PALU, CS – Data peta transmigrasi tahun 1993 dan data spasial Badan Pertanahan Nasional (BPN) Donggala yang diterima Satgas Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) Sulawesi Tengah  (Sulteng) mengungkap fakta baru dalam sengkarut agraria antara warga transmigran dan PT Lestari Tani Teladan (PT LTT) di Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa sejumlah lahan, kebun, dan rumah warga yang memiliki sertifikat hak milik (SHM) ternyata masuk dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT LTT, anak perusahaan dari PT Astra Agro Lestari Tbk.

Temuan ini disampaikan dalam pertemuan Satgas PKA Sulteng bersama warga dari empat desa terdampak, Toviora, Polanto Jaya, Minti Makmur, dan Rio Mukti, yang digelar, di sekretariat Satgas PKA Sulteng, Selasa (28/10/2025).

Padahal sehari sebelumnya, saat rapat mediasi di Kantor Bupati Donggala, pihak PT LTT menolak tuduhan warga terkait pencaplokan lahan.

Di Desa Toviora, setidaknya terdapat lima titik lokasi rumah dan kebun warga yang masuk dalam kawasan HGU PT LTT.

Warga bernama Atim (66) menuturkan memiliki rumah dan lahan seluas satu hektar dengan SHM sejak tahun 2000, yang kini termasuk dalam kawasan HGU perusahaan.

Pengecekan koordinat melalui peta BPN Donggala dan citra satelit mengonfirmasi posisi tanah tersebut berada di area HGU nomor 05.

“Saya punya sertifikat sah. Tapi tiba-tiba tanah saya masuk kawasan perusahaan,” ujarnya.

Selain Atim, warga lain juga mengaku mengalami hal serupa, termasuk lahan pertanian, rumah warga, dan satu unit SD Inpres Toviora yang tercatat berada di dalam wilayah konsesi perusahaan.

Di Desa Minti Makmur, Sekretaris Desa Sutikno melaporkan bahwa tujuh bidang tanah bersertifikat milik warga sejak 1994 dicaplok dan ditanami sawit oleh PT LTT. Lahan tersebut sebelumnya ditanami kakao dan durian.

Akibatnya, warga tidak bisa memanen hasil kebun selama 31 tahun, dengan estimasi kerugian mencapai lebih dari Rp13 miliar. Konflik yang terjadi sejak awal 2000-an bahkan kerap berujung intimidasi.

“Sejak 1994 sawit kami tak bisa dipanen. Tiap kali protes, perusahaan tidak mau berunding, malah menyarankan jalur hukum,” ujarnya.

Kepala Desa Minti Makmur, Kasmudin, mengaku pernah dipenjara empat bulan setelah memimpin aksi protes pada 2004.

“Istri saya bahkan pernah diculik dan disiksa karena menolak lahan kami diambil,” katanya di depan Satgas PKA.

Sementara itu, di Desa Polanto Jaya, perusahaan disebut menguasai 256 hektar lahan transmigrasi bersertifikat sejak 1991, atau tiga tahun sebelum HGU PT LTT terbit pada 1994. Sekretaris Desa Sigit Satrio menyebutkan, lahan warga tidak bisa digarap atau diagunkan ke bank karena berstatus di dalam HGU.

Modus serupa terjadi di Desa Rio Mukti, di mana 200 hektar lahan transmigrasi yang telah ditanami tanaman jangka panjang juga diklaim perusahaan sebagai bagian HGU, meski peta BPN menunjukkan sebaliknya.

Warga dari empat desa berharap Satgas Penyelesaian Konflik Agraria Sulteng dan Gubernur Sulteng, dapat turun langsung menyelesaikan persoalan ini.

“Harapan terakhir kami hanya pada Satgas dan Gubernur. Kami ingin keadilan dan hak kami dikembalikan,” kata Ridwan, petani asal Desa Toviora.

Editor: Yamin