PALU, CS – Yayasan Masyarakat Madani Indonesia (YAMMI) Sulawesi Tengah menyatakan akan menempuh upaya hukum praperadilan menyusul diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus dugaan pemalsuan dokumen Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) yang melibatkan PT Bintang Delapan Wahana (PT BDW). SP3 tersebut diterbitkan pada 24 Oktober 2025 berdasarkan rekomendasi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Direktur Kampanye YAMMI Sulteng, Africhal Khamane’i, menilai penerbitan SP3 itu mengabaikan bukti-bukti yang menurut pihaknya menunjukkan adanya pemalsuan dokumen.

“Yang terjadi di sini adalah manipulasi fakta kesalahan. Bagaimana mungkin IUP yang diterbitkan Pemda Konawe Utara kemudian digunakan di wilayah Sulawesi Tengah? Ini jelas pemalsuan yang merugikan negara dan masyarakat,” ujar Africhal, Rabu (27/11/2025).

Kasus ini menjadi sorotan karena PT BDW memiliki keterkaitan dengan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang tengah diperbincangkan publik setelah mencuatnya temuan mengenai bandara ilegal yang diduga beroperasi tanpa pengawasan Bea Cukai dan Imigrasi. PT IMIP merupakan konsorsium yang melibatkan Bintang Delapan Group Indonesia dan Tsingshan Steel Group asal Tiongkok.

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sebelumnya menegaskan prinsip “tidak boleh ada republik di dalam republik”, menyoroti indikasi anomali kedaulatan negara yang belakangan menjadi perhatian publik.

Kasus dugaan pemalsuan dokumen IUP oleh PT BDW dilaporkan oleh PT Artha Bumi Mining pada 13 Juli 2023. Dugaan pemalsuan itu terkait penggunaan Surat Dirjen Minerba Nomor 1489/30/DBM/2013 tertanggal 3 Oktober 2013, yang disebut digunakan untuk memindahkan lokasi IUP dari Kabupaten Konawe ke Kabupaten Morowali.

Pada 13 Mei 2024, Polda Sulteng telah menetapkan seorang tersangka berinisial FMI, yang kemudian ditahan pada Juli 2024. Bareskrim Polri juga telah menggelar perkara khusus pada 12 Juni 2024. Meski demikian, penyidikan dihentikan melalui SP3.

“Kasus PT BDW bukan berdiri sendiri. Ini bagian dari pola sistemik pelanggaran hukum pertambangan yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar yang merasa kebal hukum,” kata Africhal. Ia menambahkan bahwa penghentian kasus tersebut dinilai janggal karena terjadi di tengah pengungkapan bandara ilegal yang dikaitkan dengan salah satu perusahaan dalam konsorsium yang sama.

YAMMI Sulteng mencatat adanya tumpang tindih wilayah pertambangan yang disebut muncul akibat dugaan pemalsuan dokumen IUP PT BDW, termasuk dengan wilayah milik PT Artha Bumi Mining seluas 10.160 hektare. Menurut YAMMI, kondisi ini membuat PT Artha Bumi Mining tidak dapat beroperasi selama satu dekade terakhir.

Africhal menyatakan pihaknya akan mengajukan praperadilan untuk menguji legalitas SP3 tersebut.

“Kami akan membuktikan di pengadilan bahwa penghentian penyidikan ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Tersangka sudah ditetapkan dan ditahan, bukti-bukti sudah ada, bahkan Bareskrim sudah turun tangan. Tidak ada alasan logis untuk menghentikan perkara ini,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa Presiden Prabowo sejak lama menyoroti potensi kebocoran di sektor pertambangan. Menurut Africhal, penemuan terkait bandara ilegal di kawasan PT IMIP menguatkan kekhawatiran tersebut.

YAMMI Sulteng mengaku menerima ancaman terkait pengawalan kasus ini. “Kami tidak akan mundur. Kedaulatan negara dan keadilan harus ditegakkan,” pungkas Africhal. *