Hubungan pengelolaan tambang, harmonisasi dan Paus nampak dibuat-buat dan seakan tidak logis. Jika saja fenomena akhir-akhir ini yang dijadikan headline pemberitaan berbagai media massa, secara cermat terdapat benang merah antara isu kelola tambang oleh ORMAS Keagamaan telah cukup membuat gaduh dengan antusiasme dalam penyambutan kedatangan Paus. Secara berurutan selepas reda isu kelola tambang, ramai kabar agenda kedatangan Paus di Indonesia.
Mengapa media massa? Ibarat arus, media massa adalah kanal di mana berbagai dapat ditemukan banyak hal. Meski sekedar narasi, nyatanya media massa telah berkontribusi besar (jika tidak disebut mengendalikan) dalam membentuk realita dalam bidang pendidikan, politik sampai keagamaan. Demikian juga yang dilakukan media massa akhir-akhir ini. Membentuk berbagai kejadian dalam berupa narasi-narasi.
Mengingat kembali ragam respon Orgas Keagamaan dalam keputusan pemimpin negara ini dalam kelola tambang, KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) termasuk menolak konsesi izin tambang. Tidak hanya mengambil sikap menolak, pihak KWI mengatakan bahwa Organisasi mereka tidak mendidik mereka ke arah sana. Begitu pun PGI (Persatuan Gereja Indonesia) yang lebih mengutamakan misi profetik daripada mengelola tambang.
Baru-baru ini, terdapat kabar penangkapan sejumlah 8 orang oleh DENSUS 88 lantaran dianggap berkomentar provokatif negatif di berbagai Sosial Media terkait kedatangan Paus di Indonesia. Maka sikap keras tersebut menjadi bukti keberpihakan terhadap seruan untuk senantiasa harmoni oleh Paus.
Selanjutnya Harmoni dalam konteks kedatangan Paus tercermin oleh pemerintah dalam menerapkan kebijakan pengamanan dan penyesuaian kebiasaan oleh berbagai pihak. Termasuk Ormas Keagamaan yang menaikkan narasi pergantian lantunan Adzan dengan “running text” pada tayangan televisi dan tidak berkelanjutan dalam narasi yang berpolemik. Apresiasi dikhususkan terkait kekompakan seluruh elemen dalam sikap ramah dan kelembutan terhadap kedatangan Paus.
Hubungan logis antara kelola tambang, harmonisasi Paus sekali lagi nampak terlihat sebagai benang merah kesucian. Seperti biasa, Paus sebagai pemimpin tertinggi pastoral dalam agama Katolik menyerukan pesan persaudaraan dalam konteks kemanusiaan. Tidak hanya selama di Indonesia, pesan persaudaraan dalam agama Katolik dianggap sebagai suatu ajaran tertinggi dalam memperlakukan sesama yaitu melebihi diri sendiri. Maka sikap “mendahulukan yang lain” atas kepentingan pribadi dengan segenap akal budi adalah di antara langkah yang patut terdapat dalam diri pengikutnya.
Identifikasi doktrin menjadi kian penting tatkala masyarakat hanyut dalam antusiasme dengan mengabaikan spiritualitas yang diyakini. Media massa diharap dapat berperan sebagaimana fungsinya dengan membuka ruang tidak melulu dan terpaku semata pada jurnalisme positif yang menjurus pembentukan mental pembacanya ke arah refresif. Mengingat andil media tersebut, maka kesediaan untuk memfasilitasi pandangan termasuk identifikasi paham agar semua pihak dapat tercerahkan.
Sikap adil terhadap kebijakan pemerintah, transparansi berbagai pihak termasuk keterbukaan media sebagai wadah untuk diskursus adalah mutlak di zaman ini dalam konteks bernegara, khususnya Indonesia. Komitmen untuk membangun bangsa secara sungguh tidak dapat dengan senantiasa toleran terhadap kecurangan (menipu), aksi menutup-nutupi dan menghalang-halangi dengan tidak membuka akses misalnya.
Semisal sikap refresif yang dikedepankan menunjukkan permasalahan serius yang sedang dihadapi dalam dengung negara demokrasi. Jika saja mau jujur, maka kejelasan persoalan tidak perlu mengorbankan yang sesungguhnya diperjuangkan atas nama kebaikan bersama. Bukankah harmonisasi adalah pesan kebaikan? Tidak cukup kuat kah pesan yang disampaikan Paus tersebut untuk diterapkan oleh setiap kalangan secara sungguh?
Jangan sampai kebaikan dinodai dengan ketidakadilan. Keburukan dibungkus sedemikian rupa atas nama ketidakjelasan. Sebab logika kebaikan menghendaki kebaikan, maka menjadi tidak logis ketika pesan persaudaraan membawa menghasilkan suatu permusuhan atau di sisi lain terdapat akibat buruk berupa kemudharatan dan jauh dari kebijaksanaan.
Agar menjadi refleksi, penulis mengajukan suatu pertanyaan, jika suatu cara yang selama ini dipakai ternyata tidak sungguh berhasil, mengapa tidak membuka kesempatan untuk pandangan yang dirasa dapat mencerahkan? Jika ketentuan yang ditetapkan dalam pengelolaan suatu sistem, baik pemerintah, kelompok, termasuk dalam pengelolaan media, apa sebenarnya yang hendak dibendung, sampai sejauh mana untuk membatasi “diri” dalam “frame” tertentu? “Iya”, jika ketetapan tersebut senantiasa sungguh dijaga dipertahankan, jika tidak, bagaimana pertanggungjawabannya secara logika dan sebagaimana pertanggungjawaban sebenar-benarnya pertanggungjawaban?!
Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)