Palu, ChanneSulawesi.id – Negara Jepang dan juga Indonesia  terletak di salah satu zona gempa bumi paling aktif di dunia yakni Cincin Api Pasifik. Hal ini menyebabkan jepang dan Indonesia berkali-kali mengalami kehancuran. 28 september 2019, Kota Palu mengalami bencana gempa bumi, likuifaksi dan tsunami karena goncangan yang diperkirakan lebih dari 7.4 SR. bencana ini menghentak dunia sehingga berbondong-bondong para peneliti datang melihat apa yang terjadi. Bencana ini mengakibatkan ribuan rumah hancur dan ribuan korban jiwa.  Hal serupa bahkan  baru-baru ini terjadi di daerah Fukushima, Jepang. Gempa bumi berkekuatan 7,3 skala Richter terjadi pada Sabtu, 13 Februari 2021 pukul 23:07 wilayah setempat, dan melanda pantai timur Jepang. Hampir sekitar 950 ribu rumah rusak namun dinyatakan tidak ada korban jiwa.

Tidak sekali dua kali Jepang mengalami gempa bumi yang dasyat, bahkan bencana Kobe pada 17 January 1995 menjadi bencana terburuk karena kota dengan penduduk yang sangat padat itu  kehilangan lebih dari 6000 jiwa. Hebatnya Jepang tidak pernah berhenti membangun dan penduduknya tidak pernah lari meninggalkan Jepang karena putus asa. Justru keadaan pahit itu membuat mereka berdamai dengan gempa bumi dan sekuat tenaga membangun system untuk tetap bertahan hidup ditengah gempa. Generasi anak-anak Jepang pasca-gempa Kobe 1995 akrab dengan latihan mitigasi bencana gempa bumi. Program mitigasi gempa bumi di Jepang kemudian membuahkan ketenangan luar biasa di kalangan anak-anak hingga orang dewasa tiap kali bumi mulai bergetar.

Jepang tidak pernah gentar dengan gempa bumi. Dengan kesadaran penuh akan keadaan geografisnya Jepang kemudian menerapkan aturan agar semua bangunan yang akan dibangun harus mengkuti aturan yang ditetapkan pemerintah. Bangunan yang dibuat harus memenuhi dua syarat yaitu bangunan dijamin tidak akan runtuh karena gempa bumi dalam 100 tahun kedepan dan dijamin tidak akan rusak dalam 10 tahun pembangunan. Semua handphone di Jepang memiliki sistem peringatan gempa/tsunami yang dipasang. Sistem ini akan memberi peringatan sekitar 5 hingga 10 detik sebelum bencana terjadi, peringatan juga akan memberi tambahan waktu untuk melarikan diri ke tempat aman atau berlindung. Sedangkan di pesisir lebih mungkin menimbulkan tsunami, Jepang membangun sistem peringatan sekitar 5-10 menit sebelum tsunami datang. Itulah Jepang negara maju dengan kecanggihan teknologinya menghadapi gempa bumi.

Bagaimana dengan Indonesia? Rasanya Indonesia masih jauh dari kata berdamai dengan gempa apalagi kesiapan menghadapi bencana disejajarkan dengan Jepang. Namun sebagai bangsa seharusnya kita mau tidak mau berupaya untuk menciptakan system supaya kita dapat hidup berdampingan dengan gempa bumi. Mencontek Jepang mungkin salah satu langkah yang lebih mudah untuk dilakukan dimulai dari menerapkan mitigasi bencana kepada anak-anak di sekolah sekolah.

Baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan memberi pernyataan terkait penanggulan bencana. Berkaca dari bencana pergeseran tanah atau likuifaksi parah 2019 silam Luhut meminta tidak ada lagi pembangunan infrastruktur di Kota Palu karena tanah yang tidak stabil. Pernyataan Luhut ini sungguh meresahkan warga Palu dan merupakan pernyataan yang tidak masuk akal. Jika tidak membangun merupakan solusi bagi Palu bagaimana kota Palu 10 atau 20 tahun kedepan? Bukankah Palu akan menjadi kota yang tertinggal bahkan menjadi kota mati?

Tidak pak, kami tidak mau berhenti. Kami harus terus berjuang demi anak cucu kami disini. Palu bisa belajar dari Jepang. Likuifaksi di 2 daerah kota Palu tidak boleh membuat kota Palu berhenti membangun. Lihatlah Jepang, cina, iran dan Turki yang rentan dengan gempa tetapi tidak ada satu kalimatpun yang mengatakan untuk berhenti membangun. Bahkan Belanda, kota yang sepertiga wilayahnya terletak di bawah permukaan air laut dengan titik terendahnya adalah 6,7 meter di bawah permukaan air laut. Belanda berhasil hidup berdamai dengan air disekelilingnya dan menjadi peringkat 10 negara maju didunia. Mereka tidak pernah berhenti membangun.

Seharusnya, justru kami dibantu dengan solusi-solusi inovatif agar kami bisa tetap maju ditengah himpitan gempa. Anak-anak kami harus mendapat prioritas beasiswa ke Jepang dalam rangka belajar untuk  menanggulangi bencana. Jangan biarkan generasi muda di kota Palu putus asa dan pergi meninggalkan Palu lantaran kami tidak boleh membangun.