PALU, CS – Di tengah desakan global akan keberlanjutan dan keterlacakan hasil perkebunan, para petani kakao dan kopi di Sulawesi Tengah (Sulteng) justru masih menghadapi persoalan mendasar legalitas lahan.

Padahal, tanpa dokumen ini, mustahil bagi mereka mendapatkan Surat Tanda Daftar Budidaya Elektronik (e-STD-B), syarat mutlak agar produk perkebunan bisa menembus pasar dunia.

Hal itu terungkap dalam Lokakarya Akselerasi STD-B dan Training of Trainer (ToT) e-STD-B Provinsi Sulawesi Tengah yang digelar di salah satu hotel di Palu, Rabu (7/5/2025).

Simpra Tajang, Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Sulteng, menegaskan bahwa e-STD-B bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kewajiban mutlak sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 109 Tahun 2024 dan SK Dirjen Perkebunan Nomor 37 Tahun 2024.

“Ini bukan hanya regulasi administratif, tetapi menjadi tiket utama untuk bisa masuk ke rantai pasok dunia yang kini makin ketat terhadap isu lingkungan dan keberlanjutan,” ujar Simpra.

Namun di balik urgensinya, Simpra tak menutupi kenyataan bahwa penerbitan e-STD-B tersendat di tingkat akar rumput, terutama karena minimnya dokumen legalitas kepemilikan lahan dari petani.

“Kita butuh dukungan dari semua pihak, terutama bupati dan korporasi mitra pembangunan seperti JB Cocoa, Mars, Olam, dan lainnya. Tidak bisa pemerintah kerja sendiri,” tambahnya.

Senada, Haris Darmawan, Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan Ditjenbun Kementan, menegaskan pentingnya ketelusuran bahan baku yang “bebas deforestasi dan degradasi” sebagai tuntutan pasar global.

“Kita tidak bisa lagi menjual komoditas dari wilayah abu-abu. Dunia minta transparansi penuh,” tegasnya.

Di sisi lain, data yang dipaparkan Rahmad Iqbal Nurkhalish B. Aly, Kepala Dinas TPHBun Kabupaten Sigi, menunjukkan kontras yang mencolok.

Dari 28 ribu hektar lahan kakao, baru 500 petani yang terdaftar di e-STD-B. Target hingga 2025 adalah 1.500 petani, namun ia menyadari bahwa tanpa kolaborasi dengan perusahaan besar, angka itu sulit tercapai.

“Perusahaan sudah punya data pekebun binaan dan luasan lahan. Kita tinggal integrasikan, tapi harus ada kemauan dan sinergi nyata,” ujar Rahmat.

Sementara itu, komoditas kopi di Sigi yang juga mencapai sekitar 5.000 hektar bahkan belum tersentuh registrasi e-STD-B sama sekali.

Rostanto Suprapto dari WRI Indonesia dalam paparannya menyebut bahwa sistem e-STD-B juga masih menghadapi persoalan teknis di lapangan. Mulai dari rendahnya pemahaman petugas hingga lambatnya proses input dan verifikasi data.

Ironisnya, di tengah gencarnya pemerintah mempromosikan standar keberlanjutan, petani rakyat justru terjebak dalam sistem yang tidak sepenuhnya berpihak pada realitas mereka.

“Kalau e-STD-B jadi syarat dunia, maka kita harus pastikan petani tidak ditinggalkan. Jangan sampai mereka dikorbankan oleh sistem yang mereka sendiri tidak mampu masuki,” tandasnya.

Editor : Yamin