Pengamen Jalanan Palu Yang Eksis Sejak 1987

PALU,CS – Suaranya masih terdengar stabil meski usianya sudah hampir paruh baya. Jemarinya pun lincah menari-nari, memetik senar-senar okulele dan dawai gitar miliknya di sebuah warung kecil.

Sekali dua kali ia melempar seutas senyuman, tersungging dari bibirnya ke arah Firman yang merekam aksinya dengan gawai, sambil terus asyik melantunkan irama karambangan berdialeg Kaili.

Sebuah pemetik senar plastic kecil rakitan, terjepit di ujung telunjuk dan ibu jarinya. Tangannya turun naik memainkan empat senar besusun memanjang di okulele kecil. Suaranya sendu bertalu dengan gelengan pelan.

Usai memetik okulele, ia menggantinya dengan gitar. Lalu sebelum kembali bernyanyi, ia membasahi kerongkongannya dengan tegukan air kemasan botol.

“Kalebara randua dunia, pompalaisiku ngata ntovea, nalentoramu yaku tengea, ondu nara ku boli riumba. Bona doli mo ana ntona, ri pokedona kana ku tora, ku pondodoka ledo nasana,eva tonji nipalaisi ntinana, mosumbomba ledo nasae, saenamo ripulumpae, mau yaku ringata ntovea, kana komiu kangu ku tora-tora”. Jrenggg, jrenngg, jreeenggg.jrenggg!!!!.

Emil Karambangan, begitu pria 52 tahun itu menyebut dirinya. Ia mampu memainkan irama karambangan dalam tiga bahasa. Manado, Kaili dan Poso. Emil datang ke warung itu dengan sebuah gitar berwarna hitam yang ia beli di Kota Manado. Lalu sebuah okulele memudar, Ia gantung dilehernya dengan tali lebar. Gitarnya ia letakkan di atas meja bersama sebotol air kemasan. Sebentar kemudian ia ganti dengan okulele secara bergantian.

Hari ini, Emil tidak membawa serta harmonica. Tapi ia tidak lupa tas pinggangnya. Tempat menyimpan uang pemberian orang.

“Harmonika rusak, jadi tidak dibawah,”sebutnya dengan nafas cepat usai menyanyi.

Emil adalah pengamen yang kerap terlihat menjajakan suara dibanyak SPBU di Kota Palu. Dia pengamen yang cukup familiar bagi warga Palu. Tampil dengan gaya khasnya, bertopi, sebuah ember kecil, lengkap dengan okulele, harmonica dan gitar. Suaranya juga khas, terdengar sendu bertalu-talu.

Dia sudah mengamen di Palu sejak tahun 1987. Mungkin dia-lah orang pertama yang merintis profesi ini di ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).

Di siang yang cukup menyengat itu, Emil tidak meminta bayaran kepada orang di depannya, meski tiga buah lagu telah ia mainkan. Ia sudah cukup punya hasil ngamen. Hari ini, warung kecil dengan meja dan kursi kayu berwarna putih menjadi panggungnya. Emil hanya singgah sebentar di situ untuk beristirahat setelah perjalanan panjang dari warung ke warung hingga tiba di warung petak yang berjejer di simpang Jalan Balai Kota Timur itu.

Dalam tas pinggangnya sudah terlihat lembaran uang yang ia susun rapi. Emil mengaku tidak lagi menjadikan SPBU sebagai tempatnya mengamen. Sedang, Firman, wartawan inisulteng, terus mengejarnya dengar pertanyaan.

“Sudah banyak saingan. Saya tidak mau bersaing. Masih banyak tempat, orang-orang ramai di situ yang bisa saya datangi,”ujarnya menjawab pertanyaan.

Mengamen dari satu warung ke warung lainnya ini baru saja setahun terakhir ia lakoni. SPBU terpaksa ia tinggal lantaran sudah banyak didatangi pengemen lain. Dulunya Emil memang mengamen dari rumah-ke rumah. Lalu dari pesta- ke pesta pernikahan. Arus kemajuan pembangunan yang cepat akhirnya membawa suaranya pada pusaran-pusaran keramaian kota. Salahsatunya SPBU.

Puluhan tahun mengamen dengan hasil lumayan, Emil tidak akan meninggalkan profesi itu meski tidak menjadikannya kaya raya. Sebab dari mengamen ia mampu membiayai hidup dan sekolah tiga putrinya. Salahsatu putrinya bahkan lulus kuliah pada salah satu perguruan tinggi swasta.

“Saya punya anak tiga. Yang pertama sudah lulus kuliah dan sudah bekerja. Semua hasil mengamen,”sebutnya.

Mulutnya terus saja komat Kamit menceritakan sembelit dan suka duka selama puluhan tahun mengamen. Firman pun tak kalah semangat dan penasaran mendengarnya lalu menawarkan makan kepada Emil.

Sekira tahun 1990 hingga 2000, keramaian kota yang sering ia datangi adalah kawasan pantai Taman Ria. Kala itu taman ria menjadi tempat paling ramai dikunjungi orang. Ia punya banyak pendapatan di sini, karena pengamen tak seramai kini.

Setiap malam ia bolak balik ke taman ria dengan bekal secarik kertas yang menurutnya itu izin mengamen dari ajudan wali kota kala itu.

Di taman ria itu pula ia merasakan sembelit menjadi pengamen. Karena di tempat itu juga banyak pemuda nakal’ yang kerap mengganggu orang. Satu malam yang mulai sepi, ia dihadang seorang pemuda mabuk yang ingin merampas uang hasil ngamennya.

“Saya mau dirampok. Tapi saya melawan dengan memukul orang itu dengan gitar,”kenangnya.

Soal hasil, Emil juga tidak pelit berbagi ceritanya. Ia merinci lembaran uang yang ia dapat dalam sehari. Sejak beranjak dari rumahnya di Jalan Tururuka pukul 8 pagi hingga pukul 10 malam.

“Paling sedikit 100 ribu. Paling banyak bisa sampai 500 ribu. Tapi setelah bencana, penghasilan tidak lagi seperti dulu,”ucapnya.

Pria kelahiran Marawola, Sigi ini bilang, dia harusnya masuk menjadi pengurus dalam organisasi kelompok pengamen jalanan. Ia merasa pantas untuk itu karena menganggap sebagai orang pertama yang merintis profesi ngamen di Kota Palu.

“Teman-teman pengamen lain saya yang masuk dalam organisasi kelompok pengamen jalanan banyak yang kehidupannya sudah baik. Saya begini terus,”tuturnya.

Pada letak mentari yang kian naik ke tempat tertinggi, gema adzan salat Jumat bersahutan di langit. Cerita Emil akhirnya hampir pungkas. Ia tidak ikut beranjak ke Masjid karena dia seorang Nasrani. Tapi satu putrinya kini telah memeluk Islam, mengikuti keyakinan suaminya.

“Saya tidak masalah anakku mau ikut agama suaminya. Yang masalah itu kalau suaminya keras, tukang bapukul-pukul istri,”celetuknya.

Emil akhirnya benar-benar berpamitan pulang. Ia akan dijemput dengan motor oleh seorang kawannya yang terus memanggillnya dari handphone kecil.

Tapi ia berjanji akan datang lagi pada Senin atau Selasa pekan depan ke warung milik Hj Maspa dengan membawa serta seorang rekannya yang piawai memainkan suling bambu. (TIM).

 

Pos terkait