Kisah Inspiratif Karamah Guru Tua Meredam “Amarah” Gelombang Tsunami di Teluk Palu

ilustrasi gelombang tsunami

Diceritakan oleh Fidyawati, Sosok Perempuan yang Terhempas Tsunami hingga Ke bumbungan Rumah.

Ada yang ganjil ketika pertama kali bertemu dengan ibu Fidyawati, di cafe aweng durian, pagi itu, 2 jam menjelang shalat Jumat.

Bacaan Lainnya

Dengan menggunakan pakaian outer ping yang dipadu lengan panjang berwarna abu-abu, dibalut dengan jilbab fasmina berwarna putih di wajahnya, dan di lengannya dihiasi kalung tasbih berwarna hijau bacan menyala, seolah-olah menggambarkan dirinya atau suasana bathinnya ketika itu, sangat percaya diri, kuat dan kokoh menghadapi tragedi yang dialaminya.

Tidak seperti beberapa korban tsunami yang pernah kami temui, dan kelihatannya masih trauma dengan kejadian 28 September 2018 itu. Ibu ini, layaknya seorang srikandi muda, seperti baru saja pulang dari medan peperangan mensyukuri kemenangannya.

Hari kedua pasca bencana, saat kebanyakan orang masih was-was mendekati bibir pantai talise, perempuan yang pernah bekerja sebagai perawat di rumah sakit Anutapura ini telah datang ke tempat kejadian dimana dirinya terhempas oleh gelombang tsunami. ia menyisir tempat itu, mencari sisa-sisa bangkai kenderaannya, dan memotret beberapa bagian peristiwa penting di lokasi itu yang menurutnya, suatu saat nanti bisa menjadi ibrah, pelajaran, untuk dirinya dan orang lain.

Masih sangat jelas di memorinya, bagaimana peristiwa mencekam itu terjadi padanya. Seperti biasanya, kata ibu Fidya, yang kesehariannya juga sebagai mahasiswi STIKES Mamboro, 20 menit menjelang magrib, Jumat tanggal 28 September, kuliahnya baru saja selesai. Karena hari itu, ia sudah mengalami 2 gempa sebelumnya, antara jam 2 dan jam 4 sore, ia bergegas pulang untuk mengejar shalat magrib di rumahnya, sambil bermohon dijauhkan bala’ atau musibah pada sore hari itu.

Biasanya, kalau ia tidak keburu, ia selalu singgah di masjid sekitar kampung Tondo atau di masjid terapung, Kampung Lere.

Hari itu mobilnya melaju dengan cepat, secepat suara lagu-lagu shalawat Nabi yang diputarnya dengan suara menggelegar di mobilnya. Ketika memasuki jalan pinggiran pantai Talise, di antara warung makan Heni Putri Kaili dan Kampung Nelayan, pikirannya tiba-tiba melayang jauh menghayalkan masa depan dirinya untuk memiliki rumah pribadi meski sekecil apapun, daripada harus kontrak. Rumah yang ada dalam impiannya itu, tidak jauh dari lingkungan masjid Alkhairaat, sekitar daerah perumahan Palupi.

Ia juga menghayal akan indahnya beribadah di lokasi ini, khususnya di bulan Ramadhan, ia ingin menghabiskan seluruh waktunya shalat taraweh di masjid Alkhairaat.

Baca Juga :  Harmoni di Tepi Mandalika, Antara Gemuruh Mesin dan Joran Mancing Bapak Tua

Seketika wajah pendiri Alkhairaat, habib Idrus bin Salim Aljufrie, yang oleh masyarakat Palu biasa menyebutnya GURU TUA, tampil di depannya dengan ciri khasnya, sebagaimana yang ada dalam gambar, menggunakan tongkat dengan surban berwarna hijau dipundaknya. Seolah-olah ia disadarkan oleh guru tua saat itu untuk berhati-hati dan mawas diri dengan situasi di sekitarnya. Allahu Akbar, ya Rahman, ya Rahim.

Dia pun tersentak dari lamunannya, tanpa sadar ia tidak merasakan lagi gempa, 7,7 SR yang begitu besar melanda Kota Palu. Ia baru sadar, ketika merasa ada yang menabrak mobilnya dari arah belakang, ternyata terangkat membentur dinding mobilnya akibat gempa. Astagfirullahal Azhim 3X, apa yang terjadi ini?!!, ia menengok ke belakang sudah banyak kendaraan yang berjatuhan, terbalik akibat kuatnya gempa ketika itu.

Dari arah depan maupun samping kendaraannya, ribuan manusia sudah pada berlarian dengan kencang dari arah bundaran Patung Kuda ke jalan Cut Mutia untuk menyelamatkan diri, sambil berteriak tsunami…tsunami…tsunami, lariiiii.

Kala itu ibu Fidya mengaku, tidak bisa lagi menggerakkan mobilnya, karena banyaknya manusia dan kendaraan roda dua dan empat di depannya. Dalam situasi seperti itu, ia berusaha mematikan mobilnya sambil menutup mata dan memeluk erat-erat setir mobil, pasrah menerima benturan gelombang tsunami.

“Sambil berucap keras  LA ILAAHA ILLALLAH, LA ILAAHA ILLALLAH, LA ILAAHA ILLALLAH, SUBHAANAKA INNI KUNTU MINAZ ZHOLIMIN. ALLAHUMMA SHALLI ALA SAYYIDINA MUHAMMADIN. YA ALLAH, YA ALLAH, YA ALLAH,” ucap Ibu Widya dengan suara gemetar.

“Selamatkan saya, kalau saya mati, matikan saya dalam keadaan syahid. Yaa Allah Bala’ya  Rahman Ya Rahim. Habib Idrus, Habib Idrus, Habib Idrus.  Saya berteriak sekeras-kerasnya memanggil Guru Tua. Duarrrr, suara air menghantam kendaraan saya begitu keras, menyeret dengan begitu cepat dan mengangkat saya di permukaan gelombang,” tambahnya.

Diakui Widya, seperti sebuah pesawat terbang di atas permukaan air yang melaju dengan kecepatan tinggi, sambil memberanikan diri membuka matanya, tiba-tiba air berhenti sejenak menerjang, lalu kemudian menghisap balik ke laut dengan menarik segala yang ada di dalamnya, termasuk manusia.

“Ada yang kakinya di atas, dan kepalanya di bawah air. Begitu juga sangking kuatnya isapan air itu, ada kendaraan yang tegak berdiri, lalu jatuh terhisap terbawa ke laut,” katanya.

Baca Juga :  Kepedulian Tanpa Pamrih, Minibus Ahmad Ali yang Menghidupkan Semangat Pendidikan di Desa Tampabatu

Belum begitu lama berselang, kata ibu Fidya, tiba-tiba diterpa hempasan gelombang berikutnya yang lebih keras lagi, seperti air bah yang tumpah ruah, menyerang lebih dahsyat lagi menyeret kembali mobilnya terbang di atas permukaan air hingga beberapa meter lagi menabrak rumah yang ada di depannya.

Ibu Widya sempat berpikiran bahwa peristiwa itu adalah kiamat. Seketika mulutnya kembali berucap Ya Allah Ya Allah Ya Allah Ya Rasulullah. Habib Idrus, Habib Idrus, dengan suara gemetar berteriak memanggil kembali nama Guru Tua, dan bertepatan hantaman gelombak tsunami susulan kembali menghantam. Suara bangunan rumah di depannya roboh mengeluarkan suara nyaring di angkasa.

Subhannallah, pertolongan Allah datang lewat karamah guru tua, rumah itu roboh sebelum terjadi benturan dengan mobilnya, tersangkut bagian kepalanya sejajar dengan atap rumah. Bersamaan dengan itu, balok besar sisa puing-puing bangunan yang roboh menabrak kaca mobilnya, membuat lubang seukuran badan di kacanya, seolah-olah dibuatkan jalan baginya untuk keluar dari dalam kendaraannya, karena tidak sedikitpun wajahnya terluka meski pecahan kaca berceceran di wajahnya.

Mobil ibu Fidya di pantai Talise 2 hari setelah tsunami menerjang. (FOTO : Istimewa)

Masya Allah, sesuatu yang mustahil terjadi. Segalanya di luar nalar untuk bisa diterima.

Tiba-tiba dering hpnya berbunyi, menyadarkan keterkejutannya. Panggilan itu datang dari suaminya yang saat itu sedang berada di Bengkulu, maka seketika ia ke luar dari mobilnya lewat kaca depan yang bolong, lalu berlari merangkak naik ke atap bumbungan rumah, dan kemudian menjawab panggilan suaminya. Terdengar suara suaminya dari ke jauhan, memelas dan berharap cemas, umi di mana?.

“Maaf Abba!! Jangan ganggu saya, bantu berzikir. Ya Allah Ya Allah, kiamat sudah di Palu Abba. Jangan ganggu saya, doakan saya selamat. Hari ini rasanya saya sudah mau mati. HabiB Idrus, Habib Idrus .. Habib Idrus Tenangkan air lautnya  Yaa Habib,” teriaknya saat itu.

Kembali ibu yang pernah menjuarai lomba seni kaligrafi MTQ Sulteng ini bertawassul kepada Guru Tua, dengan kucuran air mata ketakutan, lalu jaringan komunikasi terputus dengan suaminya.

LAA ILAAHA ILLALLAH tiba-tiba air laut berhenti tenang seketika, hening membisu, seperti bayi yang menagis kehausan. Seketika itu langsung diam tertidur dalam pangkuan ibunya.

Ibu Fidya pun akhirnya sujud syukur menelungkupkan kepalanya ke atas seng, lalu tiba-tiba, seng di ujung kakinya jebol, nyaris ia tercebur ke dalam rumah yang penuh dengan genangan air.

Baca Juga :  Pengamen Jalanan Palu Yang Eksis Sejak 1987

Untung saja dia cepat berpegangan pada ring balak, lalu dengan secepat kilat berdiri pergi ke tempat yang lebih aman di sampingnya.

Saat itu, kata ibu Widya , banyak sekali mayat-mayat yang dilihatnya berserakan, bertelanjang badan. Suara tangisan melengking dimana-mana, termasuk seorang ibu disampingnya, yang anaknya masih di dalam mobilnya.

Tolong anakku bu, sambil merengek meminta belas kasih kepada Ibu Fidya. Dengan berusaha menenangkan ibu itu, dengan tidak berprasangka buruk kepada Tuhan, ia berkata: bu, bersyukur kita masih hidup. Ambil anaknya bu, itu malaikat, dialah yang menyelamatkan ibu. Lalu, ibu Fidya pun turun kembali ke mobilnya, menendang bekas pecahan pintu kacanya untuk masuk mengambil tas beserta tasbihnya. Langkah berani ini diikuti juga ibu disampingnya untuk menolong anaknya, lalu naik kembali ke atas bumbungan rumah, menunggu air surut, sampai akhirnya gelap malam datang menutupi pandangan mereka.

Angin malam ketika itu bertiup dengan kencangnya, menusuk kulit pori-pori mereka, dingin membeku hingga ke tulang mereka. Suasana itu memaksanya untuk turun dari rumah itu melalui ujung pohon bambu yang ada di samping rumah itu, sambil berayun ke bawah. Itu juga diikuti oleh ibu dan anaknya, di bantu oleh Ibu Fidya, yang sudah berada di bawah.

Dengan tetap mengucap lailaha illallah, berjalan menghindari bangkai-bangkai mayat dan kendaraan hanya melalui penerangan bulan yang malam itu memancarkan cahayanya dengan begitu terang.

Setelah sampai di ujung jalan yang tidak tersentuh dampak tsunami, akhirnya Ibu Widya, bersama seorang ibu dan anaknya yang sejak dari tadi terus mengikutinya, selamat dan berpisah dalam rasa syukur kepada Tuhan Penguasa Alam Semesta.

Demikian kisah Ibu Fidyawati, mengajarkan kepada kita bagaimana Tuhan menolongnya melalui kemuliaan seorang Waliyullah, Al Habib Idrus Bin Salim Aljufrie, sosok Penganjur Islam di Sulteng dan Indonesia Timur, yang ajaran-ajaran Ke-Esa-an Tuhan-nya (tauhidnya) telah mulai dilupakan untuk tidak menyatakan telah ditinggalkan oleh masyarakat Kota Palu, diganti dengan ajaran anisme, meminta pertolongan lewat ruh-ruh nenek moyang mereka.

Nauzhu billahi min dzalik. Ini adalah teguran keras Tuhan, agar kita kembali memperbaiki diri melalui ajaran yang telah pernah dirintisnya, dan jangan pernah melupakannya, jika ingin Kota Palu dan sekitarnya terhindar dari bala.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Penulis : Dr. H. Lukman S. Thahir, MA, (Direktur Eksekutif Wisdom institute Palu)

Pos terkait