SULTENG,CS – Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembangunan Desa dan Perdesaan (PDP), Kemendes-PDTT, Muhammad Fachri mengemukakan sejumlah hal terkait tidak optimalnya pengelolaan dana desa untuk program kemiskinan di desa.
Hal ini Ia kemukakan dalam kunjungan kerja Komisi I DPRD Sulteng, Jumat 10 November 2023 di Jalan Raya Kalibata No 17, Pancoran, Jakarta Selatan gedung B lantai 2 Kemendes-PDTT RI.
Kunjungan kerja Komisi I DPRD Sulteng ini bermaksud mengonsultasikan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang pemberdayaan desa. Rombongan Komisi I antara lain Wiwik Jumatul Rofiah, Enos Pasaua dan Elisa Bunga Allo. Mereka juga di damping sejumlah Staf Sekretariat DPRD Sulteng.
Fahcri mengatakan, salah satu kebijakan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT) adalah soal pengentasan kemiskinan, terutama kemiskinan ekstrem.
Bentuk intervensi dari kebijakan tersebut adalah dengan mengalokasikan dana desa, setiap tahunnya. Namun menurutnya banyak pemerintah desa di Indonesia, termasuk di Sulteng yang dinilai tidak fokus mengelola dana desa untuk pengentasan kemiskinan.
“Padahal yang kita melihat rumusan kebijakan soal dana desa itu, indikator pembagiannya selalu mencantumkan variabel kemiskinan di dalamnya, bahkan bisa kita hitung nilai rupiahnya berapa,”ungkapnya.
Menurutnya, ada desa yang mendapatkan Rp1 miliar, maka ekuivalen kira-kira Rp300 juta didapatkan dari Rp1 miliar karena angka kemiskinannya.
Namun, kata dia, begitu masuk ke dalam perencanaan desanya, hampir tidak ada program pengentasan kemiskinan.
“Ketika pemerintah misalnya menetapkan 10 persen minimal untuk program pengentasan kemiskinan, mereka semua teriak,” ungkapnya.
Sangat tidak fair, kata dia, di perencanaan memasukkan angka kemiskinan yang tinggi supaya dapat dana desa yang banyak, tapi begitu masuk dalam implementasi APBDes, hampir tidak ada program pengentasan kemiskinan.
“Lantas duitnya buat apa. Pertanyaannya di situ,” tanyanya.
Menurutnya, desa ibarat negara kecil. Semua isu ada di sana, mulai dari isu pendidikan, isu kesehatan, isu kemiskinan, dan semua yang berbasis sektoral ada di desa.
Tapi seringkali, lanjut dia, program-program tidak terintegrasi dengan baik. Pemda jalan sendiri, desa juga jalan sendiri.
“Kita sama-sama bekerja, tapi tidak bekerja sama,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, persoalan utamanya adalah data. Ia mengaku belum menemukan satu pemda pun yang berani melakukan pendataan serius. Padahal itu bisa menjadi basis untuk diintervensi secara kolektif oleh seluruh perangkat daerah.
Data kemiskinan, kata dia, sebagian dikeluarkan oleh Kementerian Sosial, sebagian juga dari BPS.
“Kalau kita itu diperhadapkan saat musyawarah desa (Musdes), banyak anomalinya. Selalu ada yang namanya inclusion error dan exclusion error,” katanya.
Akibatnya, kata dia, orang yang semestinya masuk tapi tidak terdata, ada juga orang mestinya tidak masuk tapi masuk dalam pendataan. Ada juga orang yang sudah pindah atau meninggal dunia masih masuk dalam pendataan.
“Adapula orang yang sudah naik strata kemiskinannya juga masih masuk,” katanya.
Terkait itu, Anggota Komisi I DPRD Sulteng, Wiwik Jumatul Rofi’ah, mengatakan, hal-hal yang disampaikan oleh direktur perlu dirangkum dalam raperda yang saat ini sedang diinisiasi oleh komisi I.(**)