PALU,CS – Pemerintah Kota (Pemkot) melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Palu menggagas pembentukan Bantaya Restorasi Justice Mosipakabelo Adhyaksa di Kelurahan Talise Valangguni Kecamatan Mantikulore Palu.

Bantaya ini diresmikan Kamis 26 Januari 2023 di Kantor Lurah Talise Valangguni.

Wakil Wali Kota (Wawali) Palu dr Reny A Lamadjido, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng Agus Salim, Kejari Palu hadir dalam peresmian bantaya tersebut.

Kepala Kesbangpol Palu, Ansar Sutiadi dalam sambutannya menjelaskan visi Pemkot Palu adalah membangun kemandirian, keamanan dan kenyamanan, serta tanggung jawab secara profesional

Visi itu didukung 4 misi. Salahsatu misi di antaranya adalah menciptakan pemerintahan profesional dan selalu hadir melayani.

Dalam kelembagaan bantaya Restorasi ini, Pemkot Palu jelas Ansar memberdayakan mitra kerja Pemkot di kelurahan dari berbagai unsur dan lembaga adat dengan tujuan untuk mewujudkan keamanan, ketertiban dan kenyamanan.

Ia mencontohkan, salahsatu permasalahan yang masih cukup tinggi di Kota Palu adalah terkait kriminalitas utamanya penyalahgunaan Narkotika,Psichotropika dan Zat Terlarang (Napza) dimana Kota Palu menjadi peringkat 1 prevalensi penyalahgunaan narkotika di Sulteng. Sementara Sulteng sendiri urutan 4 nasional.

Kelembagaan bantaya Restorasi Justice Mosipakabelo Adhyaksa jelasnya melibatkan unsur kejaksaan, BNN dan lembaga adat termasuk Satuan Tugas (Satgas) Pancasila ditingkat kelurahan.

“Bantaya Mosipakabelo adalah tempat dalam mewujudkan keinginan bersama untuk memperbaiki. Tujuan bantaya ini sebagai tempat musyawarah untuk menyelesaikan perkara pidana ringan di tengah masyarakat,”jelas Ansar Sutiadi.

Bersamaan dengan itu juga akan diresmikan balai rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba di RSU Anutapura. Pemkot Palu sudah melengkapi fasilitasi klinik rawat inap untuk rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba di balai tersebut.

Melalui Bantaya Restoratif Justice, nantinya ujar Ansar setiap pelaku penyalahgunaan narkoba tidak akan langsung didorong melalui penegakan hukum formal. Karena metode ini akan berujung pelaku di penjarakan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

“Karena jika dorong ke Lapas, maka mereka nantinya akan bertemu kawan-kawannya yang lebih profesional. Kita kawatir disama mereka justru kian menjadi pengedar,”ujarnya.

Wakil Wali Kota Palu, dr Reny A Lamadjido mengatakan, awal menjabat bersama Wali Kota Palu Hadianto Rasyid, pihaknya memang telah membentuk tim khusus karena Pemkot tidak bisa berdiri sendiri tanpa kerjasama pihak lain.

Menurutnya, selama ini tak ada pelaku penyalahgunaan narkotika yang mau dirawat di balai rehabilitas. Demikian juga ketika jika dirujuk ke daerah lain.

Dengan adanya bantaya Restorasi justice yang berjalan dengan kerjasama kejaksaan, maka nantinya upaya penanggulangan penyalahgunaan Napza bisa dilakukan bersama.

Wawali menyebut bantaya Restorasi Justice ini didirikan untuk menyelesaikan masalah pidana ringan yang terjadi di tengah masyarakat.

“Di Bantaya ini kita selesaikan masalah dengan musyawarah tanpa perlu ke pengadilan dan kejaksaan. Karena karakter masyarakat kita ini takut jika harus dibawa ke kejaksaan atau pengadilan,”jelasnya.

Bantaya Restoratif Justice inipun kata Wawali bukan hanya sekedar menyelesaikan masalah penyalahgunaan narkotika. Masalah lain seperti sengeketa tanah antar keluarga juga bisa diselesaikan secara mufakat.

“Bantaya ini diharapkan bisa selesaikan masalah hukum ringan. ini upaya mendekatkan akses kepada pemerintah,”harap Wawali.

Kejati Sulteng Agus Salim mengapresiasi inisiatif ini. Menurutnya arahan Kejagung memang meminta jajaran Adhyaksa mengedepankan kearifan lokal suatu daerah untuk menyelesaikan perkara.

Menurutnya Indonesia punya kearifan lokal untuk menyelesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Kearifan lokal ini jelas Agus Salim saat ini telah hilang.

“Dengan restorasi justice, maka masalah yang masih bisa dimusyawarahkan dan disaksikan banyak pihak,maka harusnya masalah itu bisa diselesaikan bersama,”jelas Kajati Sulteng.

Penegakan hukum formal menurutnya harus menjadi proses hukum terakhir yang harus dilakukan. Namun jika masalah itu bisa diselesaikan melalui musyawarah mufakat, maka pilihan itu harus diambil untuk menyelesaikan perkara.

“Misalnya Lakalantas. Sudah ada permintaan maaf pihak yang salah. Masa harus dibawa ke pengadilan. Mufakat itu putusan abadi,”ujarnya.

Kajati menambahkan, untuk penyelesaian perkara pidana ringan dengan model demikian, memang diamanatkan melalui Peraturan Kejaksaan Agung. Tujuannya agar peristiwa yang diselesaikan secara musyawarah mufakat adalah untuk mengembalikan keadaan seperti semula.

“Kalau di Pengadilan itu biasanya tidak akan selesai seperti keadaan semula. Karena bisa jadi tuntutannya rendah dan tidak diterima pihak yang lain,”demikian Kajati(TIM).