PALU,CS – Akronim TPA Kawatuna Kota Palu ternyata sudah berganti dari tempat pembuangan akhir menjadi tempat pemprosesan akhir. Kata pembuangan menjadi pemprosesan. Apa ihwal dibalik perubahan satu kata itu?.
Itu lantaran di TPA Kawatuna tidak lagi sekadar menjadi tempat untuk membuang sampah, lalu ditinggal begitu saja. Dibiarkan menumpuk tidak karu-karuan hingga mengeluarkan bau busuk yang menguar kiloan meter jauhnya.
Pengelolaan sampah di TPA Kawatuna kini punya Standar Operasional Prosedur (SOP). Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu menempatkan satu Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang khusus mengawal jalannya SOP pengelolaan sampah itu.
Laporan dari TPA Kawatuna
Dari Kantor UPTD TPA Kawatuna, angin berhembus pelan dari pendingin udara. Sejuk meski beberapa ventilasi dibiarkan terbuka. Pada sejumlah sisi dinding, terpampang sejumlah bagan yang menjelaskan tentang luas TPA, alur pengelolaan sampah, sarana dan struktur UPTD.
Kantor UPTD ini hanya berjarak tidak sampai 500 meter dari bak atau lubang tempat pembuangan sampah induk (Landfill). Selain UPTD, sejumlah gedung terbuka berjejer di lokasi tak jauh dari kantor UPTD. Seperti gedung penyimpanan alat berat sekaligus service ringan. Lalu ada gedung MRF sebagai tempat pengolahan sampah kompos.
Bangunan-bangunan di TPA Kawatuna itu merupakan bantuan infrastruktur dari UNDP melalui proyek PETRA sebagai kontribusi rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana di Sulteng dan NTB. Proyek ini didanai Pemerintah Jerman melalui Bank Pembangunan Jerman (KfW).
Selain itu, UNDP juga membangun instalasi pengolahan lindi, penutupan sel- 2, pembangunan sel-3 yang dilengkapi sistem pengumpulan gas, jalan dan drainase, pagar perimeter dan zona penyangga, bengkel alat berat, rumah pemilahan material dan pos jaga.
Di dalam ruangan UPTD, sudah menunggu Kepala UPTD TPA Kawatuna, Mohamad Saiful. Dia terlihat sibuk menandatangani lembaran disposisi yang menjadi urusan perangkat UPTD yang ia pimpin.
Ipul, sapaan akrabnya pun mempersilahkan media ini masuk ke ruang kerjanya bersama Sekertaris DLH Palu, Ibnu Mundzir. Dua lainnya yang ikut masuk adalah Hamid dan Ridwan. Hamid seorang jurnalis dari Media Alkhairaat (MAL) sedangkan Ridwan bekerja pada Kantor Berita Antara Sulteng.
“Bau ndak?,” tanya Ibnu Mundzir,
Benar saja, dalam ruangan itu sama sekali tak tercium bau sampah menyengat yang menyeruak dari landfill. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh.
“Lalat, lalat, bagaimana? sambung Ibnu, tertawa kecil.
Dan ternyata benar juga. Hanya ada se-ekor lalat yang terbang ke sana kemari, membersamai pembicaraan. Itupun bukan jenis lalat hijau (lucilia sericata). Hanya lalat rumahan (musca domestica). Ibnu bilang, jika hanya lalat rumahan, itu hal yang lazim. Sebagaimana umumnya banyak dijumpai sehari-hari di rumah.
Tahun 2017 silam, DLH Palu pernah berkantor tak jauh dari landfill TPA. Media ini pernah sekali atau dua kali datang untuk melihat penerapan pembangkit listrik biogas bantuan Negara Swedia yang terpasang di sana. Masih teringat jelas ruangan pada kantor itu dipenuhi lalat hijau, beterbangan. Demikian aroma tak sedap yang menyeruak dari tumpukan sampah yang menggunung. Terasa seolah jika ruang kantor itu berada tepat dalam tumpukan sampah.
Kantor itu tidak di tempati lagi. Pascabencana 2018 silam kantor itu ikut rusak, terdampak guncangan gempa. Juga membuat sistem pipanisasi gas pembangkit listrik tenaga biogas tersebut rusak. Kini juga sudah tidak berfungsi lagi.
Saat ini kantor DLH di komplek TPA itu difungsikan sebagai bank sampah. Sementara DLH Palu kini kembali berkantor di Jalan Kakatua Palu.
Ipul lantas menjelaskan prihal mengapa bau busuk sampah tidak lagi menguar jauh. Itu lantaran, pengelolaan sampah pada landfill sudah menggunakan sistem sanitary landfill. Pada sistem ini, setiap tumpukan sampah yang masuk pada landfill akan langsung ditimbun dengan tanah urukan. Penimbunan dilakukan setiap hari setelah tumpukan sampah yang masuk diratakan dengan unit alat berat (Doser).
Untuk proses sanitary landfill ini, pihaknya menyiagakan dua unit truck untuk angkutan material tanah urukan. 1 unit loder, dua unit eskapator dan dua unit doser. Setiap hari alat-alat berat itu hilir mudik untuk melakukan proses sanitary landfile. Meratakan tumpukan lalu menimbun.
Sistem pengelolaan sanitary landfill ini sebenarnya kata Ipul, diberlakukan untuk kategori kota besar dan metropolitan.Itu sesuai Undang-Undang (UU) nomor 18 tahun 2008 mengisyaratkan ketentuan penutupan TPA open dumping menjadi sanitary landfill.
Dirinci lebih jauh dalam peraturan Pemerintah (PP) nomor 81 tahun 2021 tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Dalam PP ini mensyaratkan ketentuan TPA sanitary landfill diberlakukan bagi kota besar dan metropolitan. Sedang controlled landfill diberlakukan bagi kota sedang dan kecil.
Pengelolaan sanitary landfile menurutnya dilakukan dengan cara menimbun tumpukan sampah setiap hari. Sedangkan controlled landfill adalah penimbunan sampah yang dilakukan per setiap satu pekan.
“Kita di Palu sebenarnya cukup dengan controlled landfill karena kita kota dengan kategori sedang. Tapi sekarang kita pakai sistem sanitary landfill untuk kota besar,”jelasnya.
Sebab itu, tumpukan sampah dalam landfill TPA tidak dibiarkan terbuka lama. Ipul menyebut itulah sebabnya bau busuk sampah tidak menguar terlalu jauh. Sampah yang telah tertutup itupun disebut membuat lalat berkurang. Meski tak benar-benar hilang.
SOP pengelolaan sampah di TPA Kawatuna dimulai sejak armada pengangkut sampah masuk komplek TPA. Setiap truck yang masuk akan melewati jembatan timbang. Jembatan timbang ini satu-satunya sarana yang dibangun Pemkot Palu.
Di jembatan timbang ini, dicatat berat sampah yang masuk dalam TPA menggunakan truk, mencatat nomor polisi, pengemudi dan sumber sampah. Lalu truck sampah menuju shel dalam landfill. Shel bagian-bagian ruang penampungan dalam landfill. Saat ini ada tiga shel yang disediakan dalam landfill itu.
Sampah yang masuk dalam landfill akan dibongkar pada shel harian yang sudah ditentukan. Dalam shel di area landfill itulah sampah kemudian disebar dan diratakan menggunakan alat berat. Untuk kemudian dipadatkan dan ditutup dengan tanah urukan.
Proses ini juga membuat ternak sapi warga sekitar tidak lagi datang untuk mencari makan di lokasi tumpukan sampah. Karena begitu sampah datang, proses penutupan juga langsung dilakukan.
Bersamaan dengan proses pemadatan dan penutupan, juga berjalan proses yang disebut dengan pengolahan air lindih. Proses ini bermaksud menyerap air yang dihasilkan sampah dalam area landfill. Pada bagian bawah landfill sudah terpasang plastik membran untuk menampung air rembesan sampah.
Air rembesan sampah yang tertampung dengan plastik membran itu dialirkan menuju sebuah kolam lindih dengan sistem pipanisasi khusus. Letak kolam lindih dari landfill berada jauh dibawah.
Menurut Ipul, air dari sampah itu meresap ke dalam tanah lalu masuk pada pipanisasi. Cara kerjanya seumpama penjernihan air menggunakan metode saringan tanah atau pasir.
Di area kolam lindih sendiri terdapat beberapa kolam dibangun bertingkat dua. Bagian atas terdapat dua kolam besar untuk menampung air dari pipanisasi. Kolam atas ini sekaligus berfungsi untuk pengendapan material yang terdapat dalam air.
Sedangkan kolam dibawah berfungsi untuk menampung aliran air dari kolam atas. Kolam-kolam air bagian bawah ini terdapat di sisi kiri dan kanan. Masing-masing sisi terdiri dari empat ruang kolam. Tiga ruang kolam lainnya gunakan untuk menguji kualitas air hasil penjernihan. Pengujian kualitas air dilakukan dengan cara menanam tumbuhan di tiga kolam bagian bawah tadi.
Dari titik lokasi kolam bagian bawah itu terlihat jelas sejenis tanaman ilalang yang tumbuh hampir dua meter tingginya.
“Kalau tanaman itu tidak tumbuh, berarti kualitas penjernihan air lindih belum baik,”kata Ipul.
Berdasarkan amatan media ini, Kamis 9 November 2023, area-area lubang penampungan sampah yang lama juga terlihat sudah ditutup dengan tanah urukan. Area itu berada pada dua lokasi. Terlihat pula pipa-pipa berbentuk corong berdiri dan tertulis penguapan gas metana.
Kini giliran Ibnu Mundzir yang menjelaskan tentang gas metana itu. Menurutnya area itu disebut dengan zona tidak aktif. Dulunya dua lokasi itu adalah lubang pembuangan sampah. Dalam zona tidak aktif itu masih terkandung gas metana hasil penguraian sampah organik.
“Pipa itu berfungsi mengeluarkan gas metana untuk mengurangi resiko dari hal yang bisa memicu kebakaran,”jelasnya.
Sebenarnya kata Ibnu, potensi gas metana itu bisa menguap dengan sendirinya. Namun potensi itu juga dikelola dan dikembangkan sebagai sumber pembangkit listrik maupun untuk keperluan bahan bakar rumah tangga. Untuk hal ini, Ibnu mengaku akan mempelajari inovasi tersebut pada sejumlah daerah yang telah berhasil mengembangkan potensi metana dari TPA.
“Karena pembangkit listrik biogas bantuan Swedia, kan sudah rusak. Jaringan pipanya dalam tanah patah. Tidak berfungsi lagi. Jadi kita harus berfikir untuk mengembangkan potensi metana itu dengan cara lain yang lebih murah. Itu sedang berproses,”ujarnya.
Ibnu mengaku beryukur dengan pola pengelolaan sampah di TPA Kawatuna kini. Alur pemprosesan sampah dengan konsep demikian tela ikut menambah point penilaian Adipura dari tim penilai Kemenetrian Lingkungan Hidup (KLHK) belum lama ini. Menurutnya, point tertinggi dalam penilaian kota adipura berada pada penilaian sistem pengelolaan sampah di TPA.
Dalam penilaian Adipura terdapat 18 objek yang menjadi penilaian tim KLHK, termasuk TPA.
“Jadi meskipun 17 objek penilaian lain dapat point tinggi, kemudian tidak ada SOP dalam pengolaan sampah di TPA, maka, poin yang didapat dari 17 objek lainnya itu tidak berarti apa-apa untuk masuk nominasi peraih Adipura,”sebut Ibnu Mundzir.
Ke depan lanjut Ibnu, TPA Kawatuna direncanakan menjadi objek wisata edukasi. Hal-hal berkaitan dengan itu kini tengah mereka persiapkan. (Hamdi Anwar)