Advokat:  Suap Casis Polri Itu Pidana Korupsi Bukan Pelanggaran Kode Etik

SULTENG,CS – Kabar penangkapan  oknum polisi Bripda D oleh Tim Subdit Paminal Polda Sulteng, 28 Juni 2022 silam, juga ditanggapi advokat, Edmon Leonardo Siahaan.

Menurutnya oknum bersangkutan telah terbukti membawa uang dalam mobil sebesar Rp4,4 miliar yang merupakan pembayaran suap dari sebanyak 18 Calon Siswa (Casis) Polri.

Sebagaimana disampaikan Kombes Pol Didik Supranoto, Kabid Humas Polda Sulteng pada Selasa, 16 Agustus 2022.

Penangkapan tersebut adalah bentuk komitmen Polda Sulteng untuk memberantas Calo Penerimaan Anggota Polri Gelombang II Tahun Anggaran 2022.

Didik Supranoto juga mengatakan bahwa hasil pemeriksaan sementara Briptu D ini bermasin sendiri. Belum ada keterlibatan pihak lain, perkaranya masih dalam penyidikan Propam Polda Sulteng dan dalam kesempatan pertama akan disidangkan dalam perkara kode etik.

Menurut pendiri LBH Sulteng ini,
kasus suap Casis Polri yang sama, pernah terjadi di Polda Sumatera Selatan (Sumsel).

Kala itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A/Khusus Palembang menjatuhkan vonis 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta terhadap mantan Kepala Bidang Dokter dan Kesehatan (Bid Dokkes) Polda Sumsel, Kombes (Purn) Soesilo Pradoto. Hakim juga menjatuhkan vonis kepada AKBP Saiful Yahya.

Baca Juga :  2.379 Narapidana di Sulteng Diusulkan Mendapat Remisi HUT RI ke-79

Keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana korupsi bersama-sama dengan menerima suap Rp6 miliar.

Para terdakwa menirj dijerat dengan Pasal 12 huruf A Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berangkat dari maka kata Edmond,  Briptu D dan jaringan calonya harus dikenakan Pasal 12 huruf A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ia menyebut, proses hukum yang seharusnya berjalan cepat, terasa sangat lambat. Karena penangkapan Bripda D sendiri telah dilakukan pada 28 Juli 2022 lalu hanya sampai diperkara Kode Etik.

Hal ini disayangkan, bahwa sampai dengan tanggal 17 Agustus 2022 tepat Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke 77, siding Kode Etik pun belum digelar.

Baca Juga :  Pemuda Desa Tinigi Tolitoli Ini ditangkap Karena Shabu 7,9 Gram

“Saya tidak percaya bahwa Briptu D ini bekerja sendirian dalam tindak pidana korupsi suap Casis Polri Gelombang II Tahun Anggaran 2022 ini. Bagaimana mungkin seorang D yang hanya berpangkat Bripda bisa bekerja sendirian.

Apabila Polda Sulteng mau sungguh-sungguh memberantas calo, maka, praktek suap dan tindak pidana korupsi suap harus dibongkar berikut jaringan calo Briptu D ini.
Sekalipun melibatkan banyak Perwira Menengah atau Perwira Tinggi.

“Inilah saatnya Polda Sulteng bersih-bersih diri agar lebih profesional ke depannya dalam penerimaan dan perekrutan Casis Polri bukan dengan terburu-buru menyimpulkan bahwa Briptu D bekerja sendirian,”harapnya.

Ia menjelaskan, kasus suap bukanlah pelanggaran kode etik tapi gratifikasi. Suap merupakan tindak pidana korupsi, apalagi dilakukan oleh seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara. Karena sesuai dengan Pasal 12 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200Juta dan paling banyak Rp1 Miliar.

Baca Juga :  Diduga Masuk Angin Kasus Jembatan IV, LS ADI Desak Copot Kajati Sulteng

Selanjutnya Pasal 12
(1) menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap.

Dan masih menurut Edmond, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, maka ketentuan sebagai berikut.

a. Yang nilainya Rp10juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.

b. Yang nilainya kurang dari Rp10juta maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 Miliar.

“Jadi sekali lagi saya tegaskan bahwa praktek calo yang dilakukan Briptu D adalah pidana korupsi, bukan pelanggaran Kode Etik,”tegasnya (***).

Pos terkait