MERAUKE,CS – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang perluasan perkebunan kelapa sawit di Papua untuk mendukung swasembada energi nasional, khususnya produksi biodiesel, terus menuai kritik tajam dari aktivis lingkungan dan masyarakat adat. Kritik semakin mengemuka setelah beredar foto ribuan alat berat ekskavator dan buldoser milik Jhonlin Group, perusahaan milik pengusaha Haji Isam (Andi Syamsuddin Arsyad), yang diduga siap membuka lahan hingga 2-3 juta hektare di wilayah Papua Selatan, terutama Merauke.

Pada 16 Desember 2025, dalam rapat percepatan pembangunan Papua di Istana Negara, Prabowo menyatakan harapannya agar Papua ditanami kelapa sawit secara masif.

“Kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit,” ujarnya, seraya menargetkan swasembada pangan dan energi dalam lima tahun ke depan.

Prabowo menekankan bahwa langkah ini bisa menghemat ratusan triliun rupiah dari impor BBM.

Namun, rencana ini dianggap berisiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan. Organisasi seperti WALHI dan Sawit Watch menilai ekspansi sawit di Papua akan mengulang bencana ekologis seperti banjir dan longsor di Sumatra, yang sebagian disebabkan deforestasi untuk perkebunan.

“Papua adalah benteng terakhir hutan hujan tropis Indonesia. Pembukaan skala besar akan memicu konflik agraria, hilangnya ruang hidup masyarakat adat, serta krisis iklim,” kata pernyataan WALHI pada 24 Desember 2025.

Foto yang viral di media sosial X (dulu Twitter), diunggah oleh jurnalis senior Farid Gaban pada 18 Desember 2025, menunjukkan deretan ratusan ekskavator kuning milik Jhonlin Group. Postingan itu telah dilihat lebih dari 600 ribu kali dan memicu ribuan reaksi.

Jhonlin Group, yang dikenal sebagai kontraktor utama proyek food estate dan energy estate di Merauke sejak 2024, telah mengimpor hingga 2.000 unit alat berat dari China. Proyek ini melibatkan pembukaan lahan untuk sawah, tebu (bioetanol), dan potensial sawit (biodiesel), dengan dukungan militer untuk keamanan.

Masyarakat adat di Merauke, seperti suku Malind dan Maklew, telah menyuarakan penolakan. Mereka melaporkan intimidasi, ancaman, dan hilangnya lahan adat tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan informed (FPIC).

Laporan dari Mongabay dan Mighty Earth menyebut proyek ini sebagai “deforestasi terbesar di dunia saat ini”, dengan risiko banjir, kekeringan, dan hilangnya biodiversitas unik Papua.

Sementara pemerintah menjanjikan manfaat ekonomi seperti lapangan kerja dan swasembada energi, kritik dari BBC Indonesia, KBR, dan detik.com menyoroti bahwa ekspansi ini bisa merugikan masyarakat adat paling parah. PKB dan PDIP juga mengingatkan agar tidak membuka hutan primer baru, melainkan memaksimalkan lahan existing.

Hingga kini, pemerintah belum merinci lokasi pasti dan mitigasi lingkungan untuk ekspansi sawit ini. Aktivis mendesak evaluasi menyeluruh agar tidak mengulang kegagalan food estate sebelumnya yang berujung deforestasi tanpa hasil optimal.*