Aktivitas PETI di Poboya Picu Degradasi Lahan, Lingkungan DAS Kritis

Lingkungan DAS Pobota terlihat kritis. (Foto : channelsulawesi.id)

PALU, CS – Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kelurahan Poboya, Kota Palu, terus memicu kerusakan lingkungan yang serius di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Poboya.

Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Palu-Poso menunjukkan, bahwa hingga tahun 2022, dari total 7.661,94 hektare luas DAS Poboya, lahan yang berstatus sangat kritis telah mencapai 406,10 hektare. Sementara 70,90 hektare masuk kategori kritis.

Bacaan Lainnya

Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi BPDAS Palu-Poso, Sumarman, mengungkapkan bahwa aktivitas PETI sangat berkontribusi terhadap degradasi lahan.

Menurutnya, PETI hanya berfokus pada pengambilan material tanpa adanya rencana pemulihan lingkungan, yang menyebabkan lahan menjadi tidak produktif dan masuk dalam kategori kritis.

“Kontribusi PETI pada kerusakan lahan besar karena ada pembukaan lahan dan tanah subur dari lahan yang dibuang. Yang tersisa adalah tanah yang tidak bisa ditanami,” jelas Sumarman, Rabu 2 Oktober 2024.

Lebih lanjut, Sumarman menjelaskan bahwa kerusakan lahan dapat dilihat melalui sejumlah indikator, seperti tutupan lahan, kemiringan, dan cara pengolahan lahan.

DAS Poboya, yang menjadi sumber air bagi pertanian dan perkebunan serta indikator kualitas lingkungan hidup Kota Palu, kini mengalami perubahan signifikan. Debit air menurun, pepohonan besar yang dahulu mendominasi kini telah berganti menjadi padang dan tanaman perdu.

Selain kerusakan lahan, penggunaan bahan kimia seperti merkuri dalam aktivitas PETI juga menjadi ancaman bagi ekosistem DAS Poboya dan bahkan hingga Teluk Palu.

Penelitian oleh mahasiswa Universitas Tadulako (Untad) menemukan adanya paparan merkuri di tanah sekitar lokasi tambang ilegal di Poboya, dengan kandungan yang berkisar antara 0,0068 hingga 0,0305 ppm.

Aktivitas PETI di Poboya tidak hanya terjadi di satu titik. Data dari lembaga lingkungan rindangID menyebutkan bahwa PETI juga telah merambah ke kawasan Kelurahan Tondo.

Di kedua wilayah ini, sekitar 10,5 hektare lahan telah diubah menjadi area tambang ilegal, dengan lubang-lubang bekas tambang yang menganga.

Taufik, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng, mempertanyakan lemahnya penegakan hukum terkait aktivitas PETI di wilayah tersebut.

“Pertanyaan, apakah hukum tak berdaya menghadapi mafia tambang, atau ada keterlibatan oknum aparat dalam membiarkan aktivitas ini berlangsung sehingga pemodal besar tetap aman,” ujarnya.

Aktivitas penambangan ilegal yang terus berlangsung ini semakin memperparah kerusakan lingkungan di DAS Poboya, yang berperan penting bagi kehidupan masyarakat Kota Palu. **

Pos terkait