BIG DATA

Andika

Salah satu masalah yang sering kita hadapi adalah soal kepastian data. Data yang tersebar di berbagai pemangku data seringkali berbeda satu sama lain. Sehingga ketika menghadapi momen tertentu yang memerlukan data, maka pendataan baru pun dilakukan.

Metode dan gugus tugas diperbaharui. Satu per satu orang di data kembali. Kalau petugas datanya mengambil sampel dengan teliti tidak jadi soal. Tetapi kebanyakan mengalami kesulitan saat verifikasi. Double alamat, nama yang sama, subjek yang berulang adalah kasus yang sering di alami.

Bacaan Lainnya

Bahkan, kehilangan nama dalam tabulasi menjadi resiko paling serius. Ambil contoh dalam kasus pelaksanaan program rehab rekon pasca bencana di Padagimo. Baik pemerintah maupun masyarakat lebih banyak mengeluhkan data sebagai tantangan.

Tentu, dalam soal-soal yang lebih umum, perihal data menjadi urusan yang lebih serius lagi.

Fakta Terkini

Kita akan mula dengan menyajikan sebuah angka-angka. Badan Pusat Statistik mencatat, bulan Maret 2019, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tengah mencapai 410,36 ribu orang (13,48 persen), berkurang sebesar 3,13 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2018 yang sebesar 413,49 ribu orang (13,69 persen).

Baca Juga :  Tantangan dan Ujian Berat Kepala Daerah di Depan Mata

Tetapi dari penyajian data ini. Kita hampir tidak mengetahui dimana alamat, dan siapa saja orang yang dikategorikan miskin itu. Termasuk soal penurunan dan kenaikan angka kemiskinan, kita tidak pernah tahu sebab-sebab pasti mengenai hal itu.

Sehingga, tidak ada relevansi yang kongkrit antara program tahunan yang dirancang oleh satuan dinas terkait. Besaran belanja pembangunan yang dikeluarkan juga tidak diketahui pasti berapa persen jumlah orang miskin yang dapat tertolong.

Sekarang kita masuk ke angka yang lain. Badan Pusat Statistik mencatat, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2020 di Sulawesi Tengah sebesar 2,98 persen. Pada bulan yang sama, tercatat sebanyak 967.745 orang (63,24 persen) penduduk bekerja pada sektor informal.

Pada saat yang sama, BPS juga mencatat, setahun terakhir, tiga sektor terbesar yang mengalami peningkatan persentase penduduk bekerja adalah Pertanian (1,34 persen poin), Jasa Keuangan dan Asuransi (0,82 persen poin), serta Jasa Pendidikan (0,44 persen poin).

Padahal, kalau kita merujuk pada sektor dengan tingkat pemicu pertumbuhan adalah pengelolaan mineral tambang dan konstruksi serta hilirisasi. Tetapi dari data di atas, partisipasi angkatan kerja kita sangat sedikit yang terserap pada sektor itu.

Sebagai contoh kasus PT IMIP di Morowali. Perusahaan pengelola kawasan industri nikel dan produk-produk berbahan nikel terbesar di dunia itu. Saat ini diperkirakan mempekerjakan sekitar 35.000 karyawan, sekitar 3.300 orang di antaranya adalah pekerja asal Tiongkok.

Baca Juga :  Sidak ASN, Transformasi Menuju Pelayanan Prima

Berapa jumlah angkatan kerja dari penduduk Sulawesi Tengah yang terserap, kita tidak memiliki angka pasti. Tentu, informasi yang sama juga terjadi di lapangan usaha lain sejenis maupun sektor-sektor yang bersifat pada kerja atau small skill.

Inilah yang dimaksud dengan tantangan pengelolaan data yang dapat menjadi rujukan. Mengapa kemiskinan dan pengangguran tidak bisa diatasi dari tahun ke tahun karena kita tidak memiliki strategi lingkage industri atau lapangan usaha dengan data angkatan kerja.

BIG Data Sebagai Solusi

Sekarang kita telah berada di era AI artifisial Intelegencia, atau kecerdasan buatan. Gojek online, dan maupun market virtual, lebih tahu detail lokasi orderan dengan memanfaatkan algoritma. Mereka memiliki bank data sejumlah rumah makan yang masih buka atau pun tutup.

Mestinya, level pengelolaan data kita sudah harus meningkat memanfaatkan kecerdasan buatan. BIG data menjadi salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran di Sulawesi Tengah.

Pertama, Pemerintah bisa melakukan pendataan dimulai dengan pembangunan sebuah techno Park. Setiap rumah tangga miskin diberikan bea siswa mengikuti pelatihan kerja berdasarkan trand investasi dan keunggulan wilayah.

Baca Juga :  Transformasi Koperasi dan Urgensi Lembaga Baru

Selepas dilatih, mereka dimasukkan dalam sebuah bank data sesuai skill dan sertifikasi keahlian yang mereka dapatkan. Itu adalah modal awal untuk menyebut mereka sebagai angkatan pra kerja.

Kedua, Pemerintah melakukan sinkronisasi data kebutuhan angkatan kerja dengan investor, perusahaan dan semua jenis lapangan usaha berbasis padat kerja. Jadi, pemerintah memiliki data yang pasti kebutuhan tenaga kerja setiap lapangan usaha yang terbuka.

Ketiga, data yang sama bisa dijadikan rujukan dalam pengelolaan program pemerintah. Sinkronisasi data ini menjadi pola penyusunan program di tingkat satuan dinas. Baik itu program yang bersifat bantuan sosial langsung, pemberdayaan, maupun rembesan pembangunan seperti kebutuhan jalan, jembatan, sanitasi dan perumahan.

Dengan demikian, data antara jumlah orang miskin, pengangguran, program pemerintah, investasi bukan lagi sebaran terpisah. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah BIG data untuk memastikan bahwa angka-angka yang berkaitan dengan kemiskinan dan pengangguran dikelola dengan cara yang lebih pasti.

Saya percaya, jika BIG Data bisa diwujudkan, trand investasi dan anggaran pembangunan jauh lebih mempercepat menurunnya kemiskinan dan pengangguran. Kecerdasan artifisial dan BIG data, menjadi jembatan kemakmuran mengatasi bonus demografi di masa depan.**

Penulis : Andika

Pos terkait