PALU, CS – Akademisi Universitas Tadulako (Untad) Palu, Ruslan Husen, menyebut aktivitas pertambangan di Sulawesi Tengah, baik yang berstatus legal maupun ilegal, tidak lepas dari praktik pembekingan oleh oknum Aparat Penegak Hukum (APH).

Pernyataan tersebut disampaikan Ruslan saat menjadi pemateri dialog publik bertema “Sulteng Darurat Tambang, Masyarakat Butuh Kepastian Kapan Berakhirnya Ilegal Mining Sulawesi Tengah?” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palu di Palu Golden Hotel, Jalan Raden Saleh, Rabu (17/17/2025) malam.

Ruslan mengungkapkan bahwa kuatnya jaringan pembekingan membuat upaya penindakan terhadap aktivitas pertambangan bermasalah sulit dilakukan.

Ia menyebut adanya keterlibatan aparat dengan pangkat tinggi sehingga aparat di tingkat bawah tidak berani bertindak.

Ruslan menjelaskan, terdapat tiga indikator utama pertambangan ilegal, yakni tidak memiliki izin, melanggar ketentuan hukum, dan menimbulkan kerusakan lingkungan.

Menurutnya, kepemilikan dokumen perizinan tidak serta-merta melegalkan aktivitas pertambangan apabila praktik di lapangan tetap melanggar aturan.

Ia mencontohkan kasus di Kabupaten Parigi Moutong, di mana hasil klarifikasi dengan Dinas Lingkungan Hidup setempat menyebutkan tidak ada aktivitas pertambangan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya kegiatan tambang lengkap dengan alat berat.

“Praktik kucing-kucingan ini terus terjadi hingga sekarang. Pengawasan seolah terjalin karena semua mendapat setoran. Meski sulit dibuktikan secara hukum, hal ini sudah menjadi pengetahuan umum di masyarakat,” ujarnya.

Ruslan juga menyinggung keberadaan koperasi yang mengantongi Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di Parigi Moutong. Ia menilai aktivitas tersebut tetap tergolong ilegal karena Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) belum ditetapkan dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), serta belum dilengkapi dokumen teknis seperti rencana tambang dan pascatambang.

Menurut Ruslan, pertambangan ilegal berpotensi besar merusak lingkungan karena tidak didahului perencanaan mitigasi dan pengelolaan lingkungan, melainkan semata berorientasi pada keuntungan ekonomi.

Ia menekankan bahwa meskipun kewenangan perizinan daerah dibatasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah daerah masih memiliki ruang bertindak melalui Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ruslan menegaskan bahwa penegakan hukum tidak bisa hanya dibebankan kepada aparat penegak hukum. Partisipasi aktif masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi mahasiswa dinilai penting untuk mengawal proses pengawasan.

“Diskusi publik, konsolidasi, dialog, hingga aksi penyampaian pendapat merupakan bagian dari kontrol sosial,” katanya.

Sementara itu, narasumber lain, Bupati Sigi dua periode 2014–2024, Moh. Irwan Lapatta, menilai persoalan tambang ilegal di Sulawesi Tengah sejatinya telah memiliki sistem tata kelola yang jelas secara normatif, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah. Namun, realitas di lapangan menunjukkan lemahnya penegakan hukum.

Irwan mengungkapkan dampak serius pertambangan emas ilegal di sejumlah wilayah seperti Buol, Tolitoli, Poso, Parigi Moutong, hingga sekitar Kota Palu. Di wilayah Donggi-Donggi, Poso, aktivitas tambang disebut telah mencemari sungai dengan limbah berbahaya, termasuk sianida, yang mengalir hingga ke wilayah hilir.

“Ini bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi ancaman serius bagi kesehatan dan keselamatan generasi mendatang,” ujarnya.

Irwan mencontohkan tragedi Minamata di Jepang sebagai peringatan dampak jangka panjang pencemaran logam berat dan bahan kimia beracun. Ia khawatir indikasi serupa mulai muncul di wilayah pesisir dan perairan Sulawesi Tengah akibat akumulasi limbah tambang.

Menurut Irwan, Undang-Undang Lingkungan Hidup telah mengatur sanksi pidana tegas terhadap perusakan lingkungan, termasuk di kawasan konservasi dan hutan lindung. Namun, lemahnya political will pemerintah membuat banyak kasus tambang ilegal tidak dituntaskan meski bukti di lapangan sangat jelas.

“Tanpa keberanian politik, undang-undang hanya menjadi simbol tanpa daya paksa,” tegasnya.

Irwan menambahkan bahwa dialog publik tersebut tidak berhenti pada diskusi semata, melainkan menghasilkan rekomendasi yang akan diserahkan kepada Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, sebagai bentuk desakan penyelesaian persoalan tambang ilegal di daerah tersebut. *