PALU,CS – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah melayangkan kritik tajam terhadap Badan Bank Tanah (BBT) usai sosialisasi yang digelar di Kantor Gubernur Sulawesi Tengah pada 26 September 2025.
WALHI menilai BBT telah menyimpang dari mandat reforma agraria sejati dan lebih condong mengutamakan agenda investasi serta proyek strategis nasional.
Manager Kajian, Analisis, dan Pendampingan Hukum WALHI Sulawesi Tengah, Sandy Prasetya Makal, menegaskan paradigma penguasaan tanah yang dipaparkan BBT tidak berpihak pada pemulihan ketimpangan agraria.
“Masyarakat masih diletakkan sebagai objek perampasan tanah yang timpang dan tidak berkeadilan, alih-alih sebagai subjek dalam kebijakan agraria atas tanahnya sendiri,” ujar Sandy melalui keterangan tertulis, Sabtu (27/9/2025).
WALHI menyoroti klaim penguasaan ±7.123 hektar lahan oleh BBT melalui Hak Pengelolaan (HPL) di Kabupaten Poso (±6.648 ha), Sigi (±160 ha), dan Parigi Moutong (±315 ha). Penguasaan itu dinilai dilakukan secara sepihak dan mencakup wilayah adat serta desa penggarap seperti Alitupu, Maholo, Winowanga, Kalemago, dan Watutau.
Menurut WALHI, rencana pemanfaatan tanah justru mengutamakan investor besar, seperti TH Group Vietnam (3.500 ha), Universitas Hasanuddin (1.000 ha), proyek militer, dan resort pariwisata.
Sandy juga menyoroti kriminalisasi terhadap masyarakat adat Desa Watutau yang mencabut patok dan plang milik BBT.
“Pendekatan ini bertentangan dengan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang mengamanatkan penyelesaian konflik agraria tanpa jalur litigasi, apalagi kriminalisasi,” tegasnya.
Selain itu, WALHI menilai BBT tidak transparan dan minim melibatkan publik dalam penyusunan masterplan pemanfaatan lahan, bertentangan dengan Perpres Nomor 62 Tahun 2023 dan Petunjuk Teknis Penataan Akses BPN tahun 2024.
Dari aspek lingkungan, mereka memperingatkan potensi deforestasi, konflik sosial-ekologis, dan kerusakan daya dukung lingkungan akibat perluasan target penguasaan lahan hingga ratusan ribu hektar.
WALHI Sulawesi Tengah mendesak Gubernur Sulteng memastikan BBT menjalankan mandat reforma agraria sejati, menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, melibatkan masyarakat dalam penyusunan kebijakan, serta melakukan audit sosial dan lingkungan oleh Kementerian ATR/BPN.
“Kami menegaskan bahwa redistribusi tanah harus berpihak pada rakyat kecil dan memperbaiki ketimpangan struktural, bukan menjadi legitimasi baru bagi ekspansi investasi skala besar yang mengorbankan ruang hidup masyarakat,” tutup Sandy.
Editor: Yamin


