewenangan kliennya adalah mengeluarkan SPB.
“Tapi apakah SPB yang dikeluarkan itu bertentangan. Bahkan kami juga sempat pertanyakan kepada saksi dari staf KUPP, pernahkan ada dokumen lengkap tapi tidak dikeluarkan SPB-nya, mereka menjawab tidak. Demikian pula sebaliknya, pernahkan ada SPB yang dikeluarkan tapi dokumennya tidak lengkap, mereka juga menjawab tidak,” terangnya.
Pihaknya sendiri mempertanyakan kepada penegak hukum, karena dari sekian banyak pelabuhan yang ada di Sulteng, hanya Pelabuhan Bunta yang tiba-tiba dilakukan penggerebekan.
“Untuk itu, kami sebagai penasehat hukum optimis bahwa tidak ada hukuman tanpa kesalahan.
Terkait dakwaan TPPU, pihaknya menilai bahwa JPU harus membuktikan pasal 2 dan pasal 3, baru bisa ke TPPU.
“Dari dakwaan yang ada ini, kami menilai ada atensi yang kita tidak tahu siapa di belakangnya, ada kaitannya dengan politik dalam bisnis,” tegasnya.
Untuk itu, pada persidangan selanjutnya, pihaknya akan menghadirkan ahli pidana untuk menjelaskan peran dan keterkaitan kliennya dalam kasus yang didakwakan.
Dalam perkara ini, selain Jabar Anurantha Djaafara, Dean juga didampingi tiga penasehat hukum lainnya, yakni Yuyun, Mohamad Akbar dan Afdil Fitri Yadi.
Tim penasehat hukum menilai, kasus yang menimpa kliennya adalah fitnah yang dilakukan oleh salah satu perusahaan agen kapal.
Selain itu juga dinilai adanya rekayasa kasus pemerasan yang dikembangkan menjadi kasus penyuapan, agar mampu menjerat klien mereka dan dilanjutkan ke tindak pidana korupsi yang bermuara ke TPPU yang notabene kekayaannya disita tanpa ditinjau dari tahun perolehan pejabat yang terjerat kasus.
Tim penasehat hukum berharap kepada majelis hakim agar mempertimbangkan dengan hati nurani atas dugaan rekayasa yang dibangun oleh mafia tambang.
Sebelumnya, Dean ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka pemerasan terkait pengurusan SPB PT. AMS berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Nomor : Print-01/P.2/Fd.1/07/2022 tanggal 06 Juli 2022. **