PALU, CS – Seorang petinggi PT Bintang Delapan Wahana (PT BDW) berinisial EC dilaporkan tidak memenuhi panggilan penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah (Sulteng) 10 Juli 2025 lalu.

Pemanggilan itu berkaitan dengan penyidikan atas hilangnya bukti surat yang diduga palsu, yang digunakan sebagai dasar penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi di wilayah Kabupaten Morowali.

Surat yang dimaksud adalah dokumen yang diduga dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) dengan Nomor 1489/30/DBM/2013, tertanggal 3 Oktober 2013.

Dokumen tersebut digunakan untuk meminta penyesuaian IUP oleh Bupati Morowali kepada PT BDW, meski belakangan diketahui bahwa surat tersebut tidak pernah secara resmi dikeluarkan oleh Dirjen Minerba.

Ketidakhadiran EC dalam pemeriksaan menimbulkan sorotan publik, termasuk dari Yayasan Advokasi Mineral dan Masyarakat Indonesia (YAMMI) Sulteng.

Direktur Kampanye dan Advokasi YAMMI, Africhal Khamanaei, S.H., menilai ketidaktegasan aparat terhadap absennya EC menjadi tanda lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi besar.

“Ini bukan sekadar soal surat palsu, tapi bagaimana aparat negara berhadapan dengan korporasi besar. Jika terus dibiarkan, ini berbahaya bagi kepercayaan publik terhadap hukum,” ujar Africhal dalam keterangan tertulis, diterima media ini, Minggu (20/7/2025).

Kasus ini bermula dari penerbitan IUP PT BDW oleh Bupati Konawe Utara tahun 2008, padahal wilayah konsesinya berada di Kabupaten Morowali, Sulteng di luar yurisdiksi penerbit izin.

Untuk menyesuaikan legalitasnya, PT BDW disebut mengupayakan agar Dirjen Minerba mengeluarkan surat permintaan penyesuaian IUP. Namun karena surat tersebut tidak pernah diterbitkan, diduga dibuatlah surat palsu yang kemudian diserahkan ke Bupati Morowali saat itu, yang akhirnya mengeluarkan IUP Penyesuaian kepada PT BDW.

Akibat penerbitan IUP tersebut, terjadi tumpang tindih izin tambang di wilayah Morowali dengan lima perusahaan lain, termasuk PT Morindo dan PT Daya Inti Mineral.

Polda Sulteng sebelumnya telah menetapkan seorang tersangka berinisial FMI alias F pada 13 Mei 2024 atas dugaan pemalsuan dokumen tersebut. FMI dijerat dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP.

Penahanan terhadap FMI dimulai sejak 3 Juli 2024 dan dijadwalkan berlangsung hingga 23 Juli 2024, sebagaimana tertuang dalam surat penahanan Ditreskrimum Polda Sulteng Nomor: B/256/V/RES.1.9/2024.

YAMMI juga meminta agar pejabat bupati waktu itu turut diperiksa, karena telah mengeluarkan IUP berdasarkan surat yang diduga palsu.

Menurut YAMMI, pemeriksaan ini penting untuk memastikan tidak adanya kelalaian maupun konflik kepentingan, apalagi mengingat PT BDW disebut memiliki hubungan dengan PT IMIP yang beroperasi di kawasan Bahodopi, Morowali.

“Kami minta semua pihak yang terlibat diperiksa secara transparan. Bila Polda Sulteng tidak tegas, kami siap bersurat kepada Presiden Prabowo dan DPR RI,” tegas Africhal.

Hingga saat ini, wilayah konsesi yang menjadi sumber tumpang tindih belum bisa dikelola. Para pihak juga belum membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga menimbulkan kerugian ekonomi bagi daerah dan negara. **