Demokrasi yang Hilang di Bawah Langit Kelabu Palu

Salah satu mahasiswa mengalami cedera saat demo, di depan Kantor DPRD Sulteng, Jum’at 23 Agustus 2024. (Foto : Istimewa)

Di bawah langit Palu yang biasanya cerah, suasana berubah muram. Hari itu, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas besar di Kota Palu berkumpul dengan satu harapan, satu tujuan.

Dari Universitas Tadulako hingga UIN Datokarama, dari Alkhairaat hingga Universitas Muhammadiyah, mereka berdiri bersama, melangkah dengan keyakinan kuat bahwa suara mereka akan didengar, bahwa aspirasi mereka akan sampai ke telinga para wakil rakyat di Gedung DPRD Sulawesi Tengah.

Bacaan Lainnya

Namun, di bawah langit yang mulai mendung, harapan mereka mulai pudar, berubah menjadi kesia-siaan yang menyakitkan.

Sejak pagi, Jalan Sam Ratulangi yang biasanya ramai dengan lalu lalang kendaraan, telah berubah menjadi lautan manusia. Di antara hiruk-pikuk teriakan dan nyanyian perjuangan, spanduk-spanduk terbentang dengan tegas, membawa pesan-pesan yang menggelegar dari hati mereka yang mendambakan keadilan. “Putuskan Rantai Dinasti Jokowi,” demikian tulisan yang menghiasi langit Palu, seakan ingin menyentuh cakrawala. Di mata mereka, demokrasi adalah sesuatu yang berharga, sesuatu yang layak diperjuangkan, bahkan jika harus dibayar dengan pengorbanan.

Namun, seperti cuaca yang tiba-tiba berubah, suasana menjadi panas ketika massa mulai mendekati gerbang Gedung DPRD. Para mahasiswa yang tadinya penuh semangat dan harapan, kini berhadapan dengan dinding keras dari aparat kepolisian yang berdiri kokoh dengan perisai mereka. Dan seperti hujan yang turun tanpa peringatan, tiba-tiba water cannon menyembur, memaksa massa untuk mundur, meredam suara-suara yang tadinya menggema penuh keyakinan.

Ketika gas air mata ditembakkan, segalanya berubah. Kabut pedih menyelimuti jalan, membuat mata perih dan nafas sesak. Massa yang tadinya kokoh kini terpecah belah, berlarian mencari perlindungan, mencari udara segar di tengah kepungan gas yang menyesakkan dada. Di antara asap yang mengaburkan pandangan, beberapa mahasiswa terjatuh, menjadi korban dari benturan keras antara harapan dan kenyataan yang pahit.

Kombes Pol. Barliansyah, yang memimpin barisan polisi, sebelumnya sempat berbicara kepada para mahasiswa, memohon agar aksi ini berlangsung damai. Tapi seperti hujan yang tak bisa dihentikan, kekacauan pun tak dapat dihindari. Harapan untuk berdialog hancur berkeping-keping, terkubur di bawah kepulan gas air mata dan langkah kaki yang panik.

Di rumah sakit, satu per satu mahasiswa yang terluka mendapatkan perawatan. Luka-luka itu bukan sekadar cedera fisik, tetapi juga luka dalam di hati yang memar, terluka oleh kenyataan bahwa suara mereka tak lagi didengar.

Ketika hujan akhirnya turun dengan deras, seolah alam pun menangisi apa yang terjadi. Jalanan yang tadinya penuh dengan semangat juang, kini sunyi senyap, hanya menyisakan sisa-sisa kerusuhan. Batu-batu berserakan, spanduk yang koyak, dan properti demonstrasi yang tergeletak tanpa makna. Gedung DPRD yang tadinya menjadi tujuan perjuangan, kini berdiri sunyi, tak tersentuh oleh kerumunan yang sudah bubar.

Hari itu, perjuangan yang dimulai dengan semangat tinggi berakhir dengan kepedihan yang mendalam. Bukan hanya mahasiswa dan polisi yang terluka, tetapi juga demokrasi itu sendiri yang terasa semakin jauh dari jangkauan.

Di bawah hujan deras, di antara batu-batu dan spanduk yang koyak, harapan-harapan mereka terserak, hanyut bersama air hujan yang mengalir tanpa tujuan. Langit kelabu Palu menyaksikan sebuah cerita pahit, di mana demokrasi yang seharusnya menjadi milik rakyat, kini terasa semakin jauh, seperti bayangan yang menghilang di balik kabut gas air mata.

Penulis : Mugni Mayah

Pos terkait