PALU, CS – Konflik agraria di Sulawesi Tengah Sulteng) seakan menjadi time bomb menyeruak ke permukaan publik. Seakan tidak ada habisnya perusahaan perkebunan sawit melakukan praktik- praktik perampasan lahan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap masyarakat adat Suku Wana Tau Taa Burangas yang berada di Desa Winangabino, Desa Lijo, Desa Sea, Desa Parangisi, Desa Ue Pakatu, Desa Manyo’e, di Kecamatan Mamosalato Kabupaten Morowali Utara.
Masyarakat adat yang sudah hidup turun temurun memelihara dan menjaga hutan perlahan tersingkirkan karena aktifitas perusahaan perkebunan sawit PT Karunia Alam Makmur.
Perusahaan perkebunan sawit ini melakukan praktek perkebunan di atas lahan adat masyarakat Tau Taa Burangas, padahal diketahui bahwa wilayah adat Tau Taa Burangas telah dilindungi oleh Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Morowali Utara (Morut) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana.
“Dalam Perda tersebut sangat jelas tertera dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan terhadap wilayah hukum Adat Suku Wana,” tegas Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng, Eva Susanti Bande, merilis, Kamis 28 September 2023.
Kata Eva, perlindungan Pemerintah terhadap masyarakat Suku Wana dilakukan melalui :
a. Memberi kebebasan kepada masyarakat hukum adat Suku Wana untuk menjalankan kehidupan sosialnya sesuai nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut.
b. Menjamin dan melindungi berlakunya hukum adat masyarakat Suku Wana, yang dipertahankan sesuai tatanan yang ada oleh lembaga adat.
c. Menjamin dan melindungi wilayah hukum adat Suku Wana.
Menurut Eva, praktik yang dilakukan PT Karunia Alam Makmur yang melanggar Perda ini bentuk dari pembangkangan konstitusi, serta memperlihatkan ke public bahwa negara takluk dihadapan Investor.
Eva mengatakan, konflik agraria di Sulteng seperti tidak berujung. Satu persatu letupan konflik terus muncul, diakibatkan oleh ekspansi perusahaan sawit.
“Lagi-lagi kami FRAS Sulteng mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk menghentikan aktifitas perusahaan PT Karunia Alam Makmur yang beroperasi di dalam wilayah adat Suku Tau Taa Wana Burangas, serta melakukan pemulihan hak hidup masyarakat adat,” Ucap Eva Bande.
Lanjut Eva, pemimpin negara ini setiap tahunnya merayakan hari kemerdekaan dengan menggunakan pakaian adat, namun tidak kelihatan perlindungan negara ini terhadap masyarakat adat yang berada di daerah- daerah terpencil yang menjadi korban ekspansi perusahaan perkebunan skala besar.
Masyarakat adat selalu terpinggirkan ketika terjadi konflik agraria, akan tetapi selalu menjadi sanjungan ketika mendekati momentum politik, seperti apa yang dikatakan oleh ketua adat Desa Winangabino.
“Kami merasa hidup di sana, kami menuntut hak kami agar dikembalikan tanah kepada masyarakat, kami tidak pernah memberikan persetujuan untuk aktifitas perusahaan perkebunan sawit,” aku Ketua Adat Winangabino. **