JAKARTA, CS – Karyawan Kumparan Nurul Nur Azizah melayangkan gugatan terhadap perusahaan tempatnya bekerja di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Gugatan itu dilayangkan atas pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dilakukan oleh perusahaan terhadap Nurul.
“Tindakan PHK sepihak Kumparan terhadap Nurul tidak beralasan hukum, karena bertentangan dengan Pasal 155 UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa PHK tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum” ujar Pengacara LBH Pers, Mona Ervita, di Jakarta Pusat, Jumat 11 November 2020.
Manajemen Kumparan menyampaikan kabar PHK kepada puluhan karyawan, termasuk Nurul, melalui surel pada Juni 2020. Perusahaan berdalih terkena dampak menurunnya perekonomian pada saat pandemi Covid-19. Alasan itu yang membuat perusahaan melakukan efisiensi dengan cara PHK terhadap karyawan.
Surat Keputusan (SK) PHK Nurul tetap diterbitkan Kumparan pada 27 Juli 2020. Namun, Nurul belum menandatangani surat tersebut sebagai bentuk persetujuan. Hal itu membuat surat PHK yang diterbitkan secara sepihak oleh Kumparan, batal demi hukum.
Mengacu pada ketentuan hukum, PHK dengan alasan efisiensi harus dibarengi dengan tutupnya perusahaan secara permanen. Hal tersebut diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 pasal 164 ayat (3) yang telah diubah normanya oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 19/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2012.
Putusan MK 19/PUU-IX/2011 dalam pertimbangannya menyebut bahwa PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut : (a) mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur; (b) mengurangi shift; (c) membatasi/menghapuskan kerja lebur; (d) mengurangi jam kerja; mengurangi hari kerja; (f) meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; (g) tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; (h) memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Sementara itu, PHK yang dilakukan oleh Kumparan tidak melalui proses tersebut dan tidak dibarengi dengan penutupan perusahaan. Artinya, menurut Mona, tindakan PHK yang dilakukan oleh Kumparan seharusnya batal demi hukum.
Terkait tidak adanya upaya-upaya yang dilakukan perusahaan sebelum menempuh PHK, terlihat pada serangkaian proses antara karyawan dan perusahaan pada tahap musyawarah (bipartit) hingga mediasi (tripartit) di Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Selatan. Kedua tahap itu tidak menghasilkan kesepakatan antara karyawan dan perusahaan.
Manajemen mengeklaim telah mengurangi biaya operasional untuk mengatasi dampak pandemi terhadap kondisi keuangan perusahaan. Namun, Mona membantah klaim itu. “Dalam mediasi yang dilaksanakan dua kali, pihak perusahaan tak satu kali pun menunjukkan bukti kondisi bisnis perusahaan menurun sehingga melakukan PHK terhadap pekerja dengan dalih efisiensi,” ujar Mona.
Mona mengatakan gugatan ini diajukan karena tidak tercapainya kesepakatan atas tuntutan pekerja yakni dipekerjakan kembali. Nurul menjalani sidang perdana PHI untuk kasusnya didampingi oleh kuasa hukum dari LBH Pers dan perwakilan AJI Jakarta. Agenda sidang perdana adalah pemeriksaan legal standing oleh masing-masing pihak. Agenda sidang selanjutnya adalah jawaban tergugat yang akan diselenggarakan pada 18 November 2020.
138 Kasus Ketenagakerjaan di Perusahaan Media
Kumparan melakukan serangkaian proses PHK kepada puluhan karyawan hanya dalam jangka waktu singkat pada Juni lalu. Kurang dari sepekan sejak pengumuman, beberapa karyawan, termasuk Nurul, diberitahu bahwa dirinya masuk dalam daftar karyawan yang terkena PHK. Kasus Nurul hanya satu kasus dari banyak kasus ketenagakerjaan yang terjadi di beberapa perusahaan media.
“Kasus PHK Nurul ini merupakan satu dari kasus yang masuk ke dalam posko pengaduan LBH Pers dan AJI Jakarta selama masa pandemi. Kami berharap, perusahaan tidak semena-mena dalam hal ketenagakerjaan, apalagi melakukan PHK sepihak di tengah pandemi,” ujar Ketua Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta Taufiqurrohman.
Pada hakikatnya, lanjut Taufiq, tenaga kerja semestinya harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan. Maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan dalam pengertian sebagaimana telah dipertimbangkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.
Akibat tindakan perusahaan yang melakukan PHK sepihak di tengah pandemi, Nurul mengalami ketidakpastian atas profesinya sebagai jurnalis.
“Bukan hanya ketidakpastian ekonomi, tapi juga status saya sebagai jurnalis,” tegas Nurul di kesempatan sama.
Berdasarkan data posko pengaduan ketenagakerjaan AJI Jakarta dan LBH Pers hingga 6 November 2020, ada 138 orang yang mengadukan persoalan ketenagakerjaan. Ada 46 laporan kasus PHK dengan pesangon dan tanpa pesangon. Selain itu kasus-kasus ketenagakerjaan lainnya, yakni penundaan upah, pemotongan upah, dan dirumahkan dengan pemotongan upah. Persoalan ketenagakerjaan itu terjadi di beberapa perusahaan media di semua platform, yakni media cetak, daring, televisi, dan radio.
Sementara berdasarkan rilis AJI Indonesia pada 26 Oktober 2020, beberapa perusahaan media lain yang tercatat melakukan PHK di masa pandemi ini, yakni Jawa Pos, The Jakarta Post, dan Tempo.
AJI Jakarta dan LBH Pers mendesak Kumparan untuk mempekerjakan Nurul kembali sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kemudian, di tengah pandemi sekarang ini, seharusnya perusahaan-perusahaan media mengedepankan komunikasi antara pekerja dan perusahaan terkait dengan persoalan ketenagakerjaan. (Rilis)