Di Balik Gerobak yang Ditangisi

tengah keramaian yang membanjiri Taman GOR Palu, Minggu pagi, 18 Agustus 2024, terselip sebuah momen yang menggugah perasaan.

Sinar matahari menerpa bendera Merah Putih sepanjang 79 meter yang dibentangkan oleh ratusan pendukung Dr. Hidayat M.Si dan H. Andi Nur B Lamakarate, yang beriringan berjalan dengan penuh semangat. Namun, di tengah semarak itu, langkah seorang ibu paruh baya tiba-tiba memecah kerumunan.

Bacaan Lainnya

Dengan langkah tergesa, ia berlari ke arah Dr. Hidayat, air matanya menetes tanpa henti, menggambarkan beban hidup yang ia pikul. Setibanya di hadapan Hidayat, ibu tersebut langsung memeluknya, menangis, dan berkata lirih, “Tolong saya Pak Hidayat, gerobak saya diambil.”

Baca Juga :  Survei Internal, Perindo Klaim Elektabilitas Hidayat-Habsa Melejit, Aristan-Wahyudin Juru Kunci

Kata-kata sederhana itu, meski terdengar sepele bagi sebagian orang, menyimpan kisah hidup penuh perjuangan. Gerobak itu bukan sekadar alat, tetapi merupakan harapan, nafkah, dan keberlangsungan hidup. Gerobak yang mungkin bagi banyak orang hanyalah seonggok kayu dan besi, bagi sang ibu adalah simbol penghidupan.

Dengan gerobak itu, ia menyusuri jalanan kota, mengais sisa-sisa plastik untuk dijual, agar dapur tetap mengepul dan anak-anaknya bisa tidur dengan perut terisi.

Hidayat, yang biasanya berbicara lantang di hadapan massa, kini terdiam sejenak, mendengar keluhan ibu itu. Dengan suara tenang namun penuh ketegasan, ia mencoba menenangkan ibu tersebut. “Tenang Ibu, insyaallah semuanya bisa segera kembali,” katanya, menghapus air mata yang hampir jatuh dari matanya sendiri.

Di sela-sela kerumunan yang terus bergerak, suasana berubah menjadi haru. Apa yang awalnya merupakan pawai kebanggaan, berubah menjadi sebuah pengingat akan realitas kehidupan yang keras. Hidayat, yang biasanya berdiri tegar, kali ini tersentuh oleh cerita hidup sang ibu.

Baca Juga :  Wali Kota Perintahkan Lurah Gratiskan SKPT Untuk Kebencanaan

Dalam wawancara singkat setelah kejadian itu, Hidayat mengungkapkan perasaannya yang hampir tak bisa ia bendung. “Dia bisik sama saya sambil menangis, Pak, tolong gerobak kami dikembalikan. Rupanya gerobaknya untuk tarik-tarik sampah diambil oleh pemerintah. Itu ibu mau bekerja, kenapa gerobaknya diambil? Justru dengan gerobaknya, dia pungut sampah, akhirnya Kota Palu lebih bersih,” ungkap Hidayat dengan mata yang masih memancarkan kesedihan.

Kisah ibu paruh baya ini menyentuh lapisan terdalam dari nurani, mengingatkan bahwa di balik setiap kebijakan, selalu ada manusia dengan kisah hidup yang mungkin luput dari perhatian. Kota ini, dengan segala hiruk-pikuk pembangunan dan keindahan, masih menyimpan sudut-sudut yang penuh kesederhanaan dan perjuangan.

“Jangan cuma karena alasan keindahan, orang yang butuh kerja untuk makan jadi terhalang. Ibu paruh baya itu cari plastik, masa gerobaknya ditarik pemerintah. Ini luar biasa. Di Jakarta, masih banyak juga orang tarik gerobak di sana, itu kota besar,” tambah Hidayat, suaranya menggema dengan keprihatinan yang dalam.

Baca Juga :  Cara Pemkot Palu 'Melawan' Ganasnya Dampak El-Nino

Kejadian di Taman GOR itu bukan sekadar pertemuan singkat antara calon pemimpin dengan rakyat kecil. Ini adalah kisah yang menggarisbawahi betapa pentingnya memahami kehidupan dari kacamata mereka yang sehari-hari berjuang di tengah keterbatasan. Gerobak yang ditangisi itu bukan hanya soal alat yang diambil, tapi tentang harapan yang nyaris sirna.

Namun, dalam pelukan itu juga tersirat harapan baru—bahwa ada pemimpin yang mendengar, merasakan, dan mungkin akan bertindak. Kota Palu, dalam segala keramaiannya, menyaksikan momen tersebut sebagai pengingat bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika semua orang bisa hidup dengan layak, dihormati, dan diberikan kesempatan untuk berjuang.

Dan di tengah hiruk-pikuk arak-arakan, suara sang ibu dan janji Hidayat bergema, meninggalkan jejak di hati setiap orang yang mendengarnya.

YAMIN

Pos terkait