Malam itu, di bawah langit Palu yang kelam, sekelompok pemuda berdiri dengan hening. Di tangan mereka, lilin-lilin kecil bergetar lemah dalam tiupan angin, memancarkan cahaya lembut yang terasa rapuh, namun penuh makna.
Mereka berdiri di depan Gedung DPRD Sulawesi Tengah, tempat yang biasanya riuh oleh suara-suara politik, namun malam ini menjadi saksi bisu dari sebuah protes yang berbeda, protes yang sunyi, namun menggugah.
Tak ada teriakan. Tak ada bendera berkibar. Hanya ada bunga-bunga yang bertebaran di tanah, layaknya bunga yang ditaburkan di atas pusara. Hanya ada lilin-lilin yang dinyalakan dengan harapan, meski harapan itu tampak semakin jauh. Mereka berkabung, bukan untuk seseorang, melainkan untuk sebuah prinsip yang mereka yakini telah matinya demokrasi.
“Ada yang telah pergi,” bisik Wahyu, seorang mahasiswa muda dari Universitas Tadulako, suaranya bergetar dalam keheningan malam.
“Yang kami tangisi malam ini adalah kepergian demokrasi kita, yang kini hanya tersisa bayang-bayang,” tambahnya pelan.
Aksi ini telah dimulai sejak Jumat 23 Agustus, sehari sebelum demonstrasi besar mengguncang Kota Palu. Saat itu, teriakan penuh amarah bergema di jalan-jalan, spanduk-spanduk besar dengan kalimat “turut berduka cita atas mati-matinya demokrasi” dibentangkan. Sebuah nisan simbolis berdiri tegak, dengan tulisan “turut berduka cita atas matinya DPR” terukir di atasnya. Namun, setelah amarah mereda, yang tersisa hanyalah duka yang mengendap, mengalir perlahan dalam bentuk aksi tabur bunga dan nyala lilin ini.
Malam demi malam, mereka kembali. Tanpa suara, tanpa sorak-sorai. Hanya bunga yang terus ditaburkan dan lilin-lilin yang terus dinyalakan, seolah-olah mereka mengadakan ritual yang penuh kesakralan, berusaha menghidupkan kembali apa yang telah hilang. Di sekeliling mereka, muncul tulisan-tulisan yang terbuat dari rasa kecewa yang mendalam.
“Tembak Polisi anti demokrasi” “Polisi tidak lagi melindungi” dan “Beri keadilan untuk para korban represifitas polisi”. Setiap kata seolah menjadi jeritan sunyi yang menggema di bawah langit yang tak memberi jawaban.
Wahyu dan kawan-kawannya menyebut aksi ini “tahlilan malam ke-7”. Ini bukan sekadar nama, ini adalah peringatan, sebuah ritus yang mereka janjikan akan terus dilakukan hingga tanggal 27 Agustus, saat pendaftaran calon kepala daerah 2024 dimulai.
Bagi mereka, tanggal tersebut bukan hanya awal dari proses politik baru, tetapi juga penanda bahwa harapan untuk demokrasi harus terus diperjuangkan, meski di tengah kegelapan yang semakin pekat.
“Apa yang kami lakukan ini bukanlah sekadar protes. Ini adalah cara kami untuk meratapi, untuk mengenang, dan untuk memberi tahu dunia bahwa kami masih ada di sini, meski demokrasi yang kami cintai terasa semakin jauh dari jangkauan,” lanjut Wahyu dengan mata yang berkaca-kaca.
Ada kegetiran yang tak terkatakan di balik aksi ini. Seperti gema yang tak kunjung padam, aksi mereka adalah suara-suara yang terkurung dalam dada, terpendam namun tetap ingin didengar. Mereka tidak memilih kekerasan, tidak memilih konfrontasi. Sebaliknya, mereka memilih keheningan yang mendalam, sebuah tindakan yang lebih menggugah dari ribuan kata yang diucapkan.
Dalam kegelapan malam, di depan gedung yang megah namun terasa dingin, lilin-lilin itu terus menyala, menciptakan lingkaran kecil cahaya yang melawan pekatnya malam. Bunga-bunga yang tersebar di tanah, meski tak berdaya, seolah mengirimkan pesan bahwa di balik setiap kelopak yang layu, ada doa, ada harapan yang belum sepenuhnya padam.
“Aksi ini akan terus berjalan. Sampai keadilan kembali, sampai demokrasi menemukan jalannya kembali,” ucap Wahyu menutup perbincangan, suaranya lirih namun penuh keteguhan.
Malam itu, di bawah langit Palu yang sepi, aksi mereka adalah lantunan rintihan sunyi, sebuah nyanyian duka yang mengalun di antara kegelapan, mencari secercah cahaya di tengah gelap yang tak berujung.
Penyulis : Mugni Mayah