PALU,CS – Sri Tini Haris langsung berapi -api menumpahkan kekesalannya terhadap pemerintah yang terus berjanji untuk memberinya Hunian Tetap (Huntap). Perempuan 45 tahun ini mengaku telah lima tahun bertahan di Hunian Sementara (Huntara) Bumi Roviga Komplek Lapangan Golf Kelurahan Talise, Kota Palu.

Sritini merupakan salahsatu penyintas yang berasal dari Jalan Komodo Kelurahan Karampe. Pemukiman warga di komplek Jalan Komodo ini memang salahsatu titik terparah dilalui gelombang tsunami pada 28 September 2018 silam. Rumah Sritini salahsatunya.

Rentang waktu itu ungkap Sritini, bukan waktu sebentar untuk dilalui dalam situasi serba memprihatinkan di Huntara. Belum lagi kondisi ekonomi dia dan puluhan penyintas lainnya yang tak kunjung membaik.

Ia begitu bersemangat dan menggebu-gebu menceritakan kembali kisah pahit yang ia rasakan di depan wartawan yang hadir dalam diseminasi lima tahun bencana alam Palu Sigi, Donggala dan Parigi Moutong (Padagimo), Rabu malam 27 September 2023 di Sekretariat Relawan Orang dan Alam (ROA) Palu.

“Eiiii,, pemerintah berenti jo babohoong kasian. Mo sampai kapan kita ini dijanji. Katanya bulan Desember,saya tidak percaya lagi,tidak yakin. Kita ini manusia bukan hewan,”sebut Sri .

Sritini menyebut janji yang terakhir kali ia dengar adalah pembangunan Huntap akan berakhir Desember 2023 ini. Dia menjadi salahsatu yang dijanjikan akan segera direlokasi jika Huntap itu selesai. Namun janji terakhir ini menurutnya adalah janji dari sekian janji yang sudah pernah dijanjikan kepadanya sejak menempati Huntara.

“Kalau lewat lagi bulan Desember, apa tanggung jawab pemerintah,”ucapnya.

Dalam ketidakpastian, penyintas di Huntara bumi roviga ungkap Sritini sudah banyak yang mulai menyerah akan keadaan. Sebanyak 13 penyintas Huntara meninggal dunia kurun waktu lima tahun.

Dua penyintas lainnya bahkan nekat mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Keputusan mengakhiri hidup yang dipilih rekannya itu tidak pernah ia sangka-sangka. Karena sebelum bunuh diri, rencana itu telah ia dengar dari mulut rekannya. Saat itu ia berfikir rekannya hanya sekedar bercanda hingga mengajaknya ikut serta minum racun.

“Ehh, betul pak. Sudah dua mati. Satu minum racun vortex satu gantung diri. Belum lagi masalah lain, ada juga pelecehan seksual,”bebernya.

Bila ada rekan sesama penyintas yang mendiami Huntara itu meninggal, Sritini mengaku dia orang yang paling sibuk, meski dia bukan koordinator. Dia mulai menggalang donasi dengan meminta kepada siapa saja sekedar untuk mencari pembeli kain kafan.

“Saya minta-minta pak sama polisi. Sama pegawai dinas PU Palu. Dorang sudah tau semua saya itu,”ujarnya.

Sritini menyebut ia pernah berfikir untuk merintis kembali hidupnya di lahan miliknya di Jalan Komodo. Sayang, pemerintah juga melarang karena lahan tempat rumahnya dulu sudah ditetapkan zona merah tsunami.

“Padahal sekarang juga sudah tidak ada lagi saya lihat itu tanda larangan tapasang,”ujarnya.

Sritini mengaku saat ini mengandalkan pemberian orang untuk menyambung hidupnya. Kadang dari meminta-minta ke orang-oramg sekitar Huntara maupun kepada sanak saudaranya di Kabupaten Poso.

Pekerjaan yang ia lakoni hanya sebagai pemulung plastik. Namun kini, harga plastik sedang tidak stabil, makanya ia memutuskan untuk berhenti sementara. Apalagi sampah plastik membuat halaman Huntara menjadi sesak.

Sedang suaminya saat ini juga sudah tidak lagi bekerja. Luka sobekan di tangan kanan suaminya akibat terjangan tsunami masih membekas dan membuat cacat ringan.

“Siapa yang mau rawat pak kalau bukan saya. Ini adikku lagi baru-baru juga meninggal. Anaknya juga tinggal sama saya di Huntara,”katanya.

Sritini mengaku ia berhak atas Huntap karena memiliki alas hak berupa sertifikat rumahnya di Jalan Komodo. Tapi, puluhan rekan lainnya ia akui tidak punya itu. Sebab itu ia berharap, pemerintah bisa berbaik hati memberikan mereka lahan untuk berupaya membangun sendiri huniannya.

Diseminasi lima tahun bencana alam dilaksanakan AJI Palu untuk mendiskusikan lima karya felloship yang merekam kondisi penyintas di Huntara.

Dan ternyata memang, Huntap bagi penyintas korban bencana di Sulteng belum sepenuhnya tersedia.

Itu diungkapkan secara lugas Koordinator SKP HAM Sulteng Firdaus, dalam diskusi. Dia mengulas temuan SKP HAM akan carut marutnya pemenuhan hak korban bencana sejak mulai CERP dan CSRRP oleh Kementerian PUPR.

Begitupun aturan dan nihilnya koordinasi antar lembaga pemerintah dalam penyediaan Huntap itu.

Sementara Zulfahmi, PPK Huntap Balai Penyediaan Perumahan Sulteng mengamini semua data yang diungkap SKP HAM. Baik keterlambatan pembangunan maupun kendala yang dihadapi dalam penyediaan lahan Huntap. Namun Zulfahmi menyebut pihaknya sejauh ini terus berupaya secara optimal menyelesaikan pekerjaan hunian yang dibebankan kepada mereka. (TIM).