Geliat Kebijakan Cerdas di Kota Gudeg; Study Komparasi Komisi A DPRD Kota Palu

Komisi A DPRD Kota Palu saat study Komparasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. (FOTO : IST)

Tiga praktek cerdas kebijakan yang responsif gender dan Inklusif, Pembelajaran di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selalu saja menghadirkan banyak hal yang menarik. Selain Kota ini disebut sebagai Kota Pendidikan dan Kota wisata. Ada banyak wejangan kuliner enak dan terjangkau harganya serta keramahan masyarakatnya, selalu membuat kangen untuk kembali lagi menikmati kota ini yang dikenal dengan  “Kota Gudeg”.

Bacaan Lainnya

Namun, tentunya hal ini tidak hadir begitu saja tanpa intervensi kebijakan Pemerintah Daerah. Seperti contoh stimulasi harga produk batik dan makanan hampir sama, sehingga tak ada dominasi pasar. Penguatan ekonominya tumbuh bersama dengan melibatkan multipihak pemerintah dan pihak swasta. Hal ini juga, dikoneksi dengan kebijakan dan program lainnya yang sangat berkontribusi kepada peningkatan kualitas layanan untuk menunjang peningkatan kepariwisataan dan pendidikan. Apalagi secara kearifan lokal “local wisdom”, Kota Yogyakarta dikenal sebagai Kota tua yang memiliki sejarah kerajaan, dalam kepemimpinan seorang Sri Sultan Hamingkubono.

Mendudukkan Kota ini akan terus menjadi kota yang ramah bagi siapapun tidak lepas dari cara pandang, pengetahuan dan kapasitas kepemimpinan pemerintah daerah di dalamnya. salah satunya, bagaimana isu kesetaraan dan keadilan gender serta inklusi harus menjadi kewajiban. Dan ini telah di praktekan oleh beberapa daerah di propinsi DIY, di antaranya praktek cerdas Pemerintah Kota Yogyakarta melalui program “Gandeng Gendong” dan Inklusif, dan Kabupaten Sleman yang berhasil merealisasikan Pengarusutamaan Gender dalam Perencanaan dan Penganggaran.

Dalam Study Komparasi 2 daerah yang dilaksanakan oleh Komisi A DPRD Kota Palu, menemukan 3 inovasi menarik yang menjadi pembelajaran atau “lesson learned” agar bisa di replikasi di Kota Palu.

Pertama, Inovasi “Gandeng Gendong”, strategi pengentasan kemiskinan melalui gerakan pemberdayaan di Kota Yogyakarta.

Kata “Gandeng Gendong” menjadi jargon khas Pemerintah Kota Yogyakarta yang memiliki arti kuat merangkul yang lemah, yang terpinggirkan kita tarik ke tengah agar bisa berjalan bersama, atau dengan sebutan gerakan pemberdayaan masyarakat secara gotong royong. Sebuah inovasi yang menarik dalam mempercepat penurunan angka kemiskinan berbasis pada pemberdayaan.

Seperti mengutip dari pernyataan Walikota Yogyakarta, Pak Heroe Poerwadi, “Kekuatan akan muncul jika semua unsur masyarakat dalam kebersamaan”.  Kekuatan yang dimaksud adalah dukungan kebijakan dan insentif permodalan. Dan dalam pelaksanaannya, pemkot bersinergi dengan kampus , pihak swasta “korporate”, kampung (basis kelurahan) dan komunitas (warga dan relawan).

Model pendekatan ini di namai dengan 5 K yaitu Kota, kampus, korporate, Kampung dan Komunitas. Alhasil, selama tiga tahun terakhir, pemkot berhasil menekan angka kemiskinan sebesar 6,84 persen pada tahun 2019 dan 6.98 persen pada 2018, dimana sebelumnya angka kemiskinan pada tahun 2017 yaitu persentase penduduk miskin 7,64 persen.

Artinya keberhasilan pemkot dalam menekan angka kemiskinan sangat luar biasa. seperti contoh kongkret di Kawasan Bendung Lepen Mricon, yang sebelumnya dikenal sebagai kawasan kumuh, melalui inovasi “Gandeng Gendong” dapat merubah kawasan tersebut menjadi pemukiman yang bersih, sehat, dan produktif dengan ruang terbuka yang bisa dijadikan sebagai tempat berwisata dan taman edukasi.

Selain itu, affirmasi khusus untuk pemberdayaan perempuan dalam peningkatan ekonomi keluarga dapat terfasilitasi melalui inovasi gandeng gendong. Karena hampir sebagian besar, perempuan memiliki andil kuat dalam merealisasinya dengan kekuatan gotong royong dimana yang memiliki modal akan memfasilitasi anggota kelompok lainnya yang tidak mempunyai modal. Bagian lain dari gerakan komunitas untuk pemberdayaan adalah terbentuknya beberapa forum komunitas dalam

Komitmen pemkot Yogya lainnya dalam mengkoneksi pemberdayaan dengan kebijakan adalah hampir sebesar 15 Miliar tahun 2019 dan sekitar 400 Miliar tahun 2020, anggaran makan minum perjamuan dinasnya di kerjasamakan sebagian besar ke kelompok UMKM, yang sebelumnya dengan hotel dan restoran. Inilah yang disebut dengan kebijakan yang responsif dan berkeadilan, dan Visi Misi walikota Yogyakarta dalam konsep smart city pada dimensi smart society, merupakan tindakan konkret melalui inovasi gandeng gendong.

Kedua, inovasi Kota Yogyakarta Sebagai Kota Inklusi “Jaminan pemenuhan dan Perlindungan bagi Penyandang Disabiltas”

“Alhamdulillah, Kota Yogyakarta telah mempunyai Peraturan Daerah No. 4 tahun 2019 tentang Pemajuan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak – hak Penyandang Disbailitas. Dan melalui perda ini, hampir semua menjadi Kemantren Inklusif”, begitu ungkap ibu Lilis (Kabid Rehabilitas Sosial, Dinsos) saat kami berdiskusi di sebuah ruang rapat kantor Dinsos Kota Yogyakarta.

istilah “Inklusi” menjadi jargon perjuangan bagi penyandang disabilitas dan para penggiat hak – hak penyandang disabilitas yang selama ini masih terabaikan dalam berbagai program dan kebijakan, baik akses maupun partisipasi dan pendekatan program. Sesungguhnya perjuangan untuk jaminan perlindungan dan pemenuhan hak – hak penyandang disabilitas, itu tidak mengeklusifkan mereka seakan berbeda dengan warga lainnya, namun kemudahan akses atau akomodasi kepada penyandang disabilitas  diberikan secara baik tanpa diskriminasi. Maka, ketika perjuangan untuk mewujudkan Kota yang inklusi, membutuhkan sebuah komitmen politik yang kuat oleh para pemangku kebijakan, yaitu menjadikan Kota idaman bagi semua warga dalam relasi sosial dan ekonomi dalam kehidupan sehari hari tanpa adanya diskriminasi, dan inilah disebut dengan Kota yang berkeadilan dan setara. Diantaranya bagi penyandang disabilitas.

Baca Juga :  DPRD Palu Akan "Seruduk" Perusahaan Pengeruk Emas di Poboya, Ada Apa ?

Praktek kebijakan ini, telah di realisasikan oleh Pemkot yogyakarta sejak tahun 2016 dan saat ini pemkot telah menjaminkan dalam sebuah regulasi daerah yaitu Perda No. 4 tahun 2019 tentang Pemajuan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak – hak   Penyandang Disbailitas, yang diperkuat dengan adanya Surat Keputusan Walikota Yogyakarta No. 234 tahun 2019 tentang Pembentukan Pengurus Komite  Perlindungan dan Pemenuhan Hak – hak Penyandang Disbailitas Kota Yogyakarta Periode 2019 – 2021 dan Surat keputusan Kepala Dinas Sosial Kota Yogyakarta No. 194 tahun 2019 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak – hak Penyandang Disabiitas Kota Yogyakarta Tahun 2019. Alhasil dari kebijakan Pemkot Yogyakarta tersebut,telah merealisasikan kecamatan inklusi di 14 kecamatan dengan tahapan program :

  1. Melakukan bimtek penumbuhan kecamatan inklusi,
  2. Pembentukan Komite.
  3. Pembentukan Forum Kecamatan Inklusi.
  4. Musrenbang tematik khusus lansia, disabilitas dan kemiskinan.
  5. Program jaminan hidup untuk penyandang disabilitas melalui program rehabilitasi sosial penyandang disabilitas.

Selain implementasi kebijakan Kecamatan Inklusi, beberapa hal pemenuhan hak penyandang disabilitas diatur secara detail baik dalam pemenuhan hak sebagai warga negara secara ekonomi, sosial dan budaya yang dibagi atas beberapa bagian yaitu 1). Keadilan dan perlindungan hukum, 2). Pendidikan, 3). Pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi, 4). Kesehatan, 5). Politik, 6). Keagamaan, 7). Keolahragaan, 8). Pariwisata dan seni budaya, dan 9). Kesejahteraan sosial.

Selain itu pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas juga diatur secara detail dalam hal pembangunan Infrastruktur yang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas mulai dari tahap perencanaan, konstruksi dan pengawasan. Begitu pula dalam pelayanan publik, termasuk bagaimana hak Habilitasi dan rehabilitasi, Konsesi, Pendataan, dan hak atas Komunikasi dan informasi.

Selain pemenuhan hak tersebut diatas, Perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas dari bencana, Perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, dan Perlindungan dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan dan eksploitasi, telah diatur secara detail dalam regulasi daerah dengan memastikan bagiamana hak keadilan terhadap korban terpenuhi.

Untuk memastikan bagaimana ruang lingkup dalam regulasi daerah bisa terealisasi dengan baik, Pemkot Yogyakarta menyusun roadmap kebijakan tersebut dalam bentuk Rencana Aksi Daerah (RAD) yang akan dituangkan dalam Peraturan Walikota. Dan membentuk Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas yang tertuang dalam Keputusn Walikota dan SK Kepala Dinsos dengan membentuk  lima Kelompok Kerja (PokJa) yaitu PokJa Kesejahteraan Sosial, PokJa Pendidikan, Pokja Advokasi dan Mediasi, PokJa Sarana dan Prasarana, dan PokJa Kesehatan, disertai dengan fungsi dan tugas dalam setiap PokJa tersebut.

Ketua Komisi A DPRD Kota Palu, Mutmainah Korona. (FOTO : IST)

Ketiga, Inovasi System Kebijakan Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Sleman

Presentase oleh Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kab. Sleman mengenai beberapa program menarik dan inovatif yang memastikan Pengarusutamaan Gender dan affirmasi kebijakan bagi perempuan, anak dan penyandang disabilitas membuat kami begitu terkagum kuat seperti ingin menetap di daerah ini dan menjadi warga Sleman karena bisa merasakan sentuhan pemerintah yang begitu luar biasa.

Apakah layanan dan infrastruktur yang ramah untuk semua warga serta program pemberdayaan yang memberikan affirmasi khusus bagi perempuan, anak dan penyandang disabilitas. Tentunya ini tidak mudah, karena kekuatan kebijakan yang berhasil di gerakan oleh pemerintah kabupaten Sleman itu tidak lepas dari mainstream atau prespektif kepemimpinan secara berjenjang. Alhasil, Kab Sleman mendapat predikat tertinggi di Indonesia dalam penilaian Anugrah Parahita Ekapraya (APE) sebagai kategori mentor.

Sebuah apresiasi Pemerintah atas komitmen dan peran Kementerian/Lembaga, dan pemerintah daerah yang telah berupaya dan berkomitmen melaksanakan pembangunan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalui strategi pengarusutamaan gender (PUG). Selain itu, beberapa penghargaan lainnya pun diraih seperti Kabupaten Layak Anak Tingkat Nindya, Penghargaan Ruang Bermain Ramah Anak, Pembina Forum Anak Terbaik dan Piagam penghargaan atas komitmen dalam penyelesaian Perlindungan Anak dan Melaporkan berbasis SIMEP.

Beberapa penghargaan tersebut diatas, memang layak di peroleh Pemkab Sleman dengan beberapa kebijakan dan program yang kongkret seperti memastikan pembangunan infrastruktur lebih responsif gender, bagiamana gedung dan ruang yang menjangkau kebutuhan bagi kelompok rentan khususnya bagi perempuan, anak, lansia dan penyandang disabilitas.

Di bidang pendidikan, melalui tagline “sekolah yang menyenangkan”, “Sekolah Inklusi”, adalah sekolah yang ramah anak, dan aksesbilitas untuk anak penyandang disabilitas. Begitu pula dalam bidang kesehatan, beberapa inovasi program yang responsif gender berupa : Puskesmas Santun Lansia, Puskesmas Ramah Anak, dan Puskesmas Sayang Bayi, dan lainnya.

Dalam respon bencana alam, setiap 4 tahun sekali “Posko Perlindungan Perempuan dan Anak” menjadi program wajib setiap bencana erupsi dan vulkanik Merapi, dengan menyediakan Rumah Aman disetiap wilayah sentral terjadinya bencana alam. Hal ini telah biasa dilakukan oleh Pemkab karena Pengarusutamaan Gender dalam Penanggulangan Bencana Alam telah terealisasi sejak tahun 2006, apalagi paska bencana alam vulkanik tahun 2010 memberi perhatian khusus bagi kelompok rentan. Di sekolah pun, ada namanya “Sekolah Siaga Bencana”.

Baca Juga :  DPRD Palu dan Pemkot Setujui Ranperda P3HA

Pelibatan parapihak pun menjadi inovasi pemkab Sleman, yaitu dengan mengkoneksi para pengusaha untuk terlibat dalam mendukung program pemerintah. seperti contoh, membentuk Assosiasi Pengusaha Harapan Anak, dalam bentuk program CSR secara langsung kepada kelompok penerima manfaat.  Salah satu bentuk programnya yaitu penyediaan ruang menyusui, ruang bermain anak dan donor darah oleh pengusaha, selain bantuan bedah rumah dan beasiswa anak oleh BPD, Bank Sleman dan Baznas. Peran Perguruan Tinggi dan Organisasi Non Pemerintah pun sangat luar biasa dalam mendukung PUG di Kab. Sleman. Bentuk dukungan berupa penguatan kapasitas dan pendampingan intens.

Dari berbagai inovasi program yang responsif gender di Kab. Sleman, tentunya ada tujuh prasyarat pelaksaaan PUG yang harus di miliki yaitu :

Pertama, komitmen politik berupa visi -misi, Perda, Perbub dan Surat Edaran sebagai acuan utama. Beberapa contoh komitmen Perda dan Perbub yaitu Perda No. 1/2021 tentang Penyelenggaraan PUG, Perda No. 10/2020 tentang Penyelenggaran Perlindungan Anak, Perda No. 16/2019 tentang Pembinaan dan Ketahanan Keluarga, Perda No. 1/2018 tentang. Penyelenggaraan Perlindungan dan Pemenuhan Hak – hak Penyandang Disabilitas, Perda No. 1/2017 tentang Penanggulangan Kemiskinan, Perda No. 2/2017 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, Perda No. 4/2017 tentang Pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Perbub No. 45/2020 tentang Jam rumah/jam istirahat anak, Perbub No. 52/2019 tentang RAD PUG, dan Perbub No. 12/2018 tentang Kabupaten Layak anak, dan Perbub No. 18/2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Data Gender dan Anak.

Kedua, Kebijakan berupa RPJMD, RKPD, Restra, dan Politik Anggaran sebagai landasan pelaksanaan dan evaluasi program PUG. Bentuk kebijakan tersebut berupa : Perda N. 7/2005 tentang RPJP Kab. Sleman tahun 2005 – 20025, Perbub No. 52/2019 tentang RAD PUG tahun 2019 – 2021, Surat Ka. Bappeda No. 414/2019 perihal perencanaan responsif gender tahun 2019 (setiap OPD membuat 2 kegiatan yang di analisa dengan GAP/GBS), RPJMD, RKPD dan Renstra setiap OPD, Anggaran yang responsif gender yang sudah ditandai oleh SIMRENDA dan dalam tahap evaluasi PPRG dan PUG setiap OPD di evaluasi oleh inspektorat dalam audit program.

Ketiga, memastikan kelembagaan PUG terbentuk secara berjenjang dari tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. Salah satu bentuk kelembagaan seperti Pokja PUG,  Forum PUG sektoral, Forum PUSPA, Komnas Lansia, Gugus Tugas KLA, Satgas RW Ramah Anak, Pokja kampung KB ramah anak dan responsif gender, Sekolah inklusi, sekolah sehat dst.

Keempat, peningkatan kapasitas SDM dan anggaran sangat menentukan bagaimana kebijakan PUG bisa realisasi. Misalnya pelatihan PUG dan PPRG bagi Tim Anggaran Pemerintahaan Daerah (TAPD), Pelatihan PPRG bagi perencana OPD setiap tahun, Pelatihan kepemimpinan bagi organisasi perempuan, Pelatihan PUG bagi instansi vertikal (KUA, Babinsa, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan Agama, Depag), Penyusunan Pedoman RAD PUG tingkat kecamatan dan kelurahan.

Kelima, Penyajian Data, Sistem Informasi dan KIE menjadi basis utama dalam menyusun program. Salah satunya Data terpilah dan data khusus kelompok rentan. semua data tersebut yang digunakan oleh Pemkab Sleman sejak 2018 sampai saat ini adalah SIMDAGENAK (Sistem Data Gender dan Anak). Semua data secara umum secara terpilah tersajikan dalam sistem dan online, termasuk data kelompok rentan misalnya data kemiskinan Kab. Sleman : 8,79 %, dengan pembagian data miskin : 32.888 KK dan data rentan miskin : 119.770 KK. Dan rentan lainnya seperti data lansia, disabilitas, anak secara terpilah perempuan dan laki – laki, ibu hamil, bayi dan stanting serta data korban kekerasan perempuan dan anak.

Keenam, Pedoman dan metode yang di gunakan dalam pelaksanaan kebijakan dan program yang responsif gender adalah berbasis pada analis kesenjangan gender atau disebut “GAP”, PROBA, Analisis SWOT, kalender musim di desa, sketsa desa dan analisis kelembagaan desa, dengan acuan tehnis yang digunakan di banyak daerah lainnya seperti Buku Percepatan Pelaksanaan PUG, Buku pedoman PPRG, Buku Saku penyusunan GAP/GBS, dll.

Ketujuh, dukungan masyarakat secara aktif baik secara kelembagaan maupun personal menjadi salah satu syarat penting menentukan keberhasilan pelaksanaan PUG di Kab. Sleman. Salah satunya adalah peran serta pihak swasta atau pengusaha, selain akademisi dan organisasi non pemerintah. Seperti contoh SK Bupati Sleman tentang Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak, SK Bupati Tim Pelaksana Peningkatan Produktifitas Ekonomi Perempuan, SK terbentuknya Asosiasi Pengusahan Sahabat Anak (APSAI) Kab. Sleman dan kerjasama dengan 65 Lembaga Masyarakat, 22 Perguruan Tinggi dan 33 Perusahaan/Dunia Usaha.

Dari tujuh prasyarat tersebut diatas, koneksi dengan DPRD sebagai bagian strategis Pemkab Sleman adalah program “Sehari Bersama Dewan”. Sebuah kegiatan menarik yang mengajak anak – anak mengunjungi kantor DPRD Kab. Sleman untuk mengenal lebih jauh siapa wakil rakyat mereka, apa yang dikerjakan selama ini ? tugasnya sebagai wakil rakyat dan bagaimana cara memimpin sidang.

Baca Juga :  DPRD Palu Setujui Pembahasan Ranperda LPJ Pelaksanaan APBD Tahun 2020

Pembelajaran Menarik Bagi Pemerintah Kota Palu

Banyak hal menarik yang menjadi pembelajaran terbaik dari praktik cerdas di Kab. Sleman dan Kota Yogyakarta, jika dikoneksikan dengan misi utama pemerintah Kota sebagai KOTA UNTUK KITA SEMUA berbasis pada problem utama sosial masyarakat Kota Palu yaitu. :

  1. Paska Bencana 28 September 2018, jumlah penyintas miskin terus meningkat dan jumlah penyandang disabilitas pun bertambah korban likuifaksi, tsunami dan tektonik. Mereka tidak terdata oleh pemerintah  berdasarkan by name by address. prespektif pemerintah melihat penyintas hanya sebagai objek penerima manfaat dan berbasis huntara. Data yang disajikan pun sangat umum, sehingga kesulitan menganalisa secara terpilah, kesenjangan yg dialami dan siapa kelompok rentan.
  2. Pola pendekatan program yang top-down tanpa melibatkan warga secara aktif dalam perencanaan dan penganggaran mengakibatkan banyak kelompok rentan yang seharusnya mendapat affirmasi kebijakan tapi terabaikan dalam program.
  3. Banyak lembaga donor dan pihak swasta dalam situasi emergency respon dan masa rehabilitasi dan rekonstruksi dalam memberi bantuan pemulihan ekonomi dan penguatan perlindungan bagi kelompok rentan, namun koordinasi dalam pelaksanaan program tidak terkoordinir dengan baik sehingga keberlanjutan program tidak terealisasi.
  4. Lemahnya komitmen kebijakan pemerintah baik dalam dokumen perencanaan anggaran maupun implementasi di lapangan sehingga program yang ada tidak menyelesaikan problem utama warga Kota palu khususnya penyintas dan kelompok rentan.
  5. Tantangan Kota Palu saat ini membangun Kota dari nol, harus di siapkan secara matang dan penuh kehati – hatian sehingga program salah bangun baik dalam pembangunan infratruktur maupun perbaikan kualitas sosial warga harus di rencananya sebaik mungkin dengan pelibatan aktif parapihak yang berbasis analisa, riset, dan kunjungan lapangan serta kumpulan aspirasi warga.

Karena itu, Kebijakan program yang responsif gender dan inklusi merupakan sebuah solusi alternatif dalam memastikan kebutuhan dan kepentingan seluruh warga Kota Palu tanpa diskriminasi bisa terpenuhi. Selagi Kota Palu membangun dari awal, sebaiknya analisis kesenjangan gender harus menjadi salah satu indikator dalam pembangunan. Ada beberapa usulan pembangunan dari pembelajaran menarik di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman yaitu :

  1. Pastikan dokumen RPJMD, RKPD, Renstra setiap OPD sudah memasukan analisa GAP dengan menggunakan indikator IPM, IPG, IDG, Indeks Kemiskinan, Indeks kesejahteraan, Indeks Kebahagian, dan lainnya dan merumuskan target pencapaian indeks tersebut diatas sesuai dengan visi dan misi Walikota Palu
  2. Setiap Kecamatan dan Kelurahan wajib mempunyai masterplan/roadmap pembangunan dengan melampirkan analisa gender dan anak di dalamnya.
  3. Pastikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Palu harus berorientasi pada korban bencana alam, ramah perempuan dan anak.
  4. Lahirkan beberapa kebijakan Perda dan perwali dalam memperkuat program yang responsif gender di Kota Palu Yaitu : Perda PUG, Perda Ketahanan keluarga, Perda pelindungan dan Pemenuhan hak – hak disabilitas, Perwali tentang keluarga miskin, Perwali pencegahan perkawinan pada usia anak, Perwali Kota Layak Anak, Perwali Kecamatan dan Kelurahan Layak Anak, Perwali Pedoman Penyelenggaraan Data Gender dan Anak, Perwali Jam Rumah/jam istirahat anak, Perwali mengatur untuk jaringan pengusaha untuk pemenuhan kebutuhan kelompok rentan.
  5. Dalam evaluasi pelaksanaan program OPD sebaiknya Inspektorat menjadi tim evaluator pelaksanaan PUG dan PPRG Pemkot Palu.
  6. Untuk program pengentasan kemiskinan khususnya bagi penyintas  bencana alam, sebaiknya Pemkot menggandeng pihak swasta sebagai mitra utama dalam program pemberdayaan ekonomi dengan berbasis hasil kajian dari pakar ekonomi dan UMKM serta kajian praktis dari pengalaman para pendamping lapangan. Program ini diperkuat dengan  melahirkan Perwali tentang penguatan UMKM berbasis pemberdayaan, MoU Pemkot dengan Pihak Swasta dalam penguatan UMKM paska bencana alam 28 Sept 2018, Surat Edaran Walikota ke semua OPD untuk memprioritaskan pelaku UMKM Kota sebagai pihak ketiga dalam pengadaaan makan minum di semua item kegiatan OPD. Pemkot juga Menyiapkan spot usaha kuliner khas Palu disertai dengan branding produk dan kualitas usaha.
  7. Untuk memastikan pembangunan inklusi melalui kebijakan atau regulasi, penganggaran, layanan publik dan infrastruktur. Ada beberapa hal secara tehnis yang harus di realisasikan yaitu : Profil disabilitas kota Palu, Penyusunan roadmap kota inklusi, Penyusunan indikator kota inklusi, Sertifikasi dan layanan publik & kota inklusi

Demikian catatan study banding Komisi A dan pembelajaran menarik yang baik utk di replikasi oleh pemerintah Kota Palu berbasis pada kebutuhan lokal.

Semoga narasi dari perjalanan kami, akan membuahkan beberapa kebijakan yang berorientasi untuk kepentingan terbaik bagi kita semua. Kebijakan yang responsif gender adalah kebijakan untuk saya, anda, dan kita semua. Kebijakan yang berkeadilan untuk semua warga Kota Palu. Barakallah.

 

Penulis : Mutmainah Korona (Ketua Komisi A DPRD Kota Palu)

Pos terkait