Di tengah riuhnya halaman kantor camat Tawaeli, Kota Palu, Sulawesi Tengah, sebuah pidato menggetarkan hati warga yang menunggu penampilan kebudayaan. Seorang tokoh masyarakat berdiri di hadapan puluhan penduduk yang dengan penuh perhatian menyimak.
“Identitas Kaili Rai sepertinya sudah mulai hilang, bahkan di rumah saya sendiri, keluarga saya tidak tahu bahasa Kaili,” ujar lelaki paruh baya itu dengan nada tegas dalam pidatonya pada puncak Festival Serumpun, Minggu 10 Agustus 2024.
Teguran itu mengundang anggukan setuju dari penonton, seolah menggarisbawahi kekhawatiran bahwa kebudayaan yang menjadi jati diri Kaili Rai perlahan-lahan menghilang. Kaili Rai, sub-etnis dari Suku Kaili yang mendiami wilayah utara Kota Palu, kini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan identitas budayanya.
Kehidupan masyarakat Kaili Rai tersebar di beberapa wilayah seperti Tawaeli, Donggala, dan Parigi Moutong. Namun, kajian tentang bahasa, kebudayaan, dan kesenian mereka mulai dilupakan, meski rumpun Kaili Rai memiliki sejarah yang kaya sebagai bagian dari kerajaan tertua di Sulawesi Tengah.
Sulawesi Tengah, provinsi terbesar di Pulau Sulawesi, dikenal dengan keberagaman suku dan dialeknya. Suku Kaili, sebagai mayoritas penduduk, memiliki sepuluh dialek berbeda. Di antara sub-etnis lainnya, seperti Ledo, Tara, Rai, dan Da’a, Kaili Rai tampaknya terabaikan dalam perhatian publik.
Farid Dg Sibali, pelaku seni asal Tawaeli, telah lama resah melihat kondisi kesenian Kaili Rai yang semakin jarang diketahui, bahkan oleh masyarakat Tawaeli sendiri.
“Di Kota Palu, lebih dominan dikenal dialek Kaili Ledo, sementara seni budaya Rumpun Kaili Rai masih sangat jarang terekspos,” kata Farid.
Namun, harapan muncul dari sebuah program yang diprakarsai oleh Balai Pelestarian Kebudayaan wilayah XVII, yaitu Fasilitas Pemajuan Kebudayaan (FPK) 2024. Program ini membuka kesempatan bagi pelaku seni seperti Farid untuk berperan dalam melestarikan kebudayaan di Sulawesi Tengah.
Farid termasuk dalam deretan penerima dana FPK 2024 dan memanfaatkan kesempatan ini untuk menggelar acara bertema “Workshop dan Pagelaran Seni Budaya Rumpun Kaili Rai”. Pada hari pertama, workshop menjadi momentum berharga bagi maestro, pelaku budaya, dan masyarakat untuk berdiskusi tentang pengembangan kebudayaan Kaili Rai di Tawaeli.
Hari kedua membawa semarak festival ke Tawaeli, dengan Festival Serumpun yang menggambarkan kebudayaan Kaili Rai. Farid menjelaskan bahwa bahasa Kaili Rai memiliki dialek khas yang cenderung mendayu-dayu dibandingkan dialek Kaili lainnya.
Penampilan dadendate oleh Mahlun, maestro dadendate asal Tawaeli, mengalun lembut dengan kecapi kecilnya, menampilkan ciri khas tradisi lisan Kaili Rai.
Tari-tarian yang dibawakan oleh para pelajar, yang dibimbing langsung oleh Farid, juga turut memperkaya festival dengan cerita tentang bagaimana masyarakat Kaili Rai di Desa Nupabomba memperlakukan padi.
“Dengan dilaksanakan gelar kebudayaan ini, semakin terbukalah identitas Kaili Rai supaya dikenal masyarakat kita hari ini,” kata Farid menutup perbincangan.
Festival Serumpun bukan hanya merayakan kebudayaan, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan warisan budaya yang mungkin mulai terlupakan. Dengan upaya seperti ini, identitas Kaili Rai dapat terus hidup dan berkembang dalam masyarakat modern. (MUGNI MAYAH)