Presiden Joko Widodo hari ini meresmikan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso Peaker 515 MW, milik Poso Energy (PE).
Dibalik mega proyek itu, sejak awal sudah mengakibatkan banyak masalah di tingkat lokal, mulai ganti lahan untuk tower dan jaringan. Masyarakat Adat Danau Poso (MADP) mencatat 266 hektar sawah dan kerbun serta wilayah pengembalaan warga terendam.
Dampak lainnya adalah, sistem penangkapan Ikan dan Sidat yang ramah lingkungan yang disebut Wayamasapi. Ada juga menombak ikan saat malam hari dengan menggunakan lampu dan tombak yang disebut Toponyilo. Juga tradisi menangkap ikan saat air surut yang disebut Mosango.
Belum lagi masalah pengerukan danau, jembatan Pamona, pengrusakan Wayamasapi milik warga.
Saya kira semua masalah sosial yang terjadi saat ini tidak sebanding dengan pendapatan yang didapatkan Pemerintah daerah (Pemda). Dari data di Dinas Pendapatan Sulteng, Kontribusi PE lewat Pajak Air Permukaan hanya Rp 9 miliar untuk tahun 2020 dengan kapasitas 515 MW.
Dalam sebuah berita, Pemda Poso sendiri hanya mendapatkan Pajak Air Permukaan dari Bukaka atau Poso Energy hanya Rp 9,5 miliar tahun 2020. Nilai Penghitungan Air (NPA) kata Abraham adalah Rp 100 per-kwh. Karena ketentuan tarif hanya 10 persen, maka per-kwh nilainya Rp10 miliar. Berdasarkan tarif itu pada tahun 2020 lalu PT Poso Energy membayar pajak air permukaan sebesar Rp9,5 miliar lebih. Sementara bila dibandingkan dengan PT Vale lewat 3 PLTA nya dengan kapasitas hanya 315 MW, bayar pajak air US$ 5 juta untuk tahun 2015.
Sementara IMIP lebih rendah lagi pajaknya, hanya membayar puluhan juta saja untuk tahun 2020. Perlu saya tegaskan kembali, bahwa dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah, Pasal 2 jenis Pajak Provinsi terdiri atas Pajak Air Permukaan (Ayat 4). Dalam Pasal 1 point 17 disebutkan: Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemantaan air permukaan.
Oleh Pemprov Sulteng didesak :
Pertama, harus tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dalam operasionalnya menggunakan Air Permukaan, bahkan sangat rakus air tapi pajak yang dibayarkan tidak seberapa atau malah tidak patuh membayar Pajak Air Permukaan.
Pemerintah harus memeriksa kembali semua Smelter-smelter Nikel yang telah beroperasi dan menggunakan air permukaan. Apakah mereka sudah benar dalam pembayaran pajak Air Permukaan, apakah patuh dalam pembayaran pajaknya, apakah angka yang dibayarkan dengan penggunaan air permukaan sudah sesuai.
Kedua, Pemprov Sulteng termasuk harus tegas kepada perusahaan-perusahaan Minyak dan Gas Bumi yang ada di Sulteng, seperti PT Donggi Senoro Liquefied Natural Gas (DSLNG) di Banggai. Periksa kembali kepatuhan mereka terhadap pembayaran Pajak Air Permukaan.
Ketiga, Pemprov sudah harus menghitung ulang besaran pajak yang ada saat ini, jangan sampai pemerintah dirugikan. Harus ada perubahan Perda atau Pergub tentang Pajak Air Permukaan yang terkini dengan menggunakan angka terkini, belajar dari pendapatan yang didapatkan Pemprov Sulsel dari PT Vale.
Keempat, Pemprov Sulteng harus segera menyelesaikan masalah yang terjadi saat ini, seperti tenggelammnya persawahan dan lahan penggembalaan ternak milik masyarakat. Harus ada penyelesaian untuk jangka panjang, agar masyarakat tidak dirugikan berkali-kali.
Penulis : Edmond Leonardo Siahaan (Advokat/Mantan Koordinator KontraS Sulawesi/Anggota Individu WALHI Sulteng)