PALU,CS – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu turun ke jalan ikut ambil bagian memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, Senin 1 Mei 2023 di depan Kantor DPRD sekaligus Kantor Gubernur Sulteng.

AJI Palu turun bersama sejumlah elemen mahasiswa, Jatam, WALHI,dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Orasi dalam peringatan May Day seragam dengan satu isu penting, kesejahteraan buruh dan keberpihakan negara serta penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

Aksi yang dilakukan AJI bersama sejumlah LSM bertajuk “Hari May Day Sedunia Tegakkan Ruang Keadilan” (Hysteria). Orasi disampaikan bergantian sambil diselingi puisi dan nyanyian.

Tuntutan yang disuarakan diantaranya menaikkan upah 50 persen dan turunkan jam kerja sampai 6 jam, berikan peningkatan hak hidup buruh, serta mencabut Undang-Undang Ciptaker.

Ketua AJI Palu Yardin Hasan menyebut, dalam kegiatan kerja di dunia jurnalistik, perusahaan pers dianggap masih kerap abai dalam memberikan perlindungan mendasar kepada jurnalisnya.

Yardin mencontohkan saat era pandemi. Sejumlah perusahaan pers di wilayahnya masih saja memberikan beban pekerjan liputan di tengah pembatasan mobilitas masyarakat untuk menekan lonjakan kasus Covid-19.

“Kami pun kalangan jurnalis merasakan hal yang sama. Saat merebaknya Covid-19, perusahaan-perusahaan media hampir tidak ada memberikan perlindungan yang memadai kepada jurnalis,” ungkapnya.

Selain itu, dalam keterangannya dia menambahkan, masih banyak hal pekerja jurnalis yang mendasar belum terpenuhi, semisal soal upah minimum, tempat kerja yang tidak representatif bagi jurnalis perempuan dan beberapa hak dasar lainnya.

Yardin Hasan juga menyinggung soal UU Cipta Kerja yang menjadi kado pahit bagi dunia perburuhan di Indonesia. Karena sejak awal perancangannya, UU Cipta Kerja ini telah menuai kritik dari berbagai kalangan hingga memicu gelombang demonstrasi mahasiswa.

Kemudian, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh Makhamah Konstitusi. Kendati demikian, pemerintah justru menerbitkan Perppu yang pada akhirnya disahkan DPR menjadi UU.

“Kaum buruh mendapatkan kadoh terpahit dalam 77 tahun perjalanan negara ini merdeka. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (Cipta Kerja) adalah produk paling pahit yang dirasakan anak bangsa ini,” ujar Yardin dalam orasinya.

Aksi May Day ini juga diikuti sejumlah LSM, seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPS) Sulteng Solidaritas Perempuan (SP) Palu, Yayasan Tanah Merdeka, serta kalangan mahasiswa.

Senada dengan AJI, Walhi Sulteng juga menegaskan bahwa lahirnya UU Cipta Kerja semakin menyusahkan kehidupan kaum buruh.

“Semua kekayaan yang ada saat ini diciptakan oleh para buruh, dihasilkan oleh keringat mereka. Tapi apa yang mereka dapatkan? Yang kita dapati justru hak-hak dasar mereka tidak dipenuhi dan banyaknya terjadi kecelakaan kerja,” ucap Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, Aulia Hakim.

Ketua Jatam Sulteng, Taufik dalam operasinya menyebut regulasi yang diciptakan mengikuti cara main investasi. Hal ini pasti menghisap dan eksploitasi dan untungkan hanya kepada pemodal dan pengusaha saja.

“Cilakanya pemilik modal jadi bagian pembuat regulasi. Oligarki melahirkan UU ciptaker. Bahkan regulasi ini tetap dapat disahkan meski sudah memicu protes besar-besaran di tanah air,”katanya.

UU ciptaker menurutnya perlu dikritisi karena tidak transparan dalam proses penyusunannya. Banyak aturan yang merusak dan menggusur tanah rakyat.

UU ini setelah disahkan, pernah diajukan Ormas ke MK. Namun kemudian disahkan legislatif yang umumnya pebisnis di semua sektor meski MK sendiri menyatakan itu produk gagal.

“Pemerintah dengan mudah merampas dan korbankan kehidupan rakyat melalui Perpu UU Ciptaker. Padahal salahsatu syarat Perpu ini lahir dan disahkan ada sesuatu yang sangat genting. Isi Perpu hampir sama bagaimana UU ciptaker dibuat begitu pun muatan UU yang mengorbankan rakyat,”ujarnya lagi.(*/TIM).