Tegas, FRAS Desak Kapolda Hentikan Kriminalisasi Petani

Eva Susanti H. Bande

SULTENG, CS – Beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Front Advokasi Sawit (FRAS), mendesak kepada Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk menghentikan kriminalisasi terhadap petani.

“Sejak Kapolda Sulawesi Tengah yang baru menjabat, penetapan tersangka dan penangkapan-penangkapan terhadap petani jumlahnya makin meningkat. Mengapa demikian? Mengapa pihak kepolisian daerah Sulteng mengabaikan surat telegram Kapolri yang secara esensial menjelaskan, bahwa penyelesaian kasus konflik agraria di Indonesia harus diselesaikan dengan cara-cara mediasi yang damai?,” ucap Koordinator FRAS Sulteng, Eva Susanti Bande, di Palu, Jum’at 24 September 2021.

Bacaan Lainnya

Atas hal tersebut, Eva menyampaikan, secara organsiasi dalam rangka penyambutan Hari Tani Nasional (HTN), FRAS secara tegas menyampaikan pernyataan sikap. Yakni,  mengutuk cara-cara represif, intimidasi serta kriminalisasi kepada petani, hentikan perampasan lahan petani dan pidanakan perusahaan yang merampas tanah-tanah petani.

Baca Juga :  47 Atlet Panjat Jalani Seleksi di Pelatda Sulteng

“Kepada pemerintah Provinsi Sulteng,  dalam hal ini Gubernur, kami juga menyerukan segera membentuk tim penyelesaian konflik agraria yang independen di Sulteng,” tegasnya.

Eva mengatakan, dalam semangat penyambutan HTN 2021 tepat hari ini, di semarakkan oleh seluruh petani di Indonesia. Petani di pelbagai daerah di Indonesia memilih untuk turun ke jalan melakukan aksi protes atas kehidupan petani yang kian hari makin terhimpit oleh keberadaan para perusahaan-perusahaan skala besar, yang menguasai mayoritas lahan di Indonesia.

Kata dia, yang diketahui bahwa Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 merupakan bentuk formil regulasi, yang mempunyai semangat retribusi lahan dari penguasaan lahan oleh tuan-tuan tanah. Namun dalam prakteknya Undang-undang ini takluk dihadapan para perusahaan-perusahaan skala besar.

Wujud nyata dari krisis Agraria di Indonesia adalah tidak dijalankannya reforma agraria, yang merupakan mandat dari konstitusi pasal 33 UUD 1945, TAP MPR No. IX/2001 dan UUPA 1960, hal tersebut membawa Indonesia berada dalam jurang krisis agraria yang sangat kronis.

Baca Juga :  Anwar Hafid dan dr. Reny Lamadjido Dapat Dukungan dari Petani di Korowasu Morut

“Di Indonesia telah terjadi penguasaan tanah secara timpang oleh minoritas rakyat Indonesia, 68 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 1persen penduduk. Sementara 16,2 Juta petani hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar,” terangnya..

Dari tahun ke tahun terjadi perubahan secara besar-besaraan konversi tanah, 650.000 hektar tanah pertanian. Setiap tahunnya telah terkonversi menjadi Kawasan industri, infrastruktur dan kawasan bisnis.

Menurut Eva, konflik agraria meledak dari tahun 2015 hingga 2020  akibat akumulasi perampasan tanah baru, dengan konflik-konflik agraria lama yang tidak kunjung diselesaikan. Para pejuang agraria di Indonesia semakin rawan menghadapi intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi dalam memperjuangkan hak atas tanah masyarakat.

“Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2015 hingga 2020 terjadi 2.288 ledakan konflik agrarian, mengakibatkan 1.437 orang di kriminalisasi, 776 dianiaya, 75 tertembak, 66 tewas di wilayah konflik agrarian. Sulawesi Tengah menjadi salah satu daerah yang hari ini eskalasi konflik agrarian makin meningkat,” katanya.

Baca Juga :  DPRD Sulteng Ikuti Workshop Pertanggungjawaban APBD 2024

Konsekuensi dari masuknya industri pertambangan maupun perkebunan sawit mengakibatan konflik-konflik di desa-desa makin mengakar. Dikatakannya, belum lama petani asal Batui, Kabupaten Banggai menghadap Gubernur Sulteng, Rusdy Mastura, meminta perlindungan atas penetapan tersangka yang dilakukan oleh Polres Banggai terhadap beberapa petani di Batui.

Belum lama pula masyarakat asal Petasia Timur di tahan oleh Polres Morowali Utara, setelah di laporkan oleh PT Agro Nusa Abadi. Dan hari ini terdapat petani asal Kabupaten Buol yang di tahan di Polres Buol karena berkonflik dengan perusahaan PT Hardaya Inti Plantation.

“Kami FRAS menyerukan dan menyetakan sikap secara tegas. Mengutuk cara-cara represif, intimidasi serta kriminalisasi kepada petani. Hentikan perampasan lahan petani dan pidanakan perusahaan yang merampas tanah-tanah petani. Gubernur Sulteng kami menyerukan segera membentuk tim penyelesaian konflik agraria yang independen di Sulten,” tandasnya. **

Pos terkait