PALU, CS – Terdakwa kasus pengadaan Alat Teknologi Tepat Guna (TTG) di Kabupaten Donggala, Dee Lubis, membantah keterlibatannya dalam pusaran kasus korupsi tersebut.
Bantahan ini disampaikan melalui Penasehat Hukumnya (PH) dalam sidang pembacaan pledoi yang digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Palu, Selasa 24 Desember 2024.
Dee Lubis yang merupakan mantan Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Donggala pada tahun 2019 dan Plt. Inspektur Inspektorat Donggala, didakwa bersama dengan terdakwa lainnya, Mardiana, Direktur CV. Mardiana Mandiri Pratama.
Mereka dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan hukuman penjara masing-masing selama 4,5 tahun terkait dugaan kerugian negara sebesar Rp1,87 miliar berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam nota pembelaan setebal 116 halaman, tim penasehat hukum Dee Lubis, yang terdiri dari Abdul Muin, Gita Nindya, dan Mega Arif, menyatakan bahwa tidak ada perbuatan terdakwa yang memenuhi unsur-unsur dakwaan dengan cara yang sah dan meyakinkan.
Menurut tim PH, tuduhan bahwa Dee Lubis mengarahkan saksi Mardiana untuk menyusun proposal dan menaikkan harga TTG sebesar 15% adalah tidak benar. Mereka menegaskan bahwa inisiatif tersebut justru berasal dari Bupati Donggala, Kasman Lassa.
“Fakta hukum menunjukkan bahwa terdakwa tidak terlibat dalam arahan terkait penyusunan proposal maupun pengadaan alat TTG. Semua itu merupakan perintah langsung dari Bupati Donggala,” ujar tim penasehat hukum.
Selain itu, mereka juga menanggapi argumen JPU yang menyebut Dee Lubis memaksa kepala desa untuk menganggarkan pengadaan TTG melalui rekomendasi pencairan dana desa.
Tim PH menegaskan bahwa penerbitan rekomendasi tersebut tidak pernah dimaksudkan sebagai syarat pencairan dana desa.
“Ratusan kepala desa tidak merasa dipaksa, dan hanya dua kepala desa yang mengaku ada unsur tekanan. Fakta ini bertentangan dengan narasi JPU,” tambah mereka.
Dalam pledoinya, tim penasehat hukum juga mengungkap beberapa fakta hukum yang dinilai tidak sesuai dengan keputusan JPU yang menjatuhkan tuntutan kepada Dee Lubis. Beberapa fakta tersebut antara lain, inisiatif dan perintah pengadaan alat TTG berasal langsung dari Bupati Kasman Lassa, termasuk menaikkan harga sebesar 15%.
Mereka juga mengungkapkan bahwa Dee Lubis hanya melaksanakan tugas berdasarkan perintah Bupati Donggala, termasuk dalam menerbitkan rekomendasi pencairan dana desa.
“Tidak benar bahwa terdakwa Dee Lubis ikut mengatur Rencana Anggaran Biaya (RAB) TTG. Fakta ini terungkap dari keterangan saksi Kasman Lassa dan beberapa saksi lainnya,” ujar tim PH.
Mereka menilai kesimpulan JPU sangat keliru karena tidak didasarkan pada analisis yang mendalam terhadap fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.
“Jaksa Penuntut Umum seharusnya membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan apakah perbuatan tersebut menunjukkan niat untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,” kata tim penasehat hukum.
Tim PH juga menyampaikan bahwa beberapa saksi lainnya, termasuk Mardiana dan Ardiansyah, memberikan keterangan yang mengindikasikan bahwa kebijakan pengadaan TTG berasal dari Bupati Donggala Kasman Lassa.
“Siapakah yang meminta proyek TTG dianggarkan di APB Desa? Fakta hukum menunjukkan bahwa yang meminta dan menekankan agar TTG dianggarkan APB Desa bukan terdakwa, tetapi Bupati Kasman Lassa,” jelas mereka.
Dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang ada, tim penasehat hukum memohon kepada majelis hakim yang dipimpin oleh Chairil Anwar untuk membebaskan Dee Lubis dari seluruh dakwaan. Jika tidak, mereka meminta agar hakim mempertimbangkan kondisi terdakwa yang merupakan tulang punggung keluarga dan tengah menanggung utang sebesar Rp732 juta.
“Dee Lubis adalah korban dari kebijakan yang dibuat oleh Bupati Kasman Lassa, yang harusnya menjadi fokus utama dalam kasus ini,” pungkas tim penasehat hukum. *
Editor : Yamin