Pencegahan Kekerasan Pasca Bencana

Pekerja mendirikan hunian tetap di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Oktober 2019. Mitigasi berbasis gender juga perlu diberikan kepada pekerja selama rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa dalam upaya pencegahan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan Kekerasan Terhadap Anak (KTA) penyintas. (FOTO: dok penulis)

Ketika Perempuan Peduli Perempuan

Organisasi peduli perempuan bekerja ekstra mencegah kekerasan berbasis gender (KBG) dan kekerasan terhadap anak (KTA) di Sulawesi Tengah.  Berpengalaman menangani perempuan dan anak penyintas gempabumi, tsunami, dan likuefaksi 28 September 2018.

Kertas kebijakan dengan judul “Menuju Pemulihan Berbasis Gender” sepanjang 15 halaman itu tersimpan di laman Yayasan Sikola Mombine.  Tulisan yang diterbitkan pada Februari 2020 ini, menyebut telah terjadi ketimpangan gender ketika gempabumi yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong pada 28 September 2018. Akibatnya, perempuan menghadapi dampak lebih besar sebagai korban, dibandingkan laki-laki.  Kertas kebijakan tersebut menuding, akibat mitigasi prabencana yang buruk, perempuan menjadi korban terbanyak ketika gempa. Sementara pascagempa, perempuan menghadapi berbagai kekerasan (domestik dan seksual), ketidaknyamanan privasi di tenda hunian sementara, beban ganda kehidupan keluarga, beban ekonomi yang sulit, serta kebutuhan pemenuhan sanitasi yang terbatas.

Karena dinilai belum responsif gender, hunian sementara yang dibangun pemerintah dan organisasi non pemerintah, menyebabkan  masalah turunan seperti  anak terpapar pornoaksi, meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lantaran suami tidak dapat melakukan hubungan seksual, dan pengintipan serta pelecehan seksual pada perempuan dan anak di kamar mandi.  Sepanjang Desember 2018-Desember 2019, Yayasan Sikola Mombine menangani 34 kasus KBG dan 6 KTA untuk wilayah Palu dan sekitarnya. KBG yang dialami perempuan berupa pelecehan seksual 15 kasus,  KDRT (10), pemerkosaan (3), kekerasan dalam keluarga (2), kekerasan seksual (2), pengancaman terhadap istri (1) dan kekerasan dalam pacaram (1). Adapun kekerasan terhadap anak yang terjadi adalah perkawinan anak sebanyak 3 kasus, penelantaran anak (2), kekerasan (1) dan pemaksaan perkawinan. Sikola Mombine menyarankan perlunya langkah-langkah konkrit untuk mengakhiri ketimpangan gender agar dapat mengurangi risiko perempuan terhadap bencana.  Katanya, pemerintah perlu mensinergikan upaya penanggulangan bencana yang inklusi gender, antara lain  pada kebijakan pengetahuan mitigasi, perlindungan dan layanan rumah ramah perempuan dan anak serta penguatan ekonomi berkelanjutan.

Bantuan Hukum Hingga Satgas di Desa

Sebagai bentuk dukungan terhadap pecegahan dan penanganan KBG dan KTA, termasuk terhadap perempuan dan anak penyintas, Yayasan Sikola Mombine menjalin kerja sama dengan Universitas Muhammadiyah  Palu. Dalam kerja sama yang diteken pada 19 Januari 2023 itu, disepakati perlunya pendampingan kepada penyintas kekerasan berbasis gender, penjangkauan kasus kekerasan, pemberian rujukan kasus serta memfasilitasi kebutuhan korban/penyintas kekerasan seperti kebutuhan medis, psikologis korban serta pendampingan dalam proses penanganan litigasi (hukum). Dikutip dari laman Yayasan Sikola Mombine, Senin 21 Agustus 2023, Universitas Muhammadiyah Palu  dipilih sebab kampus tersebut telah mengembangkan sistem layanan bantuan hukum serta memiliki divisi perlindungan perempuan dan anak.

Sementara itu, Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST) melakukan avdvokasi dan pencegahan KBG dan KTA di wilayah kerjanya dengan cara membentuk satuan tugas (Satgas).  Pasca-gempabumi, tsunami dan likuefaksi 28 September 2018, KPKPST membentuk Satgas  Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di kabupaten dan tingkat desa. Pembentukan Satgas PPA difokuskan di Kabupaten Donggala dan Sigi. Sampai Agustus 2023, sebanyak 18 Satgas PPA desa telah terbentuk di Donggala, dan 27 Satgas desa di Sigi.

Direktur KPKPST, Soraya Sultan mengatakan pembentukan Satgas PPA di tingkat kabupaten dan desa merupakan tindaklanjut dari program bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, yaitu Tenda Ramah Perempuan dan Anak, pascabencana, Oktober 2018.   KPKPST merekrut ibu-ibu PKK desa, bidan dan anak-anak muda desa sebagai relawan Satgas.

“Perempuan korban gempa juga bersedia menjadi pendamping korban,” tukas Soraya kepada wartawan di kantornya, Jalan Jambu, Palu Barat, Jumat 28 Juli 2023.

Satgas bekerja melakukan asesmen dan merujuk kasus tersebut kepada aparat desa atau aparat hukum. Namun, Soraya menegaskan jika kasusnya adalah KTA, tidak boleh ada mediasi antara korban dan pelaku.

Pencegahan pada CSRRP

Sementara itu, dalam upaya pencegahan KBG dan KTA selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa Palu, kontraktor dan pekerja paket-paket pekerjaan juga harus dibekali mitigasi berbasis gender. Syarat ini menjadi wajib oleh Bank Dunia sebagai pihak yang mendukung pemerintah dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa Palu.

“Semua rehab rekon yang pelaksanaannya di bawah Bank Dunia wajib mitigasi berbasis gender untuk perempuan dan anak. Untuk setiap paket diwajibkan,” kata  Dewi Rana, tenaga ahli mitigasi risiko Gender-Based Violence (GBV) di Project Management Consultant (PMC) Central Sulawesi Rehabilitation and Reconstruction Project (CSRRP),  melalui sambungan telepon, Senin 4 September 2023.

Dewi Rana mengatakan, sebelum rehabilitasi dan rekontruksi dilaksanakan, Bank Dunia telah melakukan riset  pascagempa Palu dan menyimpulkan bahwa tingkat risiko KBG dan KTA di daerah ini sangat substansial atau haruis dimitigasi sebaik-baiknya.

Selain mewajibkan para kontraktor dan pekerja menerima sosialisasi mengenai mitigasi KBG dan KTA sebelum paket pekerjaan dilaksanakan, setiap pihak yang terlibat dalam pekerjaan juga akan menandatangani komitmen tersebut.

“Semua pekerja diwajibkan tanda tangan kode etik, bahkan sampai (pekerja tidak boleh,pen) bersiul-siul kita atur,” katanya.

Pelaksana pekerjaan juga diwajibkan memasang poster-poster berisi nomor pengaduan jika ada pekerja yang melakukan KBG dan KTA. Di poster tersebut, terdapat nomor layanan bebas pulsa yang terhubung dengan Unit Pelaksana Teknis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Tengah.

Secara umum, lanjut Dewi Rana, sosialisasi mitigasi berbasis gender terhadap pelaksana pekerjaan pascagempa Palu dilaksanakan dua kali. Kali pertama sebelum pekerjaan dimulai, dan kali kedua sesaat sebelum pekerjaan berakhir. Sejak diterapkan pada Mei 2021, belum ada laporan mengenai KBG dan KTA oleh pekerja program CSRRP. Ia berharap kondisi ini tetap terjaga sampai tenggat proyek berakhir.

Selain program ini, Dewi Rana juga terlibat dalam berbagai upaya pencegahan KBG dan KTA di Sulteng. Ia dan rekan-rekannya bergerak pada organisasi nonpemerintah, Perkumpulan Lingkar Belajar Untuk Perempuan (Libu Perempuan).

Communication Specialist PMC CSRRP Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Muslich Basri dalam tulisannya tentang Sustainability Pencegahan dan Penanganan KBG  dan KTA  pada Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Sulawesi Tengah dimuat sulteng.sitaba.pu.go.id, edisi Jumat, 12 Agustus 2022, menyatakan sosialisasi KBG dan KTA telah dilaksanakan pada kontraktor dan pekerja untuk paket-paket pekerjaan pascagempa. Paket dimaksud, yaitu fasilitas pendidikan dasar, pembangunan Puskesmas Tipo Palu, paket Tondo, pekerjaan Universitas Tadulako, pembangunan hunian tetap di Desa Pombewe Sigi serta pembangunan Rumah Sakit Torabelo Sigi.

Tersisa Komitmen Elit

Sulawesi Tengah  telah memiliki kebijakan yang sejatinya cukup untuk mencegah dan mendera pelaku KBG dan KTA, termasuk terhadap perempuan dan anak penyintas gempa.  Di tingkat provinsi telah ada  Peraturan  Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan  Perempuan dan  Anak Dari Tindak Kekerasan.  Di Kabupaten Donggala  telah lahir Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dari Kekerasan di Kabupaten Donggala dan peraturan bupati turunannya. Sementara itu, di Sigi terdapat pula Perda Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, juga peraturan bupati sebagai turunannya. Belum lagi aturan tambahan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalui Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak Dari Kekerasan Berbasis Gender Dalam Bencana.

Jika regulasi sudah cukup, yang tersisa untuk mencegah KBG dan KTA, khususnya terhadap penyintas bencana alam, adalah komitmen dari elit di daerah: kepala daerah dan jajaran, plus DPRD. Kepala daerah menjadi agen penting mengingat posisinya yang menguasai sumber daya (kebijakan, anggaran, dan pelaksana). Apalagi gubernur yang menjadi representasi pemerintah pusat di daerah. DPRD, karena posisinya didudukkan sebagai bagian dari pemerintah daerah. Begitu menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Keberpihakan itu bergantung pada pilihan sikap para elit tadi, yang mayoritas adalah laki-laki, sejauh ini. *

Penulis : Indar Ismail Jamaluddin

 

Pos terkait