PALU, CS – Peredaran sianida ilegal di wilayah pertambangan emas tanpa izin (PETI) diduga menjadi pemicu utama maraknya aktivitas tambang ilegal di sejumlah daerah di Sulawesi Tengah (Sulteng), termasuk di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.
Data Yayasan Masyarakat Madani Indonesia (YAMMI) Sulteng mencatat, peredaran zat berbahaya tersebut mencapai 850 ribu kilogram per tahun.
Anggota DPRD Kota Palu, Muslimun, menilai bebasnya peredaran sianida menjadi akar persoalan yang perlu segera ditangani pemerintah dan aparat penegak hukum.
“Sianida ini bahan kimia beracun. Kalau penggunaannya tidak dikontrol, tentu berbahaya bagi lingkungan. Masalahnya sekarang, peredarannya dijual bebas tanpa pengawasan ketat,” ujarnya di Palu, Kamis (13/11/2025).
Menurutnya, ketersediaan sianida yang mudah didapat membuat aktivitas tambang ilegal terus berlangsung. Ia menegaskan, pembatasan distribusi bahan tersebut akan berdampak langsung pada berhentinya operasi PETI.
“Peti itu bisa jalan karena ada stok bahan untuk mengurai emas. Kalau sianida dihentikan peredarannya, otomatis aktivitas tambang ilegal juga akan berhenti,” tegasnya.
Muslimun mengungkapkan, pada masa pemerintahan Rusdy Mastura saat menjabat Wali Kota Palu, distribusi sianida diatur ketat. Saat itu, penjualan hanya diizinkan melalui Perusahaan Daerah (Perusda) dengan kuota terbatas. Namun kini, bahan berbahaya tersebut beredar bebas di pasaran dengan harga yang terus naik.
“Dulu per 50 kilogram harganya hanya Rp9 juta. Sekarang, menurut pengakuan penambang di Poboya, sudah mencapai Rp27 juta,” ungkapnya.
Ia juga menyebut, sianida untuk wilayah Sulawesi umumnya didatangkan dari Surabaya. Berdasarkan pengamatannya, pembelian dalam jumlah besar seharusnya memerlukan izin resmi.
“Kalau pembelian hanya sedikit-sedikit, bisa saja tidak perlu izin. Tapi kalau jumlahnya sudah puluhan kilogram, pasti orang bertanya, untuk apa?” katanya.
Lebih lanjut, Muslimun menilai lemahnya pengawasan terhadap distribusi sianida membuka peluang adanya permainan pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari situasi tersebut.
“Kalau digunakan secara legal, tidak masalah. Tapi kalau untuk aktivitas ilegal, itu harus jadi perhatian serius pemerintah dan penegak hukum. Pertanyaannya sekarang, siapa yang menjual, siapa yang memberi izin, dan berapa kuotanya?” ujarnya.
Politisi Partai NasDem itu juga menyoroti potensi kebocoran pendapatan daerah akibat peredaran sianida tanpa izin.
“Kalau sianidanya resmi, tentu ada pemasukan bagi daerah. Tapi kalau tidak, uangnya tidak masuk ke kas daerah. Ini perlu ditelusuri,” tegasnya.
Muslimun mengaku telah berkoordinasi dengan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Palu terkait pengawasan penjualan bahan berbahaya dan beracun (B3), namun dinas tersebut menyatakan tidak pernah menerima laporan mengenai distribusi sianida.
“Ini aneh, karena barang berbahaya seharusnya berada dalam pengawasan dinas terkait. Tapi mereka tidak tahu apa-apa. Jadi dari mana sumber sianida itu beredar?” ujarnya.
Ia mendesak aparat penegak hukum (APH) dan pemerintah daerah segera melakukan penyelidikan terhadap pihak yang diduga menjadi penyuplai sianida ke tambang-tambang ilegal.
“Kalau ada aparat yang ikut bermain, ya harus ditindak. Jangan sampai ada istilah ‘jeruk makan jeruk’,” pungkasnya.
Muslimun menegaskan, penindakan tegas terhadap peredaran sianida ilegal menjadi langkah penting untuk menghentikan kerusakan lingkungan dan dampak sosial akibat aktivitas tambang emas tanpa izin di Sulteng.
Editor: Yamin


