MOROWALI, CS – PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), kawasan industri nikel terbesar di Indonesia, menjadi sorotan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI menyusul sejumlah temuan dugaan pelanggaran serius terhadap ketentuan lingkungan hidup.
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, menyebutkan bahwa sejumlah aktivitas di dalam kawasan IMIP tidak tercakup dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), termasuk pembukaan lahan seluas sekitar 179 hektare.
Ia menegaskan agar pihak IMIP menghentikan kegiatan yang belum masuk dalam persetujuan lingkungan.
Sementara itu, Deputi Bidang Penegakan Hukum KLH, Rizal Irawan, menyatakan akan diberlakukan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, denda administratif, hingga audit lingkungan menyeluruh. Terkait dugaan penimbunan limbah B3 tailing, proses hukum pidana dan perdata juga akan ditempuh.
KLH juga merinci beberapa temuan yang dinilai membahayakan lingkungan, antara lain pembangunan pabrik seluas lebih dari 1.800 hektare di luar dokumen Amdal, timbunan slag nikel dan tailing lebih dari 10 hektare, kualitas udara ambien yang tidak sehat, hingga belum optimalnya pengelolaan air limbah dan sampah di kawasan tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, Head of Media Relations PT IMIP, Dedy Kurniawan, menegaskan bahwa pihaknya telah mengajukan pengembangan Amdal untuk perluasan kawasan seluas 1.800 hektare sejak 2023 melalui aplikasi Amdalnet. Saat ini, dokumen tersebut masih menunggu persetujuan final dan penandatanganan dari KLH RI.
“Kami sudah mengikuti proses sesuai ketentuan. Sidang Amdal telah dilakukan dan kami saat ini sedang menunggu draft surat keputusan (SK) dari KLH,” ujar Dedy dalam pernyataan resminya, diterima media ini, Kamis (19/6/2025) malam.
Ia juga menjelaskan bahwa IMIP terus melakukan pemantauan kualitas udara secara berkala, baik melalui sistem Continous Emission Monitoring System (CEMS) maupun pemantauan manual oleh laboratorium terakreditasi. Saat ini, 58 titik CEMS sudah terpasang dan sisanya sedang dalam proses pemasangan.
“Pemantauan ini juga termonitor secara real-time oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLH melalui sistem SISPEK,” tambahnya.
Terkait persoalan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Dedy mengakui adanya tantangan teknis karena kondisi topografi yang berbeda-beda di setiap smelter. Oleh karena itu, IMIP telah berkonsultasi dengan KLH RI, dan berdasarkan berita acara nomor 182/KLHIMIP/BA/MWL/VI/2023, diizinkan membangun IPAL komunal berbasis klaster.
“Para tenant telah mengelola IPAL-nya masing-masing dan limbah cair disalurkan ke kanal yang dikelola oleh IMIP. Kami menyadari pentingnya peningkatan pengelolaan lingkungan yang lebih baik,” katanya.
Selain itu, menurut Dedy, IMIP juga sedang berinvestasi pada teknologi energi bersih sebagai bagian dari transisi menuju industri yang lebih ramah lingkungan, seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang sudah mulai berjalan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang masih dalam tahap kajian.
Sebagai kawasan industri seluas 2.000 hektare dengan 28 perusahaan aktif dan 14 lainnya dalam tahap konstruksi, IMIP menyatakan komitmennya untuk terus melakukan perbaikan lingkungan hidup, dengan memperkuat koordinasi dan pengawasan terhadap seluruh tenant di kawasan industri tersebut.
Editor : Yamin

