Pada sore yang mendung di Kota Palu, sebuah kisah duka terungkap di depan Gedung DPRD Sulawesi Tengah. Langit gelap tampak meliputi kota, seolah sejalan dengan suasana hati warga yang kecewa.
Di tengah ketenangan yang menipu, ada sebuah pesan tersembunyi di bawah plang nama kantor gedung, sebuah pesan yang menggambarkan keresahan mendalam rakyat terhadap lembaga yang dianggap sebagai suara mereka.
Saat matahari perlahan meredup, jalan Sam Ratulangi yang biasanya ramai dengan aktivitas kendaraan, hari ini tampak sunyi. Tak ada barikade keamanan, tak ada kerumunan massa yang sering menghiasi berita. Hanya lalu lintas kendaraan yang berjalan lambat di tengah hujan yang mulai turun, seolah menyembunyikan kegelisahan yang melanda.
Di bawah plang nama Gedung DPRD, terdapat sebuah taburan bunga yang sangat mencolok. Kelopak-kelopak bunga merah, kuning, dan hijau daun pandan bertaburan dengan rapi, mirip dengan bunga-bunga tabur yang biasa ditemukan di area pemakaman. Namun, di antara taburan bunga, ada sesuatu yang lebih menyentuh. Sebuah batu nisan, diambil dari sisa-sisa paving halaman, tertancap di tengah-tengah bunga tersebut, dengan kertas bertuliskan merah, “Turut Berduka atas Wafatnya DPR.”
Bunga-bunga ini berbicara lebih dari sekedar warna dan aroma. Mereka adalah simbol dari duka dan kekecewaan mendalam, pesan bisu yang menuntut perhatian. Mereka menggambarkan keputusasaan rakyat yang merasa suaranya tidak lagi didengar, dalam keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR yang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat pemilihan kepala daerah. Keputusan ini dinilai hanya menguntungkan segelintir pihak dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Sementara itu, di tengah hujan yang semakin deras, jalanan di sekitar Gedung DPRD menjadi semakin sepi. Tulisan “Turut Berduka” di atas batu nisan mulai buram, seiring dengan rembesan air hujan. Bunga-bunga perkabungan itu bertambah jumlahnya, namun siapa yang menambahkannya tidaklah jelas. Apakah ini adalah bagian dari pesan kolektif atau sekadar tindakan individu yang tergerak oleh rasa marah dan kesedihan?
Di tengah kesunyian malam, suasana semakin tenang, tetapi gerakan tidak hilang begitu saja. Di dunia maya dan ruang-ruang pertemuan, organisasi-organisasi mahasiswa, seperti BEM UIN Datokarama Palu dan BEM Universitas Alkhairaat, telah merencanakan aksi sebagai bentuk protes.
Sementara, Universitas Tadulako, kampus terbesar di Sulawesi Tengah, baru saja memulai konsolidasi untuk membahas putusan MK, menandakan bahwa suara rakyat masih berusaha untuk didengar, meski dalam kebisuan fisik.
Kota Palu, yang kini hanya diwarnai oleh bunyi hujan yang menghantam jalanan, menyimpan cerita di balik taburan bunga-bunga duka itu. Mereka adalah lambang dari sebuah era di mana suara rakyat mulai pudar, di saat lembaga negara yang seharusnya menjadi harapan, justru tampak mengabaikan kehendak publik. Dalam diamnya malam, pesan duka ini tetap berdiri, mengingatkan kita bahwa ada yang lebih dari sekadar kelopak bunga, ada rasa kehilangan dan harapan yang menunggu untuk diperjuangkan.
Penulis : Mugni Mayah