Al Habib Idrus Bin Salim Al Jufrie, Ulama Palu Selamatkan Kami Dari Perompak Filipina

Ilustrasi Kelompok Pimpinan Abu Sayyaf di Filipina. (FOTO : IST)

Dikisahkan oleh Kapten Kapal, H. Anis H. Ali Hubaib

Sekira tahun 1992, saya melabuhkan kapal di Palu dalam pelayaran hendak ke Moutong. Di Palu saya singgah menemui kedua orang tua saya, yang kebetulan ayah saya adalah seorang tokoh agama di Desa Kalukubula, H Ali Hubaib (kakak dari Syakir Hubaib). Seusai bersua beberapa hari dengan ayah yang sering saya sapa “Aba”. Aba saya bertanya, “Apakah di kapalmu terdapat foto Guru Tua (Al Habib Idrus Bin Salim Al Jufri)?”.

Bacaan Lainnya

Saya yang lama hidup dan bersekolah di sekolah Kristen Manado ini menjawabnya, “Saya tidak pernah punya.”

Mendengar itu, Aba pun mengantarkan sekaligus melepaskan saya berlayar. Aba lalu masuk ke kapal memasang kalender Guru Tua di kamar saya, tepat di bawah cermin, berhadapan dengan pintu masuk kamar kapten.

Tiga tahun berselang, sekira tahun 1995, Saya bersama anak buah saya berlayar dari Surabaya ke Sandakan. Ketika pergi ke Sandakan, tidak ada hambatan sama sekali. Namun ketika pulang di jalur masuk perbatasan Malaysia Filipina terjadi sesuatu yang tidak terduga.

Sekitar Subuh, saat cahaya mulai terang anak buah saya melaporkan ada kapal penjual ikan mendekat. Di depannya ada seorang wanita yang mengangkat-angkat ikan. Saya pun menarik hendel memelankan kapal dan naik ke atas kapal melihat penjual ikan itu. Tapi saya heran, kapal ikan ini kok kapalnya bagus.

Setelah saya sampai di atas, perempuan tadi sudah tidak ada, berganti dengan tiga orang pria tua yang bergerak cepat naik ke atas. Mereka adalah perompak. Salah seorang dari perompak itu mendongkan senjata laras panjang ke leher saya.

Perompak Filipina memang dikenal sangat kejam. Karena di Asia perompak kejam itu di selat Malaka dan Selat Bangka karena jalur itu dilalui banyak negara. Kita semua selalu diwanti-wanti bila lewat jalur perbatasan Filipina harus mematikan lampu, tapi apa gunanya mematikan lampu, sebab alat komunikasi di laut adalah memakai radar.

Jarak 40 KM sudah terbaca oleh masing-masing kapal. Mereka datang dengan senjata lengkap, apabila kita melawan mereka tidak segan membunuh kita.

Setelah mereka bertanya siapa nakhoda, sayapun mengaku, saya diperintahkan dengan bahasa Melayu terbata-bata untuk memberikan komando agar semua anak buah saya diam di tempat dan tak ada yang bergerak. Saya menyerah, karena keadaan memang sangat genting dan sulit untuk melawan walaupun perompak ini berusia lanjut. Apalagi di kapal perompak yang jaraknya kira-kira 50 meter seorang anggota mereka berdiri mengarahkan basoka rudal ke kapal kami.

Baca Juga :  Satu Keluarga Bagikan 100 Porsi Makanan Gratis Tiap Hari

Dua orang perompak lainnya merusak semua alat komunikasi dengan clurit dan pisau komando. Menunjukkan bahwa para perompak ini memang sangat professional. Lalu kemudian para perompak menyuruh semua anak buah kami mengangkut semua barang termasuk barang elektronik, kulkas, televisi bahkan lampu kapal.

Di saat perompak turun ke bawah terdengar suara gaduh. Seperti suara pukulan dan teriakan. Rupanya mualim satu saya bernama Marten dipaksa untuk membuka kamar saya. Namun Marten kukuh tidak mau membuka sebab itu adalah kamar kapten. Dia bilang, “Ini kamar kapten, saya tidak berani!”

Akhirnya dia dihajar sampai babak belur oleh perompak. Lalu para perompak ini memaksa masuk dengan menendang pintu itu. Tapi apa yang terjadi, terdengar kembali suara ribut-ribut di bawah, seperti sedang terjadi perdebatan antara mereka.

Saat ditodong, perompak di bawah memberikan isyarat kepada penodong kami untuk turun. Saya mendengar mereka berdebat, tapi tiba-tiba saja mereka pergi menyelesaikan aksi mereka dan kabur ketakutan. Setelah perompak pergi saya langsung memerintah kru saya mengecek ke sekeliling kapal dan melihat kembali apakah perompak itu masih ada.

Setelah aman saya menyuruh mereka semua berkumpul di atas. Saat semua berkumpul, ternyata satu orang tidak naik ke kapal yaitu Marten. Rupanya Marten masih ada di bawah tepat terduduk lemas di depan pintu kamar saya.

Saya lalu turun melihat Marten, saya dapati dia sedang bersedih. Kemudian saya tenangkan dia saya berikan minum. Dia tidak mau beranjak, dia hanya menangis, menatap ke saya lalu menatap ke kamar. Begitu seterusnya. Dia bilang “Kap, boleh saya masuk ke kamar?”

Karena dia sudah dipukuli, saya izinkan dia masuk ke kamar dengan kondisi yang masih bersedih. Lalu saya tinggalkan dia sendiri di sana. Lama saya tinggalkan, saya masuk kamar lagi. Saya tanya kenapa dia bersedih, dia mengaku tidak apa-apa.

Baca Juga :  Kisah Inspiratif Karamah Guru Tua Meredam "Amarah" Gelombang Tsunami di Teluk Palu
Al Habib Idrus Bin Salim Al Jufrie (Guru Tua) bersama murid-muridnya di Palu (FOTO : IST)

Marten bertanya lagi kepada saya, “Maaf, Kap yang di foto di kalender ini siapa?”. Saya jawab, ‘Ini foto ulama di Palu”.

“Orangnya di mana?” tanyanya lagi”.

Beliau sudah lama meninggal,” jawab saya.

Dia bilang lagi, “boleh saya minta”. Saya tertawa, saya heran dan katakan ke Marten “Apa urusannya? Kamu bukan muslim, ini tokoh agama kami”.

Tanpa alasan dia mendesak meminta foto itu. Karena kasihan melihat dan terus melihat dia memelas, saya pun memberikannya. Saya membuka lakban foto itu. Tak lama kemudian Marten akhirnya mengaku. Ia melihat hal yang aneh dengan foto itu.

Sebelum menceritakan itu, dia kembali menangis. Karena rasa iba, saya memberi kesempatan dia menangis. Lalu dia membuka cerita,

“Kapten tau tidak kenapa kita bebas?”

“Kenapa?” tanya saya.

“Tadi mereka berdebat begitu membuka pintu kamar itu. Mereka bilang mereka salah naik kapal, karena mereka bilang orang di foto ini panglima perang mereka,” ungkap Marten.

Mendengar itu saya marah, sebab tokoh itu adalah ulama Islam bukan dari agama para perompak tadi, apalagi disebut panglima perang mereka sedangkan beliau bukan seorang militer. Lebih-lebih lagi beliau sudah lama meninggal dunia.

Tapi Marten juga berkeras, dia yakini isi perdebatan para perompak memang seperti itu, karena dia tahu bahasa Tagalog (bahasa Filipina), sebab dia sempat lama bekerja di Filipina. Tak mau berdebat, saya pun tetap memberikan foto itu kepada Marten.

Tiba di Surabaya, Marten turun dan meminta izin tak lagi bersama para kru, dia ingin mengikuti keluarganya dan sekolah di Surabaya. Saya mengizinkannya dan berpikir ada baiknya Marten sekolah pelayaran di Surabaya dengan begitu dia pasti jadi nahkoda.

MARTEN DITUNJUKKAN KARAMAH, JADI MUALAF.

Sekitar dua tahun kemudian, Marten rupanya sudah menjadi nahkoda. Hal itu saya ketahui saat mengikuti kegiatan di pelabuhan Tanjung Priok. Saat itu hari Jumat. Selesai shalat Jumat di masjid, saya bersama rekan-rekan bercengkerama di beranda masjid.

Dan rupanya, Marten menghampiri kami dan menyapa saya. Karena lama tak berjumpa, apalagi dia teman saya di SMA, kami lalu berpelukan. Tapi tiba-tiba saya tersadar, bahwa pertemuan kami ini di masjid. Saya memandang heran ke Marten, sementara Marten hanya tersenyum.

Baca Juga :  Jejak Demokrasi di Ujung Langit

“Kenapa Kap, kapten heran? Saya tahu di pikiran kapten,” tanya Marten dengan tersenyum.

Marten membisikan kepada saya, dia dan keluarganya sudah masuk Islam. Saya membawa Marten ke sudut masjid membicarakan perubahan apa yang terjadi padanya.

Sesampainya di sudut, dia menceritakan kenapa masuk Islam. Rupanya foto kalender yang diberikan pada kejadian itulah yang menjadi wasilah baginya masuk Islam.

Marten mengisahkan, saat foto itu dibawanya ke rumah, ia menceritakan kejadian perompakan itu kepada istrinya. Percaya akan kejadian ini keluarga itu sepakat memesan foto Guru Tua dari Palu. Foto Guru Tua pun mereka gantung di rumah mereka meskipun mereka beragama Nasrani.

Sama dengan saya, dia memasang foto kalender yang saya berikan itu di kamar berhadapan dengan pintu masuk ke kamarnya.

Saat Marten berlayar, telah menjadi Nahkoda, dia mengalami kejadian yang hampir serupa dengan peristiwa perompakan silam. Saat itu Kapal yang dipimpin Marten dicurigai oleh pihak aparat Kastam Singapura. Kapal digeledah karena dicurigai membawa narkoba. Itupun hanya sebab seorang kru kapal didapati merokok di luar ambang batas sesuai peraturan Kastam di Singapura.

Karena tidak menemukan barang bukti apapun, aparat Kastam melibatkan dua anjing pelacak masuk ke kapal. Sesampainya di kamar, saat pintu dibuka oleh Marten tiba-tiba anjing pelacak tidak mau masuk ke kamarnya. Bahkan sekalipun dipaksa anjing itu tetap tampak ketakutan. Ekornya sampai-sampai-sampai masuk ke dalam selangkangannya. Polisi pun heran dan bertanya siapa orang yang di foto itu, lalu kemudian di jelaskan oleh Marten sebagaimana keterangan saya tempo lalu. Martin bertambah takjub.

 

Saat menceritakan Marten mengulang-ulang, “Ngana dapa itu, so itu ngana!” sambil tertawa.

Ketika pulang Marten menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Rupa-rupanya istri dan anak-anaknya mendapatkan kejadian yang tak kalah aneh saat di rumah. Mereka sama-sama bermimpi, sosok yang di foto itu selalu datang ke mereka membawa air minum segar kepada Marten.

Dari kejadian itu, mereka sekeluarga masuk Islam di salah satu masjid di Jakarta dan mengubah namanya menjadi Malik. Saat mengislamkan mereka, rupanya imamnya juga tahu tentang keulamaan Guru Tua.**

Sumber Media Alkhairaat

 

Pos terkait