Ketika konflik lokal berubah menjadi konfrontasi global, kita tidak bisa lagi memandangnya sebagai masalah satu kawasan. Perang antara Iran dan Israel yang kini terus memanas bukan hanya persoalan dua negara.
Ini adalah titik genting yang berpotensi menyeret kekuatan dunia ke dalam pusaran konflik skala penuh.
Serangan rudal dan drone yang diluncurkan Iran ke Tel Aviv sebagai balasan atas pemboman Israel terhadap fasilitas nuklir di Natanz menunjukkan bahwa kita telah memasuki babak baru dari perang modern.
Bukan lagi sekadar adu senjata, melainkan demonstrasi kekuatan politik, militer, dan bahkan psikologis. Dalam waktu singkat, lebih dari 400 warga Iran tewas, 16 warga Israel meninggal, dan ratusan lainnya luka-luka. Angka ini terus bertambah, dan setiap korban berarti bara baru yang menyulut kemarahan dan balas dendam.
Amerika Serikat, yang secara resmi menyangkal keterlibatan langsung, tetap dianggap Iran sebagai dalang di balik agresi Israel. Ancaman serangan ke pangkalan militer AS di Irak, Teluk, bahkan ke misi diplomatik, bukan lagi isapan jempol. Pasukan proksi Iran seperti milisi di Irak masih bersenjata lengkap dan bersiaga.
Kini muncul pertanyaan besar. Apakah ini awal dari Perang Dunia Ketiga?
Jika kita melihat sejarah, dua perang dunia sebelumnya tidak dimulai secara tiba-tiba. Keduanya diawali oleh konflik regional yang merambat menjadi perang global karena keterlibatan negara-negara besar dan aliansi militer yang saling mengikat.
Hari ini, kita menyaksikan pola yang serupa. Ketegangan di Ukraina, konflik Israel-Iran, ambisi nuklir, dan ketegangan Laut Cina Selatan adalah titik-titik api yang bisa menyatu menjadi kobaran besar.
Geopolitik global tengah berada di titik didih. Kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, dan Iran saling unjuk kekuatan. Di sisi lain, kemajuan teknologi membuat perang tidak lagi membutuhkan jutaan tentara. Serangan cyber, drone, dan disinformasi mampu melumpuhkan negara tanpa peluru ditembakkan.
Namun, bukan berarti semuanya tak bisa dicegah. Dunia masih punya peluang untuk menahan laju eskalasi. Interdependensi ekonomi dan keberadaan senjata nuklir justru bisa menjadi penyeimbang, bukan karena manusia semakin bijak, tapi karena semua pihak menyadari bahwa perang global akan menghancurkan semua, tanpa pemenang.
Tantangan terbesar bukan pada kemampuan militer, melainkan pada kepemimpinan global. Jika para pemimpin dunia masih memilih ego di atas dialog, maka sejarah akan mengulang dirinya, tapi kali ini dengan skala kehancuran yang jauh lebih besar.
Dunia kini berada di ambang. Bukan hanya menanti keputusan satu negara, tapi menanti keberanian seluruh bangsa untuk berkata cukup. Perang Dunia Ketiga memang belum resmi dimulai, tapi langkah-langkah menuju ke sana sudah jelas.
Maka, pertanyaannya bukan lagi “apakah”, melainkan, siapa yang akan menghentikannya sebelum semuanya terlambat?
Catatan Redaksi