PALU, CS – Tokoh Pembaharuan Islam Sulawesi Tengah, Prof. KH. Zainal Abidin menegaskan bahwa politik identitas berbasis agama atau politisasi agama oleh pihak tertentu pada tahapan pemilihan umum, merupakan tindakan mencederai kesakralan agama.
“Politik identitas berbasis agama justru mencederai kesakralan dan kesucian agama,” ucap Profesor Zainal Abidin, di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu, terkait dengan pencegahan politik identitas pada Pemilu 2024.
Hal itu karena, kata dia, agama diperalat untuk kepentingan politik seseorang atau sekelompok orang, demi meraih kemenangan.
Profesor Zainal yang merupakan guru besar sekaligus Pakar Pemikiran Islam Modern Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama, mengatakan politik identitas berbasis agama sesungguhnya hanya akan menciptakan perpecahan dan merusak keharmonisan hidup masyarakat dalam konteks bernegara.
“Oleh karena itu, politisasi agama atau politik identitas jangan dilakukan dan diterapkan oleh semua pihak utamanya peserta pemilu maupun tim pemenangan dari peserta pemilu,” ungkap Zainal Abidin yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulteng.
Ia menegaskan, penggunaan teks – teks atau ayat – ayat suci agama dalam sosialisasi pengenalan jati diri/identitas diri, untuk meraih simpati masyarakat tidak boleh dilakukan.
“Jangan membawa – bawa atau menggunakan ayat – ayat suci agama untuk mendoktrin orang lain atau mencari simpati, untuk mencapai perolehan suara terbanyak,” sebut Profesor Kiai Haji Zainal yang juga sebagai Rois Syuriah PBNU.
Sebaliknya, ujar dia, agama harus ditempatkan pada tempatnya oleh semua pihak.
Sebab penggunaan politik identitas berbasis agama sangat kontradiksi dengan nilai – nilai ajaran setiap agama.
“Karena agama salah satu fungsinya untuk mendorong dan menginspirasi penganutnya mewujudkan perdamaian dan kemaslahatan bersama,” ungkapnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulteng mengakui bahwa politik identitas menjadi satu tantangan yang dihadapi oleh KPU dalam penyelenggaraan pemilihan umum maupun pemilihan serentak kepala daerah.
KPU juga mengakui bahwa politik identitas masih cenderung ada digunakan oleh oknum dan kelompok tertentu dalam kontestasi pada momentum pemilu dan pemilihan kepala daerah.
Kelompok atau pihak yang menggunakan politik identitas, cenderung memanfaatkan manusia secara politis karena persamaan identitas yang mencakup ras, etnis, dan gender, atau agama tertentu. **