Kekerasan terhadap anak mencapai fase mengkhawatirkan. Secara nasional, dalam data Sistem Infomasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang dikelola Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kurun Januari-Juli 2025 tercatat 8.601 kasus yang dilaporkan, terdiri dari 2.690 korban anak laki-laki, dan 6.617 korban perempuan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 103 kasus dilaporkan di Provinsi Sulawesi Tenggara, terdiri dari 82 korban anak perempuan dan 24 korban anak laki-laki. 7 kasus di antaranya terjadi di Kabupaten Kolaka.  Pada 2024, kasus kekerasan terhadap anak di kabupaten ini sebagaimana tercatat di Simfoni PPA adalah 16, dan 21 kasus pada tahun sebelumnya.

Sementara itu, Data Polres Kolaka pada tahun 2022 menyebutkan, terdapat 32 kasus persetubuhan anak, 7 kasus pencabulan anak dan 2 kasus kekerasan fisik di Kolaka. Angka-angka yang disebutkan tadi tidak bisa dianggap sepele. Jika merujuk fenomena gunung es, peluang jumlah yang tidak dilaporkan lebih banyak.   Yang juga menyita perhatian adalah sebagian pelaku kekerasan pada anak adalah orang dekat yang seharusnya memberikan perlindungan, seperti orang tua dan pacar atau teman.  Selain itu, anak-anak korban kekerasan kerap mengalami trauma jangka panjang yang memengaruhi tumbuh kembangnya. Mereka membutuhkan perhatian khusus, bukan hanya dalam bentuk pendampingan hukum, tetapi juga pemulihan psikologis dan perlindungan berkelanjutan. Sayangnya, kapasitas pemerintah daerah belum cukup untuk memenuhi kebutuhan itu. Sebab di saat yang sama, sumber daya untuk menangani korban kekerasan justru terbatas.

Kebijakan Tak Cukup Tanpa Kapasitas

Kabupaten Kolaka telah memiliki perangkat kebijakan berupa Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, dan Peraturan Bupati Nomor 35 Tahun 2020 tentang Kabupaten Layak Anak. Pertanyaannya, seberapa jauh kebijakan ini telah diimplementasikan? Dalam artikel penulis berjudul Sumber Daya Dalam Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual Pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara, dimuat pada Morality: Jurnal Ilmu Hukum, Vol 10, No 1, Juni 2024, hal 31-47, DOI : http://dx.doi.org/10.52947/morality.v10i1.421,  disebutkan bahwa Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Kolaka hanya memiliki 22 pegawai, dengan satu orang berlatar belakang psikologi. Sisanya, termasuk 12 bidan, bekerja secara otodidak dalam memberikan layanan pendampingan kepada korban. Ini jelas belum cukup ideal untuk menghadapi dampak psikososial dari kekerasan pada anak. Tidak hanya itu, penempatan pegawai pun kerap tidak mempertimbangkan kompetensi teknis. DPRD Kolaka sendiri menyoroti lemahnya sistem penempatan pegawai berbasis keahlian, yang mengakibatkan banyak tenaga tidak siap menangani persoalan pelik seperti kekerasan terhadap anak.

Pemerintah Kabupaten Kolaka memang telah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), yang bertugas menangani kasus-kasus kekerasan. Namun, seperti disebutkan di atas, pelaksana di lapangan masih terbatas, baik jumlah maupun kapasitasnya. Dalam beberapa kasus, anak korban harus dirujuk ke tingkat provinsi karena minimnya tenaga psikolog dan konselor profesional di daerah. Kolaborasi lintas sektor memang telah dimulai, termasuk dengan kepolisian, pengadilan agama, organisasi nonpemerintah, dan media massa. Namun, sejauh mana kolaborasi ini berjalan secara sistemik dan terintegrasi masih perlu dipertanyakan. Anggaran juga menjadi kendala tersendiri. Meski bersumber dari APBN dan APBD, pembiayaannya masih berkutat pada logika tahunan yang stagnan. Padahal, perlindungan terhadap anak seharusnya menjadi investasi jangka panjang, bukan sekadar beban belanja tahunan.

Tanggung Jawab Kolektif

Kolaka adalah salah satu kabupaten di Indonesia yang sedang menyiapkan diri menjadi Kabupaten Layak Anak. Namun, predikat ini seharusnya tidak semata soal administrasi, melainkan kesungguhan dalam memastikan bahwa setiap anak bisa tumbuh aman, sehat, dan bermartabat. Penanganan kekerasan terhadap anak tidak bisa hanya dibebankan kepada satu dinas atau instansi. Ini adalah tanggung jawab kolektif, yang harus melibatkan seluruh unsur, yaitu pemerintah, legislatif, masyarakat, tokoh agama, media massa, hingga dunia usaha.

Beberapa hal yang menurut hemat penulis dapat dilakukan.  Pertama, Pemerintah Kabupaten Kolaka perlu menata ulang manajemen sumber daya manusianya, khususnya di DP3A dan UPTD PPA Kabupaten Kolaka dengan menempatkan orang-orang yang memiliki kompetensi teknis di bidang psikologi, hukum perlindungan anak, dan layanan sosial. Kedua, diperlukan pelatihan berkelanjutan dan sertifikasi kompetensi bagi para pelaksana di lapangan. Pemerintah daerah juga perlu bekerja sama dengan perguruan tinggi dan organisasi profesi untuk menyediakan dukungan keilmuan dan praktik pelayanan terbaik. Ketiga, penguatan anggaran dan sarana-prasarana harus menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan daerah. Perlindungan anak bukan urusan pelengkap, melainkan fondasi masa depan daerah yang sehat dan beradab. Keempat, perlu dibentuk sistem pelaporan kekerasan yang mudah diakses oleh masyarakat, serta penjangkauan aktif kepada kelompok rentan melalui sekolah, desa, dan komunitas berbasis agama atau adat.

Menjaga anak-anak kita dari kekerasan bukan hanya soal moral, tapi juga soal komitmen kebijakan. Kabupaten Kolaka harus membuktikan bahwa upaya menjadi Kabupaten Layak Anak bukan sekadar jargon, tetapi tekad untuk menghadirkan ruang aman bagi setiap anak. Karena ketika satu anak terluka, sesungguhnya kita semua sedang gagal menjaga masa depan bangsa.

Penulis: Indar Ismail Jamaluddin (Dosen Administrasi Publik pada Universitas Sembilanbelas November Kolaka).