Suatu hari pada tahun 634 M, sejarah mencatat detik-detik hening saat Umar bin Khattab menerima amanah sebagai khalifah. Air matanya menetes. Di tengah rasa takjub para sahabat, Umar mengucapkan kalimat yang abadi, “Saya takut, siapa yang akan mengkritik jika saya salah?”
Kalimat itu bukan kelemahan. Itu kekuatan yang jujur. Dalam air mata Umar, kita melihat kepemimpinan yang tidak membentengi diri dengan kekuasaan, tetapi membuka diri pada koreksi, karena Umar tahu, kekuasaan tanpa kritik adalah kesesatan yang sunyi.
Ratusan tahun kemudian, di sudut Tanaris Cafe, Palu, seorang pemimpin dari tanah Celebes Timur berdiri santai dengan suguhan secangkir kopi dan segunung tanggung jawab. Namanya Anwar Hafid, Gubernur Sulawesi Tengah. Dalam suasana santai bertajuk “Berani Ngopi”, ia berkata di hadapan wartawan dan jajaran pemerintah.
“Saya ini maunya tiap hari bisa dimaki-maki oleh masyarakat. Itu tanda mereka peduli dan mau kita berubah lebih baik.”
Sekilas ucapan itu mungkin terdengar nyeleneh. Tapi jika direnungi, ia menyiratkan keteguhan pemimpin yang tidak alergi pada suara bising rakyatnya. Di zaman ketika banyak pemimpin cemas pada pemberitaan buruk, Anwar justru mendorong media untuk memberitakan yang kurang baik, agar pemerintah bisa bercermin dan membenahi.
Bukankah ini gema dari semangat Umar bin Khattab yang siap dikritik di muka umum, bahkan oleh rakyat kecil yang menggenggam kebenaran?
Kritik, dalam pandangan Anwar Hafid, bukan ancaman. Ia adalah bentuk cinta rakyat yang tidak ingin pemerintahnya berjalan di jalan gelap. Ia bahkan berkata bahwa sunyi dari kritik lebih menakutkan ketimbang teriakan di jalanan atau tajamnya tajuk runcing.
“Kalau media masih ribut, itu bagus. Artinya masih ada perhatian. Tapi kalau sudah sunyi, itu bahaya. Bisa jadi rakyat sudah tidak peduli lagi,” ujarnya.
Kita jarang menemukan pemimpin yang secara terbuka berkata, “Biar publik tahu. Jangan ditutupi.” Dalam dunia di mana wibawa sering dijaga dengan sikap tertutup dan relasi dengan pers dibatasi sekat formalitas, Anwar Hafid justru merobohkan tembok itu. Ia menjadikan media sebagai mitra strategis, bukan musuh.
Kita tahu, kekuasaan itu rawan lupa. Tapi pemimpin yang rela dikritik, itulah yang patut dikenang. Umar bin Khattab menyambut kritikan sebagai penanda warasnya kekuasaan. Anwar Hafid, dalam cara dan konteksnya sendiri, menunjukkan bahwa teladan Umar bisa hidup dalam seorang pemimpin lokal yang lebih suka ditemani kopi pahit dan kritik jujur ketimbang pujian kosong yang membius.
Di tengah tanjakan-tanjakan berat pembangunan, suara rakyat memang kadang tak nyaman didengar. Tapi justru dari suara itulah arah diperbaiki. Seperti Umar, seperti Anwar Hafid, pemimpin sejati bukan mereka yang menutup telinga, tetapi mereka yang membuka dada.
Dan barangkali, di antara hiruk pikuk pembangunan dan jalanan yang belum sepenuhnya mulus, rakyat hanya ingin satu hal, pemimpin yang mau mendengar sebelum bertindak.
Penulis : Yamin