Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini saya mencoba menulis lagi. Masih dengan tema yang sama, koperasi. Sebuah badan usaha yang kuno, tidak menarik, tidak cocok untuk milenial, jadul, dan alasan lainnya. Itu bukan perkataan saya, tapi kumpulan pendapat dari orang-orang yang hanya melihat sekilas saja tentang koperasi tanpa mencoba mempelajarinya, dan juga dari mereka yang menjadi korban dari oknum yang merusak citra koperasi.

Apa hendak dikata, sudah seperti itulah citra koperasi di mata mayoritas masyarakat kita. Apakah citra koperasi yang terlanjur buruk ini bisa diperbaiki? Bagaimana caranya? Siapa yang harus memperbaiki itu? Pertanyaan seperti ini yang kadang berputar di dalam kepala saya, namun tidak sampai membuat kepala saya ikut berputar-putar seperti Tina Toon kala ia kecil.

Jika membaca Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian maka kita dapat mengetahui bahwa koperasi merupakan badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi yang dalam operasinya berpegang pada prinsip koperasi yang juga tertuang dalam undang-undang tersebut. Sehingga kekuatan sebuah koperasi sebenarnya terletak pada anggotanya.

Kalau anggota koperasi itu memahami betapa stategisnya posisi mereka sebagai anggota maka koperasi akan dapat berkembang. Begitu pun sebaliknya. Dewasa ini memang tidak sedikit anggota koperasi yang belum paham hak dan kewajibannya sebagai anggota.

Aneh memang. Ini salah satu dampak dari tidak dilaksanakannya prinsip koperasi yang ke-6 yaitu Pendidikan Perkoperasian. Kalau prinsip pendidikan perkoperasian ini dilaksanakan maka akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi para anggotanya. Itu merupakan hasil penelitian.

Kenapa partisipasinya bisa meningkat? Yah karena mereka sudah paham posisi mereka sebagai anggota koperasi. Singkatnya seperti itu.

Era digital yang sangat erat dengan kehidupan menjadi tantangan tersendiri bagi koperasi. Citra koperasi yang terkesan kuno dapat dipoles menjadi lebih segar dengan mengadopsi teknologi. Membuat koperasi agar ‘naik kelas’ sudah menjadi suatu keharusan yang harus disegerakan.

Ini salah satu cara menarik perhatian masyarakat untuk menjadi anggota koperasi, terkhusus para generasi muda. Jumlah generasi muda Indonesia sangat besar sehingga akan luar biasa jika mereka semua bersatu menghidupkan demokrasi ekonomi melalui koperasi.

Menuju Koperasi Modern

Bergerak menuju koperasi yang lebih modern tentunya tidak semudah membalik telapak tangan. Kesiapan sumber daya manusia dalam suatu koperasi tentunya menjadi hal yang perlu diperhatikan. Karena kita tidak bisa menutup mata bahwa mayoritas anggota koperasi masih didominasi oleh orang tua. Kebanyakan dari mereka masih gagap teknologi—gaptek istilah anak muda zaman now. Namun, itu bukan hal mustahil, selama ada kemauan pasti semua itu bisa terwujud.

Merujuk data koperasi per 31 Desember 2021, koperasi di Indonesia berjumlah 127.846 koperasi. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun 2020 yang berjumlah 127.124. Dari jumlah yang besar itu, baru sekitar 0,73% saja yang telah melakukan digitalisasi pada koperasinya pada tahun 2020. Kontribusi koperasi terhadap Product Domestic Bruto (PDB) juga belum mencapai target. Saat ini kontribusi koperasi terhadap PDB masih berada pada angka 5% sedangkan target pemerintah yaitu 5,5%.

Digitalisasi koperasi ini juga untuk meningkatkan daya saing koperasi kita. Coba perhatikan betapa tertinggalnya koperasi dibandingkan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), padahal sejatinya semuanya adalah soko guru perekonomian Indonesia. Apakah koperasi menjadi ‘anak tiri’ di negara ini? Entahlah, Namun faktanya koperasi kita memang tertinggal.

Untuk mengejar ketertinggalan itu pada tahun 2020 Koperasi Nasari memperkenalkan aplikasi koperasi digital pertama di Indonesia yang diberi nama Nasari Digital (NADI) untuk memudahkan pelayanan kepada para anggota tentunya. Terobosan yang dilakukan oleh koperasi yang beralamat di Kota Semarang ini mendapat apresiasi dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KemenkopUKM).

Apa yang dilakukan oleh Koperasi Nasari tentunya sejalan dengan program pemerintah untuk mendorong koperasi melakukan transformasi digital.

Upaya digitalisasi koperasi rupanya sudah menjadi program prioritas KemenkopUKM yang dinahkodai bapak Teten Masduki.

Targetnya menciptakan 500 koperasi modern pada tahun 2024. Akan sangat keren ketika ini dapat terwujud agar kesan kuno yang melekat pada koperasi segera luntur. Untuk itu seluruh pihak semestinya bergandengan tangan mewujudkan target tersebut.

Upaya ini tentunya bertujuan untuk meningkatkan daya saing koperasi agar mampu bersaing dengan korporasi lainnya. Lembaga Penjamin Simpanan Khusus Koperasi Simpan Pinjam.

Selain urgennya masalah digitalisasi koperasi, ada hal lain yang perlu mendapat perhatian yaitu Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Koperasi yang ada di Indonesia memang masih didominasi oleh KSP.

Masalah-masalah koperasi yang ada di media juga dominan masalah yang terjadi pada KSP.

Masalah apa? Yah biasalah kalau bukan dana yang raib, investasi bodong, dan masalah seputar simpanan anggota lainnya. Miris memang tapi itulah yang terjadi. Hal ini juga yang mendorong semakin rusaknya citra koperasi simpan pinjam.

Masyarakat cenderung enggan untuk bergabung dengan Koperasi Simpan Pinjam. Wajar saja, karena tidak ada yang bisa menjamin keamanan simpanan mereka. Berbeda halnya dengan simpanan masyarakat yang ada pada bank umum. Simpanan mereka terjaga oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Lembaga independen ini dibentuk untuk menjaga simpanan masyarakat dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.

Pertanyaannya, apakah simpanan masyarakat dalam koperasi tidak perlu dijaga? Apakah kepercayaan masyarakat terhadap koperasi simpan pinjam tidak perlu dijaga?

Membingungkan memang. Seharusnya ada perlakuan yang sama antara perbankan dan juga koperasi, jika ada LPS untuk perbankan mestinya ada juga LPS untuk koperasi. Karena simpanan masyarakat yang ada di bank dan juga Koperasi Simpan Pinjam memang harus dilindungi. Semoga saja ini bukan bagian dari upaya melemahkan posisi tawar koperasi di masyarakat.

Semoga koperasi dapat terus berkembang melalui upaya digitalisasi. Semakin banyak koperasi modern yang lahir maka semakin baik untuk atmosfer perkoperasian Indonesia. Tak lupa juga semoga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk koperasi segera terwujud untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada koperasi simpan pinjam.
Selamat Hari Koperasi Nasional Ke-75, Ayo Berkoperasi!

Penulis, Muhammad Syaiful, S.Pd., M.E. (Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Universitas Sembilanbelas November Kolaka)